Friday, April 26, 2024
HomeGagasanMengapa Start Up dan Unicorn Kita Dikuasai Asing?

Mengapa Start Up dan Unicorn Kita Dikuasai Asing?

 

Banyak anak-anak muda memiliki ide bisnis orisinal terkait teknologi. Ide itu kemudian ditumbuhkan menjadi sebuah perusahaan rintisan (start up) berbasis aplikasi dan teknologi. Beberapa diantaranya menjadi populer digunakan oleh masyarakat luas dalam kehidupan keseharian seperti seperti Gojek, Bukalapak dan Traveloka. Beberapa diantaranya menjadi besar dengan nilai (value of the firm) lebih dari USD 1 Milyar yang disebut sebagai unicorn. Gojek, salah satu unicorn lokal yang sangat populer.

Namun, saat ini muncul pertanyaana banyak orang, mengapa perusahaan-perusahaan start up dan unicorn lokal dikuasai asing? Mengapa bukan perusahaan lokal? Berikut beberapa argumentasinya.

Pertama, bahwa dalam jangka panjang, masuknya investor asing pada sebuah negara sebenarnya menandakan posisi negara tersebut sebagai bangsa konsumen. Bukan bangsa produsen. Bukan negara kuat. Negara yang kuat berinvestasi ke luar negeri lebih banyak dari pada masuknya investor asing ke dalam negaranya. Hanya negara lemah yang lebih banyak menerima investor asing daripada berinvestasi ke luar negeri.

Kedua, perlu diketahui bahwa saat ini adalah era korporatisasi. Era dimana semua perusahaan dipaksa oleh masyarakat untuk membesar. Jika tidak akan mati. Dipaksa oleh konsumen yang hanya mau membeli barang atau jasa yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan raksasa. Dipaksa oleh anak muda sebagai kandidat Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas yang hanya mau bekerja di perusahaan-perusahaan besar. Ditinggalkan konsumen dan kandidat SDM berkualitas adalah lonceng kematian bagi perusahaan manapun. Demikian pula perusahaan start up. Apalagi yang sudah dalam asuhan perusahaan venture capitalist (VC) seperti Gojek yang diasuh oleh Sequoia. Sequoia adalah VC yang juga telah sukses mengantarkan Google dan banyak start up global menjadi seperti yang dinikmati masyarakat dunia saat ini. Start up wajib tumbuh super cepat menjadi besar. Jika tidak akan ditinggalkan masyarakat dan mati dengan sendirinya.

Ketiga, tidak ada cara bagi perusahaan manapun untuk menjadi besar dengan cepat selain melalui proses korporatisasi. Terus menerus menerbitkan saham baru untuk menambah modal disetor (paid in capital). Modal inilah yang akan “dibakar” oleh perusahaan start up. Digunakan untuk promosi besar-besaran agar produk atau layanannya secara cepat dan masif dipakai oleh masyarakat luas. Sampai saat ini, tarif Gojek misalnya masih jauh lebih murah dari pada ojek pangkalan atau taksi non online. Ini hanya mungkin melalui diskon besar yang dalam catatan akauntansi akan dibukukan sebagai biaya promosi.

Keempat, perusahaan start up yang terus-menerus menerbitkan saham baru membutuhkan mekanisme penghargaan bagi pemegang yang terlebih dahulu masuk oleh pemegang saham yang belakangan. Misal, pendiri menyetor modal Rp 1 juta per lembar saham. Untuk menghargai pendiri yang telah melakukan berbagai upaya penumbuhan perusahaan, pemegang saham berikutnya harus masuk dengan harga lebih tinggi. Misalnya Rp 1,5 juta per lembar. Selisih Rp 500 ribu secara akuntansi dibukukan sebagai agio saham alias tambahan modal disaetor alias aditional paid in capital (APIC). Dalam bahasa awam sering disebut good will. Atau mudahnya bisa disebut sebagai upeti. Uang ini sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Tidak boleh diambil oleh pemegang saham pendiri atau pemegang saham yang masuk terlebih dahulu. Murni milik perusahaan yang akan digunakan sebagai modal ekspansi.

Setelah penerbitan saham seharga Rp 1,5 juta habis digunakan untuk ekspansi, perusahaan akan menerbitkan saham baru lagi melalui mekanisme yang sama dengan harga yang lebih tinggi lagi. Tiap menerbitkan saham baru harganya akan lebih tinggi dari pada harga saham yang diterbitkan sebelumnya.

Siapa yang akan membeli saham yang terus-menerus diterbitkan oleh start up dengan harga yang makin lama makin mahal? Yang bisa melakukannya hanya dua jenis perusahaan yaitu investment company (IC) atau perusahaan operasional dengan bisnis serupa (dengan si start up) yang telah mapan secara finansial. IC adalah perusahaan yang kerjanya hanya berinvestasi dan menerima dividen plus capital gain sebagai pendapatan. IC tidak memiliki pendapatan dari penjualan barang dan jasa seperti yang dilakukan oleh perusahaan operasional. Di dunia bisnis, perusahaan pasti akan termasuk salah satu dari kedua kelompok ini, IC atau perusahaan operasional.

Jika penyetor saham start up adalah perusahaan operasional sejenis, bisa dipastikan perusahaan pembeli saham tersebut pun mendapatkan uang dari terus-menerus menerbitkan saham baru. Pembelinya adalah IC. Artinya, ujung-ujungnya adalah selalu IC.

