
SURABAYA – Dunia mulai dihebohkan dengan aliansi BRICS. BRICS merupakan sebuah aliansi negara yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Aliansi tersebut berencana untuk membuat mata uangnya sendiri untuk kebutuhan transaksi perdagangan antar aliansi tersebut. Keputusan untuk membuat mata uang lokal antar negara tersebut dilakukan untuk mematahkan dominasi Dolar Amerika dalam perdagangan internasional.
Menanggapi hal tersebut Ekonom senior Rossanto Dwi Handoyo mengatakan bahwa sebagai mata uang internasional, Dolar AS memiliki volatilitas atau fluktuasi nilai terhadap mata uang lain yang cukup tinggi. Dari itu, maka setiap kebijakan yang diambil oleh Amerika akan berpengaruh kepada lainnya.
“Seperti sekarang, Amerika sedang diserang inflasi domestik yang cukup tinggi di atas sepuluh persen, lalu direspon oleh bank sentral Amerika dengan menaikan suku bunga. Otomatis ini akan berpengaruh dengan mata uang Dolar dan pasar valas di dunia,” ujarnya pada media ini.
Rossanto menambahkan bahwa sebenarnya di dalam BRICS pun tidak ada kesepakatan yang mengikat satu sama lain. Namun, negara yang tergabung didalamnya memang negara yang memiliki porsi perdagangan yang cukup besar sehingga mampu mempengaruhi dunia. Walaupun tidak mengikat, tegasnya, BRICS memiliki tujuan yang sama, yaitu mengurangi resiko penggunaan mata uang asing, dalam hal ini Dolar AS.
“BRICS itu bukan seperti kita di Asia Tenggara, kita kan kumpulan mengikat seperti ASEAN. ASEAN itu kalau kita sudah menetapkan tarif untuk barang industri sebesar nol persen, maka barang yang masuk harus nol persen, mengikat,” imbuhnya.
Namun, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga tersebut berpendapat, dengan kekuatan Dolar AS yang cukup kuat hingga kini, penggunaan mata uang lokal bagi transaksi beberapa negara tidak akan membuat hegemoni Dolar AS hilang. Butuh waktu yang cukup panjang untuk mampu menggantikan Dolar AS. Apalagi kondisi ekonomi pun bisa terpengaruh dengan perubahan politik.
Pada akhirnya, BRICS pun akan mengalami kegalauan tersendiri dengan hadirnya Rusia dengan kegoncangan politiknya. Menurutnya, Rusia yang sedang mendapatkan banyak sanksi internasional, akan menyulitkan banyak negara untuk bertransaksi secara langsung dengan negeri beruang merah tersebut.
“Justru yang perlu diperhatikan adalah bagaimana setiap negara mampu menjamin sistem ekonomi makronya berjalan baik. Pengelolaan manajemen fiskalnya juga baik sehingga bisa menjaga stabilitas,” pungkasnya.
(mar/pkip/bti)