Friday, April 26, 2024
HomeGagasanAdakah "A Deal for Papua" Sebelum 2019?

Adakah “A Deal for Papua” Sebelum 2019?

 

Setiap memasuki bulan Desember, tensi sosial politik di Papua berkembang dinamis. Situasi ini tak terlepas dari pro dan kontra dari perjalanan narasi sejarah Papua. Apapun narasi yang terjadi, hari ini Papua berada dalam pangkuan Ibu Pertiwi.

Kini, di tahun 2017 ini, agenda setting internasional terkait isu Papua semakin dinamis. Mau tidak mau, kita dihadapkan dengan fenomena internasionalisasi isu Papua. Ditambah lagi, pelbagai agenda domestik di Papua yang terasa belum tepat dalam mengurai akar persoalan.

Kita teringat ke pidato Presiden Soekarno, pada tanggal 17 Agustus 1963. Dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi” (1965), Presiden Sukarno dengan keras menegaskan, “Tjamkan! Pembangunan Irian Barat bukan masuk dalam soal persoalan lokal Irian Barat sadja, bukan sekedar persoalan orang Irian Barat sadja, melainkan adalah persoalan seluruh Bangsa Indonesia, melainkan adalah satu tantangan, satu challenge terhadap kepada Revolusi kita seluruhnja! Pembangunan Irian Barat adalah djuga persoalanmu, persoalanku, persoalan kita semuanja, persoalan seluruh Revolusi Indonesia, – persoalan seluruh bangsa Indonesia!”

Bagaimana cita-cita Soekarno di Papua saat ini? Kita menyadari bahwa sejak 2001 otonomi khusus merupakan pilihan kebijakan (policy choice) negara atas Papua. Di berbagai belahan negara yang dihadapkan dengan gerakan sub-nasional, regionalism, provincialism dan separatism, maka Negara hadir dengan sebuah “new institution arrangement with greater authority”, yang biasanya diikat dalam konstitusi negara.

Tantangan saat ini adalah negara haruslah menyikapi agenda Papua dengan persepsi yang utuh. Agenda Papua tidak hanya dijalani oleh jajaran eksekutif saja, namun menjadi agenda kolektif bangsa, termasuk media, partai politik, organisasi kemasyarakatan dan dunia usaha.

Merumuskan Skenario untuk Papua

Hari ini dan ke depan, kita dihadapkan ke berbagai lingkungan strategis yang semakin kompleks. Karena itu, agenda kolektif negara perlu diarahkan untuk merumuskan dan menjalankan sejumlah skenario. Dalam konteks ini, kita merumuskan “4 Skenario untuk Tanah Papua”.

Pertama, Skenario I, negara mengelola Papua secara konvensional seperti yang djalankan saat ini tanpa terobosan.

Otonomi Khusus berjalan sebagaimana biasanya tanpa langkah penataan dan perubahan hingga berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo di tahun 2019, sebagaimana yang diamanatkan dalam payung RPJMN 2015-2019. Langkah-langkah Presiden Joko Widodo hanya melanjutkan apa yang telah diletakkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk Papua.

Rangkaian kegiatan seperti Trans Papua, Jembatan Holtekamp, beasiswa bagi putra putri Papua dan PNS afirmasi adalah fondasi yang telah diletakkan oleh pemerintahan sebelumnya.

Dengan demikian, dalam Skenario 1 ini, negara melangkah seperti apa adanya hingga tahun 2019 tanpa menyentuh agenda mendasar yang disuarakan Papua.

Sedangkan Skenario II, negara melakukan “Terobosan Terbatas” (incremental policy), dengan melakukan penataan, perubahan dan pengembangan kebijakan guna membuka pintu atas akar persoalan Papua.

Terobosan inkremental itu dilakukan dengan cara mengubah UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua (dan Papua Barat), yang dianggap sebagai “revisi terbatas atau minor” yang terkait dengan aspek pembangunan dan keuangan daerah.

Perubahan ini lebih ditujukan ke penguatan kapasitas fiskal Papua sebagai antisipasi “exit strategy” dari berakhirnya Dana Otsus (2 persen dari DAU Nasional) di tahun 2022. Demikian pula, perubahan alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) yang lebih adil dan proporsional untuk Papua. Termasuk pula, peran Pemerintah Daerah (Pemda) yang lebih besar dalam kerangka divestasi atas PT. Freeport Indonesia dan investasi lainnya.

