
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Di tengah gencarnya kampanye pemerintah soal penguatan ekonomi syariah sebagai fondasi pembangunan berkelanjutan, justru ada sinyal bahaya dari pasar sukuk negara. Investor mulai ragu. Minat melemah. Bahkan generasi muda, yang digadang-gadang sebagai tumpuan masa depan, justru mulai menjauh.
Menurut Prof. Dr. Rossanto Dwi Handoyo, Ph.D, pakar ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, kondisi ini bukan soal kualitas instrumen. “Sukuk itu bukan produk gagal. Tapi investor sekarang makin rasional dan punya banyak opsi lain yang lebih fleksibel,” ujarnya.
Lesunya pasar sukuk tak terjadi di ruang hampa. Gejolak geopolitik, ekonomi global yang melambat, serta naik-turunnya harga minyak dan emas membuat investor semakin berhati-hati. Apalagi, kini pilihan makin beragam, dari properti sampai aset digital seperti kripto yang makin dilirik generasi muda.
“Persaingan antar instrumen keuangan sangat agresif. Investor sekarang oportunis dan cepat pindah haluan,” lanjut Rossanto.

Padahal, secara teori, tren suku bunga yang turun harusnya jadi angin segar bagi sukuk sebagai instrumen pendapatan tetap. Tapi kenyataan berkata lain: investor lebih memilih produk yang likuid, fleksibel, dan mudah dipantau.
Yang lebih mengkhawatirkan, literasi keuangan syariah masih rendah, terutama di kalangan generasi Z. Meski kelompok ini menyumbang 11 persen dari total investor ritel SBN, survei terbaru menyebutkan hanya 39% dari mereka yang paham soal keuangan syariah.
“Kalau pendekatannya masih kaku dan terlalu formal, jangan heran kalau mereka terus menjauh. Generasi muda hidup di TikTok, YouTube, Instagram, bukan di brosur cetak atau seminar formal,” tegas Rossanto.
Menurutnya, kegagalan komunikasi inilah yang jadi akar masalah. Promosi sukuk belum menyentuh dunia digital yang digemari anak muda. “Ada gap besar di sana,” katanya.
Rossanto menegaskan, sudah saatnya pemerintah dan otoritas keuangan melakukan gebrakan. Edukasi soal keuangan syariah harus dikemas lebih segar, kreatif, dan masuk ke kanal-kanal digital. Bukan sekadar kampanye, tapi juga membangun narasi kebermanfaatan sosial dari investasi sukuk.
“Transparansi penggunaan dana penting agar investor tahu, uang mereka bukan cuma menguntungkan, tapi juga berdampak. Inovasi produk seperti green sukuk, sukuk wakaf, dan sukuk pendidikan harus jadi ujung tombak,” ungkapnya.
Pasar sukuk punya potensi besar, tetapi tanpa langkah cerdas dan berani, Indonesia bisa kehilangan momentum emas di sektor ekonomi syariah yang sedang tumbuh cepat secara global.(*)
Editor: Abdel Rafi