Amerika Serikat adalah negara dengan jumlah IC terbanyak dan terbesar dunia. Catatan SNF Consulting, consulting firm dimana saya sehari-hari berkarya, menunjukkan bahwa 7 dari 10 IC dengan aset kelolaan terbesar di dunia adalah dari Amerika Serikat. Salah satu yang terbesar misalnya adalah BlackRock Inc. yang dana kelolaannya sekitar USD 6,3 Trilyun alias sekitar Rp 88 ribu Trilyun. Bandingkan dengan IC terdepan Indonesia yaitu Saratoga yang aset kelolaannya sekitar Rp 40 T.

Bagaimana IC berani berinvestasi pada start up yang masih rugi? Jawabnya ada pada logika portofolio. Sebuah IC bekerja dengan mengumpulkan dana investasi dari masyarakat. Maka, rumus investasi IC adalah aman-aman-aman-hasil. Aman masa sekarang maupun aman masa depan. Keamanan masa sekarang dilakukan dengan menginvestasikan uangnya pada saham berbagai perusahaan mapan di berbagai negara. Tidak menaruh “telor” pada satu keranjang. Keamanan masa depan dilakukan dengan masuk sebagai pesaham perusahaan start up.

Proporsi dana yang dimasukkan sebagai saham perusahaan start up berkisar antara 0,1 sampai dengan 0,3% dari total aset kelolaan. Proporsi ini secara matematis sangat aman karena sebagian besar dananya (99,7-99,99%) ditanamkan pada saham perusahaan-perusahaan mapan dengan dividen sekitar 2% per tahun. Andai si start up bangkrut, IC hanya akan kehilangan sebagian kecil dari dividen yang diterimanya. Kehilangan yang tidak signifikan. Aman.

Dengan portofolio start up di atas, maka BlacRock memiliki anggaran sekitar Rp 88 T sampai Rp 264 T untuk masuk sebagai pesaham start up. Angka ini pun disebar pada banyak start up sedemikian hingga tidak ada start up yang sahamnya didominasi oleh sebuah IC.

Artinya, jika sebuah start up sahamnya dimiliki oleh IC maka start up tersebut kelak akan menjadi fully public company dengan tidak ada pesaham pengendali seperti Alibaba misalnya. Ini sesuai dengan karakter IC yang tidak mau menaruh “telor” pada satu keranjang tadi.

Sebaliknya, jika sebuah start up sahamnya dibeli oleh perusahaan operasional yang bidangnya sejenis, si perusahaan mapan akan membeli 100% saham. Artinya, si start up ini akan menjadi subsidiary alias anak perusahaan. Contohnya adalah dibelinya Instagram oleh Facebook. Kebutuhan dana si anak 100% dipenuhi oleh si induk. Si Induk mencari duitmya dengan melepas saham baru di lantai bursa yang penyetornya adalah perusahaan-perusahaan IC.

Dari mana dana IC yang ribuan bahkan ratusan ribu Trilyun tersebut? Kerja IC adalah menajdi perantara antara investor dengan investee. Investornya adalah masyarakat luas. Investee-nya adaah perusahaan-perusahaan yang melakukan korporatisasi dengan terus-menerus menerbitkan saham baru untuk tumbuh membesar. Di negara modern, setiap orang adalah pekerja (atau profesional) dan setiap pekerja (atau profesional) adalah investor di berbagai perusahaan. Seorang pekerja atau profesional disebut bebas finansial jika pendapatannya dari imbal balik investasi (return, dividen) sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keseharian.

Maka, agar saham start up lokal tidak dimiliki asing, caranya adalah tidak ada lain kecuali di negeri ini harus ditumbuhkan banyak IC dengan aset kelolaan puluhan bahkan ratusan ribu trilyun. Saat ini kita belum memilikinya. Saratoga misalnya, dengan perhitungan portofolio di atas, hanya bisa mengalokasikan sekitar Rp 40- 120 Milyar untuk masuk sebagai saham startu up. Masih jauh dari angka Unicorn yang USD 1 Milyar alias sekitar Rp 14 T.

Apakah kita tidak punya potensi? Ooh…potensinya besar. Penduduk usia produktif kita berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) lebih dari 100 juta orang. Jika tiap orang rata-rata mau menyisihkan gaji Rp 100 ribu per bulan untuk investasi tiap tahun ada potensi sekitar Rp 120 T. Jangan melihatnya setahun atau dua tahun karena investasi itu seperti menanam pohon jati yang butuh waktu puluhan tahun untuk bisa menikmatinya.

Yang dibutuhkan dari pemerintah adalah kebijakan ekonomi yang mengkondisikan masyarakat untuk menjadi investor dan memunculkan IC raksasa. Bukan sebaliknya, kebijakan ekonomi yang memacu masuknya investor asing. Para pelaku bisnis bekerja keras di bidangnya masing-masing untuk tumbuh pesat melalui korporatisasi. Saya melalui SNF Consulting sedang bekerja keras membangun ekosistem munculnya IC melalui korporatisasai perusahaan-perusahaan klien.

Mari berperan! Jangan hanya marah-marah karena ekononomi dikuasai asing tanpa aksi. Mari berperan sesuai bidang masing-masing. Peran terkecil adalah mengalokasikan gaji atau pendapatan bulanan, minimal 10%, untuk berinvestasi sebagai pemegang saham. Lakukan sejak gaji pertama. Ingat….. sejak gaji pertama. Bagaimana jika sudah terlanjur? Anda harus meng-qodho’. Menghitung berapa nilai 10% gaji sejak gaji pertama dan mengumpulkan uang sejumlah itu untuk dimasukkan pada Rekening Dana Investasi (RDI). Mari belajar teknisnya bersama kami di SNF Consulting. Kami siap membantu anda.

 

IMAN SUPRIYONO

Direktur Eksekutif SNF Consulting Surabaya

RELATED ARTICLES

Most Popular