Sedangkan Skenario III, negara meletakan format hubungan Jakarta-Papua yang lebih adil dan bermartabat. Sebuah format kebijakan yang bersifat menyeluruh dalam menyelesaikan akar persoalan yang mendasar di Papua.

Format baru kebijakan negara ini tetap diletakkan dalam kerangka Otonomi Khusus yang diperluas (the extended special autonomy). Dengan demikian, negara melakukan perubahan total atas desain UU Nomor 21 Tahun 2001 dari sisi kewenangan, keuangan, pembangunan, sistem politik dan pemerintahan lokal, hukum dan hak asasi manusia.

Dengan demikian, negara merumuskan suatu desain undang-undang baru perihal Pemerintahan Papua. Sebuah kebijakan baru yang diinisiasi oleh negara yang bertujuan menyelesaikan masalah-masalah mendasar yang dialami di Papua. Kebijakan di Skenario III ini tidak lahir dari desakan atau tekanan internasional, namun karena kesadaran elit negara untuk Papua yang lebih baik ke depan.

Sementara, Skenario IV adalah negara dalam situasi terpaksa atau dipaksa untuk merumuskan formula kebijakan baru yang bersifat radikal untuk Papua. Kebijakan baru ini lahir karena desakan dunia internasional sebagai akibat dari internasionalisasi isu Papua di forum internasional dan regional.

Dengan situasi yang dinamis, akhirnya negara melakukan negosiasi yang bersifat “Papua Talk” dengan komponen kelompok strategis Papua yang berada di Papua maupun para diaspora Papua di luar negeri yang menetap di berbagai benua.

Adapun agenda “Papua Talk” menyangkut bagaimana konstruksi hubungan antara negara-rakyat Papua? Dalam realita, sejauhmana ide Otonomi Khusus, pemekaran provinsi atau isu referendum atau merdeka dibicarakan antara Jakarta dan Papua.

Masih dalam “Papua Talk” ini, disepakati “common platform” mau dibawa kemana Papua dalam konteks ke-Indonesia-an. Dan, adakah “A New Deal for Papua”?

Dalam Skenario IV ini, akhirnya dicapai sebuah kesepakatan baru berupa “Narasi besar Papua dalam NKRI dengan greater authority”, yang substansinya merupakan hasil kesepakatan baru yang bersifat inklusif dari berbagai kelompok strategis Papua di dalam negeri dan di luar negeri.

Pertanyaannya, skenario apa yang akan dipilih dan diterapkan oleh negara untuk Papua?

Agenda Kolektif Bangsa

Saatnya negara berpikir luas atas perubahan geopolitik internasional yang sangat dinamis terkait isu Papua. Jaringan internasional untuk Papua juga semakin luas dengan agenda yang beragam.

Ditambah lagi dengan isu ketidakadilan, kesenjangan sosial dan hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Papua.

Memang benar, Nnegara telah berupaya hadir di Papua, sebagaimana dilakukan negara sejak Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo. Setiap pemimpin nasional berusaha keras untuk merumuskan langkah yang tepat untuk Papua.

Di era Presiden SBY, sebuah “New Deal for Aceh” telah tercapai di tahun 2005 dalam payung Helsinki Agreement, dan poin-poi kesepakatan itu diletakkan ke dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Kini, saatnya, Presiden Joko Widodo dihadapkan dengan sebuah tantangan yang tidak ringan dan kompleks. Agenda setting internasional yang dinamis. Pertanyaannya, adakah sebuah “New Deal for Papua” terwujud sebelum 2019?

Marilah kita merenung bersama bahwa agenda Papua janganlah menjadi agenda politik elektoral dari partai politik semata. Namun, para elite nasional juga harus membuka mata melihat realitas apa yang terjadi di Papua, apa strategi kolektif dalam mencari solusi atas persoalan yang kompleks dan adakah terobosan yang berarti dalam membangun rasa trust Papua atas Jakarta.

Kembali ke pernyataan Presiden Soekarno, “Hajo kita bangun Irian Barat bersama-sama, hajo kita bertjantjut-taliwanda bersama-sama membuat Irian Barat itu satu zamrud jang indah dalam Sabuk Indonesia jang melingkari Chatulistiwa ini! Indonesia, die zich daar slinger tom den evenaar al seen gordel van smaragd (1965:547).

Jakarta, 11 Desember 2017

 

VELIX V. WANGGAI

Tokoh Nasional dan putra Papua, tulisan ini merupakan pandangan pribadi

RELATED ARTICLES

Most Popular