Thursday, April 25, 2024
HomeGagasanElegi Bisu Prabowo Subianto

Elegi Bisu Prabowo Subianto

 

Terus terang, saya termasuk aktivis mahasiswa yang mengagumi sosok ini. Bukan saat ia menjadi menantu dari Presiden Soeharto yang ikut saya jatuhkan, tapi lebih kepada kedekatannya dengan Soe Hok Gie, senior saya di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Indonesia. Soe Hok Gie adalah guru imajiner bagi aktivis gerakan mahasiswa 90an, sebagaimana dengan Ahmad Wahib. Gie dan Wahib mati di usia muda dengan meninggalkan catatan harian yang menjadi bacaan wajib bagi setiap aktivis.

Saya jarang mengungkapkan pendapat tentang Prabowo dalam bentuk opini publik. Tapi, bukan berarti saya tidak menulis. Catatan harian saya selama menjadi aktivis mahasiswa yang belum dipublikasi beberapa kali menulis tentang Prabowo. Kedekatan saya dengan Fadli Zon sejak masuk UI tahun 1991 juga menambah pengetahuan yang saya punya.

Ketika menjadi peserta Penataran Kewaspadaan Nasional (Tarpadnas) tahun 1995 yang diadakan Lemhannas, BP7 Pusat dan Kemenpora, saya sempat berdiskusi dengan seorang kolonel yang menjadi mentor kami. Kami lagi membahas siapa saja yang mungkin menjadi pemimpin nasional yang bakal menjadi suksesor Presiden Soeharto. Saya dengan terus terang menyebut Prabowo, tentu dengan kurikulum vitae yang saya miliki.

“Sebetulnya, ada satu lagi lulusan Akademi Militer yang dapat Adi Makayasa. Beliau menantu Sarwo Edhie Wibowo. Namanya Susilo Bambang Yudhoyono,” kata kolonel itu.

Saya belum begitu mengenal nama SBY. Tapi, dengan infornasi seperti itu, saya mulai mencari tahu. SBY lebih banyak mendapat posisi pada jabatan non komando, berbeda dengan Prabowo.

Kedekatan saya dengan para jenderal yang menjadi bintang kejora selama era 90an lebih disebabkan oleh posisi saya sebagai aktivis kelompok studi mahasiswa, pers mahasiswa dan senat mahasiswa. Apalagi saya menjadi Ketua Pelaksana Simposium Nasional Angkatan Muda 1990an: Menjawab Tantangan Abad 21 di UI. Dengan posisi itu, saya mengundang banyak tokoh, beserta jaringan aktivis mahasiswa se Indonesia pada tahun 1994. Simposium itu — setelah Diskusi Mahasiswa tentang Tinggal Landas setahun sebelumnya — menjadi kegiatan nasional pertama yang mempertemukan beragam aktivis mahasiswa sezaman. Yang tidak hadir hanya mahasiswa Akademi Militer. Sejumlah organ lahir setelah acara itu, termasuk Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta yang militan dalam aksi 98.

Kami tentu tidak hanya berdiskusi. Aksi-aksi demonstrasi juga kami lakukan. Tanggal 15 Agustus 1995, misalnya, sebanyak 35 orang Mahasiswa UI melakukan aksi malam hari di depan Bina Graha.

“Lu boleh aksi. Tapi jangan lu lawan anak buah gue yang ada di lapangan. Mereka tiap hari latihan fisik. Kalian pasti kalah,” kata Hendro Priyono, Pangdam V Jaya, kepada saya, Budi Arie Setiadi, Ihsan Abdussalam dan Achmad Noerhoeri yang mewawancarainya di Cililitan untuk cover majalah Suara Mahasiswa UI.

“Bagaimana kalau mengajak dialog?” Tanya kami.

“Mana bisa mereka diajak dialog. Kalau mau dialog, jangan di lapangan. Lu temui komandannya!” kata Hendro

Waktu saya sebagai Ketua Umum Studi Klub Sejarah (SKS) UI mengundang Danjen Kopassus Agum Gumelar ke kampus Fakultas Sastra UI, jawaban serupa juga muncul. Seorang mahasiswa FISIP UI menyatakan keheranannya tentang perubahan watak kawan SMAnya setelah masuk militer.

“Diapain teman saya, Pak?” Tanyanya.

“Oh, itu mereka lagi lucu-lucunya. Itu fase yang wajib dilalui,” kata Agum sambil tertawa.

Kami tidak hanya mengundang jenderal-jenderal aktif masuk UI, tapi juga purnawirawan. Yang paling sering adalah Kemal Idris, tokoh Petisi 50 yang pernah mengepung Istana Negara dalam peristiwa 20 Oktober 1952. Himawan Soetanto, komandan penting Divisi Siliwangi, juga saya undang untuk mendiskusikan bukunya tentang Peristiwa Madiun 1948.

Banyaknya para jenderal, baik purnawirawan atau yang masih aktif, masuk UI menyebabkan UI dimasukkan sebagai kampus intelijen di kalangan mahasiswa lain. Aktifis-aktifis mahasiswa UI yang aktif tidak luput dari tuduhan sebagai perpanjangan tangan militer itu.

Seingat saya, analisa blok-blok militer yang punya koneksi kepada aktivis mahasiswa UI itu terbagi dua, yakni blok tentara Merah Putih yang terafiliasi kepada Wiranto dan blok militer Hijau (Islam) yang terkoneksi kepada Hartono. Prabowo tidak disebut, selain dianggap lebih dekat kepada Hartono. Analisa itu banyak dibantu oleh liputan Tabloid Detik dan lain-lain.

Nama Prabowo baru naik ke permukaan setelah mendirikan satu kelompok studi yang dipimpin oleh Dr. Amir Santoso. Amir kemudian digantikan oleh Fadli Zon. Sejak itu, saya tak lagi berkomunikasi dengan Fadli selama lima tahun. Kami baru bertemu lagi ketika Fadli datang ke acara resepsi pernikahan saya pada 2002.

Tentu, kami banyak mendiskusikan Fadli. Apalagi, majalah Time sempat menulis tentang Prabowo yang disebut sebagai calon Presiden RI. Nama Fadli juga terpampang dalam majalah Time sebagai intelektual di belakang Prabowo. Dua kutub pendapat muncul: Prabowo adalah the rising star atau Prabowo adalah the sunshine leader yang bakal ikut kapal Orde Baru yang akan tenggelam.

Saya lebih memilih untuk menyepi ke Kabupaten Tangerang, ketika perang bintang terjadi. Saya hadir dalam panggung orasi di depan kantor PDI Jalan Diponegoro setelah Kongres PDI Medan. Saya juga jadi saksi mata Peristiwa 27 Juli 1996. Namun, aktivitas saya setelah selesai kuliah pada Agustus 1997 adalah mengawaki majalah Sinergi yang khusus bicara tentang pendidikan. Tiga kawan saya juga ikut, yakni Sugeng P Syahrie (yang mengajak), Luthfi Mustofa dan Agung Pribadi. Walau bekerja di Tangerang, saya tetap kost di Jalan Margonda Raya, Depok. Di Tangerang itu saya kehilangan banyak dokumen penting kemahasiswaan, termasuk ijazah asli, naskah novel dan lain-lain. Kontrakan saya dijebol maling dokunen.

Tentu saya terkejut dengan penculikan banyak aktifis, termasuk penahanan sejumlah kawan saya sejak di kampus, terutama yang bergabung dengan PRD. Baru pasca pemilu 1999 saya balik lagi ke Jakarta, bekerja di Apartemen Rasuna bersama kelompok Faisal H Basri dan kawan-kawan.

Pengenalan saya dengan Prabowo dimulai lagi waktu Konvensi Nasional Partai Golkar. Seterusnya, ketika saya menjadi Wakil Sekjen Badan Pengurus Harian HKTI yang bermarkas di Ragunan. Saya juga mengikuti Prabowo yang hadir dalam kampanye terbuka Anies – Sandi di Lapangan Banteng.

Prabowo menurut saya adalah sosok intelektual. Sekalipun ayahnya pernah melawan Soekarno, Prabowo seperti prototipe dari Soekarno. Mungkin ia termasuk orang yang semasa muda mendengarkan pidato-pidato Soekarno di radio atau televisi selama hidup di pengasingan.

Selama menjadi tentara, Prabowo termasuk jenderal yang sadar kamera. Barangkali, dibandingkan dengan semua jenderal lain, Prabowo paling banyak dokumen fotogenik dalam beragam momen, baik yang heroik atau biasa. Dimasa kini, foto-foto seperti itu mungkin disebut sebagai pencitraan. Yang saya ingat adalah Prabowo juga memberikan baret merah kepada Pangeran Yordania. Belakangan, ketika Prabowo ke Yordania dalam masa pemerintahan BJ Habibie, ia memiliki perusahaan minyak sebagai konsesi Oil for Food yang diizinkan PBB.

Sebagai orang yang juga membaca buku-buku militer, tentu saya memiliki pertanyaan: bukankah seorang Jenderal Komando adalah sasaran tembak utama para musuh militer? Bagaimana bisa dengan posisi itu, justru begitu banyak pose publik yang diperagakan Prabowo? Bukankah makin tersembunyi dan misterius seorang Jenderal Komando, makin sulit mencari kelemahannya?

Diluar itu, saya tentu paham faktor psikologis seorang Prabowo. Nama Subianto yang ia sandang berasal dari pamannya yang tewas diberondong Jepang dalam masa awal kemerdekaan. Subianto adalah perwira muda belia yang satu kesatuan dengan Daan Mogot: Kepala Intelijen Militer Indonesia pertama yang juga tewas di usia muda. Sikap ksatria seorang Prabowo lebih banyak dipengaruhi oleh nama Subianto yang ia sandang, ketimbang pengaruh ayahnya.

Tentu banyak isu “seram” tentang Prabowo, termasuk perlakuan kepada anak buahnya. Isu yang langsung padam ketika saya melihat Prabowo memanggil Pius Lustrilanang dengan “Si Botak” di depan ribuan massa Anies-Sandi.

Panggilan itu menyadarkan saya betapa Prabowo bukanlah sosok otoriter atau kejam sebagaimana isu yang berkembang. Pius tetap menjadi Pius. Fadli tetap menjadi Fadli. Muhamnad Taufik tetap menjadi Taufik. Ferry Juliantoro tetap menjadi Ferry. Mereka tak berubah menjadi orang-orang yang berkarakter dependent, apalagi menjadi tiruan Prabowo.

Walau seorang orator, Prabowo tetap berada di jalan yang sepi. Pelbagai body language yang ia peragakan, termasuk dengan menari atau dipijit oleh Sandi, menunjukkan betapa ia bukan orang yang semenakutkan isu-isu “seram” itu.

Waktu tidak berpihak kepadanya. Dunia berubah. Indonesia berubah. Orasi kini sudah bukan lagi milik seorang strong leader. Setiap orang bisa bikin orasi sendiri via media sosial, mau Abu Janda atau Abu Duda sekalipun. Nasionalisme tua sudah selesai. Kooperativisme adalah jalan yang banyak ditempuh oleh beragam negara.

Saya ingat, betapa Kabinet Indonesia Muda dan Kelas Indonesia Muda yang kami kelola selama belasan tahun pernah begitu terpukau kepada Hugo Chavez. Chavez seorang nasionalis. Ia bagikan hasil nasionalisasi perusahaan minyak raksasa asal Perancis kepada rakyat miskin di pedesaan. Bagaimana nasib Venezuela setelah itu? Atau Thaksin Sinawatra yang pernah saya saksikan langsung pidato di depan massa aksi yang mayoritas adalah kaum tani dari pelosok-pelosok Thailand di Lapangan Sanam Luang, Bangkok. Thaksin dijatuhkan via kudeta militer.

Diksi Prabowo memang hebat. Tapi Indonesia tak sedang berperang. Indonesia sedang memandu generasi yang lebih baru untuk memimpin bonus demografi dalam Satu Abad Kemerdekaan: 2045. Tentu juga anak-anak muda yang berbaris bersama Prabowo hari ini…

JAKARTA, 18 Februari 2019

 

INDRA J. PILIANG
Ketua Umum Sang Gerilyawan Nusantara

RELATED ARTICLES

Most Popular