Wednesday, December 17, 2025
spot_img
HomeSosial BudayaRepatriasi Suara, Menyatukan Nias Lewat Arsip yang Pulang

Repatriasi Suara, Menyatukan Nias Lewat Arsip yang Pulang

Momen Diskusi komunitas Diaspora Nias, Akademisi Dan pemerhati budaya di Double V Coffee & Eatery, Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (26/7/2025) sore, dengan narasumber Dr. Barbara Titus (tengah) dan Doni Kristian Dachi (kanan). (foto: Bachtiar Dj)

JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Suasana hangat penuh haru menyelimuti Double V Coffee & Eatery, Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (26/7/2025) sore. Komunitas diaspora Nias, akademisi, dan pemerhati budaya berkumpul dalam dialog interaktif bertajuk Suara yang Pulang”. Dalam acara ini, suara leluhur Nias yang sempat hilang selama hampir satu abad akhirnya “pulang” ke pangkuan masyarakat asalnya.

Dialog diselenggarakan oleh Suno Zo’aya Foundation bekerja sama dengan kaum muda BKPN Jemaat Jakarta, PT Inko Dmentec Indonesia, Nafulu Bawömataluo Diaspora, dan Bravely Foundation. Momen ini menjadi perayaan atas repatriasi rekaman budaya Nias yang dibuat oleh etnomusikolog Belanda, Jaap Kunst, pada tahun 1930 di Pulau Nias.

Setelah tersimpan selama lebih dari 90 tahun di arsip Universitas Amsterdam, rekaman suara dan dokumentasi budaya itu kini dikembalikan secara simbolis kepada masyarakat sumber, baik di kampung halaman maupun di kalangan diaspora.

Inisiatif lintas benua ini digagas oleh Doni Kristian Dachi, pegiat sejarah asal Nias Selatan, bersama Dr. Barbara Titus, kurator koleksi Jaap Kunst dan Associate Professor di Universiteit van Amsterdam.

Menyimak Suara yang Nyaris Terlupakan

Acara dimulai dengan pemutaran rekaman hoho, nyanyian naratif bersahutan khas Nias. Suara-suara ini direkam Jaap Kunst saat ekspedisinya ke 13 desa di Nias pada 1930. Pemutaran disertai dokumentasi visual dan foto-foto lapangan dari masa kolonial.

“Ketika suara leluhur kami terdengar kembali, itu bukan sekadar nostalgia,” ujar Doni. “Itu adalah pengakuan atas identitas dan ikatan batin yang selama ini tercerai oleh jarak dan waktu.”

Barbara Titus menambahkan, repatriasi bukan sekadar pemindahan file digital. “Ini adalah pengembalian rasa memiliki, dan hak mengelola warisan budaya kepada komunitas sumber,” katanya. Sebelum tiba di Jakarta, Barbara telah menyerahkan salinan arsip ke tujuh desa di Nias Selatan, termasuk Hilisimaetanö, Bawömataluo, dan Tetegewö.

“Peran saya bukan lagi sebagai ‘penjaga arsip’,” ujarnya, “melainkan sebagai jembatan yang memungkinkan komunitas asal mengakses dan menghidupkan kembali suaranya sendiri.”

Selain diskusi, tampil pula grup vokal Hoho Nafulu Bawömataluo Diaspora yang menyanyikan Mazmur 23 dengan langgam vokal leluhur Nias. Penampilan mereka memperlihatkan bagaimana warisan lisan tetap bisa hidup dan kontekstual di tengah kehidupan urban dan religiusitas modern.

Momen penampilan grup vokal Hoho Nafulu Bawömataluo Diaspora yang menyanyikan Mazmur 23 dengan langgam vokal leluhur Nias dalam Diskusi yang berlangsung di Double V Coffee & Eatery, Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (26/7/2025) sore. (foto: Bachtiar Dj)

Mini-pameran foto juga ditampilkan, memperlihatkan proses repatriasi arsip dari Belanda ke desa-desa di Nias. Gambar-gambar ini memperlihatkan wajah-wajah haru para tetua yang mendengar kembali suara saudara, orang tua, atau nenek moyangnya.

Disiplin Manaö, tokoh diaspora Nias, mengingatkan bahwa meski Nias tidak memiliki tradisi tulis, kekuatan oratur dan nyanyian seperti hoho dan fo’er telah lama menjadi sarana menjaga identitas. “Suara yang Pulang adalah pengingat bahwa kami masih punya akar yang kuat, dan itu bersumber dari ingatan kolektif yang hidup,” ujarnya.

Dalam sesi tanya jawab, muncul berbagai pertanyaan teknis dan filosofis: bagaimana arsip ini diakses? Siapa yang boleh mengelola? Apa bentuk pelibatan masyarakat?

Dr. Widya Fitria Ningsih, sejarawan dari UGM yang juga hadir sebagai pembicara, menjelaskan bahwa repatriasi merupakan langkah nyata meluruskan sejarah. “Ini bukan soal romantisme masa lalu,” katanya, “melainkan koreksi atas narasi sejarah yang selama ini bias kolonial dan terpusat.”

Ia menegaskan pentingnya menjadikan arsip ini hidup, bukan sekadar data. “Harus ada dukungan berkelanjutan agar masyarakat tidak hanya menjadi objek penerima warisan, tapi subjek yang menentukan arah hidup budaya itu sendiri,” katanya.

Harapan Baru dari Arsip yang Pulang

Acara ditutup dengan penyerahan simbolis salinan arsip digital kepada sejumlah perwakilan komunitas, seperti Badan Penghubung Provinsi Sumatera Utara, Nafulu Bawömataluo Diaspora, dan Forum Nihakeriso Ononiha. Panitia juga memberikan ukiran kayu khas Nias sebagai simbol komitmen pelestarian warisan budaya.

03 Penyerahan arsip suara dari Dr Barbara Titus kepada Rosriana Ghea, dari Forum Komunikasi Niha Keriso Ononiha seusai diskusi yang diselenggarakan di Double V Coffee & Eatery Rawamangun Jakarta Timur, Sabtu (26/7/2025) sore. (foto: Bachtiar Dj)

Doa bersama dan penghormatan kepada leluhur menutup acara dengan syahdu. Barbara Titus menyampaikan kesan terakhirnya, “Setiap rekaman bukanlah benda mati. Ini adalah suara hidup yang memanggil kita untuk menjaga nilai dan martabat budaya.”

Sementara itu, Doni Kristian Dachi menambahkan, “Warisan leluhur bukan hanya kenangan. Ia adalah energi dan inspirasi bagi generasi masa depan.”

Melalui dialog dan repatriasi suara ini, komunitas Nias menegaskan: warisan budaya bukan milik masa lalu, tapi jembatan menuju masa depan yang lebih berdaulat dan berakar kuat. (*)

 

Kontributor: Bachtiar Dj

Editor: Abdel Rafi 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular