Saturday, December 13, 2025
spot_img
HomeGagasanMenyoal Kampanye Pendidikan Gratis

Menyoal Kampanye Pendidikan Gratis

‘Pendidikan Gratis” selalu menjadi janji kampanye dalam setiap pemilihan kepala daerah. Tidak terkecuali Pilkada Jawa Timur. Janji politik Pendidikan gratis SMA/SMK benar-benar dimanfaatkan sebagai isu politik yang diproduksi oleh Calon Gubernur (Cagub) Tri Rismaharini. Sebagai suatu janji, cukup bisa dipahami. Isu Pendidikan memang isu seksis yang selalu diproduksi untuk mempengaruhi sentiment publik. Hal ini karena masyarakat berkepentingan mendapatkan akses Pendidikan secara mudah.

Persoalannya, janji Pendidikan gratis itu sesungguhnya malah menyesatkan publik. Pertama, karena untuk menyelenggarakan Pendidikan yang berkualitas, membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tidak hanya terkait dengan infrastruktur Pendidikan serta sarana dan prasarana, tapi menyediakan guru yang berkualitas jelas membutuhkan biaya tidak sedikit. Mengelola Pendidikan itu jelas mahal. Nah, kehadiran negara begitu penting agar Pendidikan yang mahal itu tidak membebani masyarakat. Yakni melalui komitmen dalam keberpihakan anggaran untuk Pendidikan. Artinya, Pendidikan itu mahal, tapi sekolah tidak boleh mahal. Negara yang berkomitmen untuk menyelenggarakan Pendidikan yang mahal tadi berbiaya murah untuk masyarakat dalam sekolahnya.

Kedua, narasi Pendidikan gratis itu secara psikologis dan sosiologis memberikan pengaruh bagi upaya sungguh-sungguh masyarakat menjadikan sekolah sebagai prioritas utama. Tanggungjawab pembiayaan pendidikan, tidak hanya ada pada pemerintah, melainkan juga swasta dan masyarakat. Pemerintah tetap yang punya tanggungjawab utama, tapi negara tetap memberikan peluang agar pihak lain dapat berkontribusi dalam penyelenggaraan Pendidikan berkualitas. Dengan demikian, narasi pendidikan gratis itu dapat ‘menyesatkan’ public, karena mereka akan abai memberikan support pembiayaan pada penyelenggaraan pendidikan berkualitas. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2022, Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat

Ketiga, isu Pendidikan gratis yang selalu diproduksi sebagai janji politik itu jelas kontraproduktif, tidak hanya dengan kewajiban UU yang memang sudah menggratiskan beban biaya dalam pendidikan untuk masyarakat, tapi juga memberikan peluang masyarakat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam pembiayaan pendidikan.

Selain itu, janji Pendidikan gratis bukanlah hal baru dalam realitas perpolitikan nasional. Selalu diulang-ulang dan selalu diproduksi. Tujuannya tidak lain, hanya untuk menciptakan sentimen publik. Sebagai sebuah janji, Pendidikan gratis sesungguhnya sudah dilakukan oleh Khofifah Emil sebelumnya dengan mengalokasikan anggaran APBD Jatim untuk Pendidikan yang melebihi ketetapan UU yakni 25% dari totak APBD senilai Rp 8,54 dari total Rp 33,47 T, yang diarahkan pada upaya pengembangan kompetensi siswa dan guru , serta meningkatkan kualitas sarana dan prasarana. Bahkan menjelang akhir masa jabatan, tahun 2024 Khofifah Emil telah mengalokasikan 26,3% anggaran APBD Jatim untuk alokasi Pendidikan.

Fakta bahwa masih terdapat SMA/SMK yang menarik biaya kepada Masyarakat ini yang kemudian harus dibuat regulasinya. Selam ini memang SMA/SMK sudah gratis, tapi melalui komite sekolah yang kemudian muncul biaya-biaya tidak terduga. Pasal 12 huruf b Permendikbud 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, dengan tegas melarang komite sekolah, baik secara kolektif atau perseorangan melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya. Namun, pasal sebelumnya, yakni Pasal 10 Permendikbud 75 Tahun 2016 ternyata membolehkan Komite Sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan.

Penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan. Pasal ini yang menjadi peluang untuk melakukan tarikan berupa bantuan/sumbangan, karena alasan operasional yang tidak mendapatkan bantuan dari negara, serta kegiatan ekstrakurikuler yang juga penting untuk siswa. Nah, seharusnya, ke depan kondisi ini yang harus dicarikan jalan keluarnya. Bagaimana anggaran rutin dan dana pengembangan sudah direncanakan sejak awal, dan negara memberikan bantuan operasional dalam konteks tersebut, dengan tidak menutup peluang jika ada pihak lain ingin berkontribusi memajukan Pendidikan.

Jadi, seharusnya perhatian calon gubernur ke depan selayaknya diarahkan pada upaya pemerataan kualitas Pendidikan untuk semua orang tanpa diskriminasi serta upaya peningkatan kompetensi guru sebagai garda terdepan pemerataan kualitas Pendidikan, tidak hanya melalui peningkatan kualitas pembelajaran, melainkan juga peningkatan kesejahteraan guru, baik guru yang berstatus PNS maupun guru swasta. Ke depan, kepala daerah harus memiliki suatu komitmen bahwa anak bangsa yang sama, haruslah mendapatkan akses pendidikan yang sama; berkeadilan dan berkualitas. Dan negara dalam konteks ini harus hadir memberikan harapan untuk kepentingan tersebut. Tak perlu lagi memroduksi janji Pendidikan gratis, tapi berkomitmen memberikan perhatian pada dunia Pendidikan sepenuh hati.

LISTIYONO SANTOSO

Dosen Ilmu Filsafat Universitas Airlangga

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular