Wednesday, December 17, 2025
spot_img
HomeGagasanHanya Tanda Tangani Berita Acara, Sahkah Pelantikan Prabowo-Gibran? 

Hanya Tanda Tangani Berita Acara, Sahkah Pelantikan Prabowo-Gibran? 

Seluruh rakyat Indonesia menyaksikan peristiwa penting pada Minggu, 20 Oktober 2024 lalu di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta. Dimana Sidang Umum MPR RI, untuk pertama kalinya sejarah ketatanegaraan Indonesia, menjadikan momen Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka tidak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden mengemban amanah rakyat, tetapi menandatangani berita acara pelantikan. Hal yang perlu dicatat dari penyelenggaraan Sidang Umum MPR tahun 2024 yang secara kasat mata disaksikan oleh rakyat Indonesia dan dunia internasional bahwa pelantikan itu sendiri tidak pernah terjadi dan hanya disahkan berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 504/2024 tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dalam kontestasi Pilpres 2024. Legalitas jabatan presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran menjadi pertanyaan: sahkah? Tidak dilantik oleh MPR, karena MPR tidak punya kewenangan melantik akibat dari kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dilucuti oleh amandemen UUD 1999-2002.

Ini adalah permasalah ketatanegaraan yang serius paska Reformasi 1998 setelah diberlakukan UUD 2002 yang menjadi sumber dari permasalahan hukum.
Artinya kedudukan Presiden Prabowo Subianto tidak kuat dan sewaktu-waktu bisa dipecat, tidak punya kekuasaan penuh karena belum dilantik baik berdasarkan UUD 1945
maupun UUD amandemen 2002.

Amandemen UUD 1999-2002 telah meninggalkan duri dalam tubuh reformasi, yang berdampak pada kewenangan Presiden memiliki kekuasaan yang besar diantara Lembaga Tinggi Negara lainnya, berbuat sesukanya menabrak Konstitusi dan Undang Undang untuk kepentingan yang diinginkannya hanya dengan alasan simpel “Demi Negara”. Dampak yang dirasakan pada kehidupan berbangsa dan bernegara adalah hilangnya etika moralitas seorang pemimpin bangsa.

Semua ini mungkin saja berawal dari posisi Presiden bukan sebagai Mandataris MPR serta tidak mengambil Sumpah dan Jabatan dilantik oleh MPR tetapi hanya menandatangani Berita Acara. Peristiwa 20 Oktober 2024 lalu, dapat dikatakan telah terjadi pembiaraan atas penyimpangan konstitusi dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan bangsa ini dan para anggota DPR/MPR bertepuk tangan riuh pasca pengambilan sumpah Jabatan Presiden Prabowo dan Gibran. Entah bersumpah kepada siapa. Dan oleh DPR/MPR dan rakyat Indonesia dianggap sumpahnya sudah sah sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia padahal rancu karena menyimpang dari Konstitusi UUD 1945 dan UUD 2002.

Ini permasalahan serius yang terlihat seperti sepele, ketika versi UUD 2002 pasal-pasal Batang Tubuh sudah berubah total dari Batang Tubuh UUD 1945 Asli, tetapi tercantum dalam Pembukaan UUD Amandemen, sama persis dengan Pembukaan UUD 1945 Asli.

Sesungguhnya ini kecelakaan besar dalam struktur ketatanegaraan kita dan dibiarkan penyimpangan ini berjalan sudah 20 tahun lebih. Beberapa kali Pemilu, kerancuan tata nilai prinsip dasar konstitusi UUD ini dibiarkan saja pada proses sah tidaknya kedudukan Presiden/Wakil Presiden.

Jika fondasi filosofis bernegara dalam pasal Batang Tubuh UUD 2002 dibiarkan terus bermasalah. Sungguh ironi bagi bangsa ini. Bangsa yang beradab tetapi nyatanya amburadul dalam tertib Konstitusi. Tentu hal ini tidak boleh dibiarkan terus berjalan.

Paska Reformasi, sesungguhnya kita berada di fase yang membahayakan demokrasi Indonesia. Demokrasi lewat Pemilu sekarang adalah demokrasi yang punya uang terjadi disorientasi aktualisasi kedaulatan rakyat dengan sistem pemilihan langsung. Demokrasi berubah menjadi tipu-tipu dimana pemimpin “bisa dibeli” karena uang berkuasa di Pemilu. Ada suara ada harga. Nomor piro wani piro, lantaran tingkat kesejahteraan rakyat kita yang miskin, jadinya hak-hak kedaulatan rakyat diukur menjadi hitung gundul. Membenarkan yang salah sudah menjadi model dan dianggap lumrah. Ini sama saja membiarkan preseden buruk demokrasi kita terus terjadi padahal sudah menyimpang jauh dari Demokrasi Pancasila.

Apabila ada pengusaha judi dan obat terlarang yang ingin menjadi pemimpin, cukup beli pengaruh dengan memodali biaya kampanye untuk seluruh Kepala Daerah dan Presiden, dia cukup mengeluarkan uang puluhan triliun rupiah saja. Dan apabila terus dibiarkan maka jangan heran jika ada perilaku Presiden yang notabene sangat strong dengan menduduki dua jabatan sekaligus sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Maka jangan heran, di setiap kesempatan mengambil jalan pintas “menabrak” konstitusi dan Undang-Undang apabila tidak menguntungkan diri, keluarga dan kelompoknya.

Jika rakyat Indonesia tidak ingin perilaku pada pemerintahan Jokowi berulang pada Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran, maka saatnya sekarang untuk segera kembali ke UUD 1945 Asli dengan Adendum Pemisahan Kekuasan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.

 

SETYO PURWADI MANGUNSASTRO

Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Partai Daulat Kerajaan Nusantara (Sekjen DPP PDKN)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular