SURABAYA – Rencana kenaikan pajak kendaraan bermotor (PKB) bahan konvensional atau bahan bakar minyak (BBM) menuai keluhan dan kekhawatiran banyak pihak. Rencana itu diusulkan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Luhut Binsar Pandjaitan sebagai upaya untuk mengakselerasi ekosistem kendaraan listrik sekaligus menekan polusi udara.
Menanggapi isu tersebut, ekonom Dr. Ni Made Sukartini, SE., MSi., MIDEC., mengatakan bahwa dirinya setuju dengan usulan tersebut dengan dua alasan. Pertama, bensin adalah produk yang terbuat dari sumber daya alam yang tidak mudah diperbaharui. Indonesia telah lama menjadi negara net importir untuk bahan bakar minyak, salah satunya bensin.
“Hal itu sesuai dengan data Kementerian ESDM yang mencatat bahwa kondisi tersebut berlangsung sejak tahun 2004, bahkan impor bensin telah berlangsung sejak tahun 1997,” ujarnya pada media ini.
Selain itu, lanjutnya, meskipun Indonesia telah memproduksi minyak mentah, pemerintah belum mampu mengolahnya menjadi bahan bakar siap pakai. Oleh sebab itu, Indonesia masih membeli bahan bakar minyak (BBM) di pasar internasional yang sangat berisiko oleh perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar dan mata uang internasional lainnya.
“Dengan demikian, tingginya konsumsi BBM ini akan menguras stok sumber daya alam migas dan mengurangi cadangan devisa negara,” imbuhnya.
Alasan kedua mengapa dirinya setuju dengan rencana kenaikan pajak motor bensin adalah penggunaan kendaraan motor bensin dapat menimbulkan polusi melalui sisa pembakaran. Harga BBM yang relatif terjangkau dan kepemilikan kendaraan sebagai bagian dari aset bergerak telah membuat banyak orang membeli kendaraan motor sebagai bagian dari investasi atau aset rumah tangga. Banyak orang beranggapan dengan memiliki banyak kendaraan, mereka akan merasa makin kaya dan memiliki status sosial yang lebih tinggi.
“Akibatnya, konsumsi menjadi makin tinggi. Untuk membatasi pertumbuhan jumlah kendaraan di jalan, mengurai kemacetan, dan menurunkan sumber polusi udara, maka tarif pajak motor bensin sebaiknya dinaikkan,” tukasnya.
Kendati demikian, Made -sapaan akrabnya- menegaskan bahwa dirinya kurang setuju terhadap argumen bahwa akselerasi ekosistem kendaraan listrik dapat menekan polusi udara. Memang benar bahwa kendaraan listrik dapat menurunkan polusi udara. Namun, jika listrik tersebut berasal dari fosil atau batu bara, maka penggunaan bahan baku tersebut akan berkontribusi terhadap polusi dan kerusakan lingkungan.
“Jika pun produksi listrik di Indonesia sudah menggunakan sumber daya terbarukan seperti solar power, wind power, atau hydro power. Maka keberlanjutan sumber daya ini pun masih perlu dipertanyakan,” tegasnya.
Selain penggunaan bahan baku listrik, Made mengatakan infrastruktur kendaraan listrik di Indonesia masih belum terdistribusi secara merata. Sebagai contoh charging station, ketersediaan sparepart, dan tenaga montir. Lebih dari itu, kebutuhan Listrik bagi masyarakat di luar Jawa juga belum sepenuhnya terlayani oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).
“Artinya, pemenuhan listrik hanya bagus di Pulau Jawa saja. Namun, kebutuhan listrik di area luar Jawa belum sepenuhnya terlayani. Sebagaimana data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional, Red.) tahun 2020 yang menyatakan bahwa rasio listrik di wilayah timur masih pada kisaran 75% – 80% dan rata-rata daya listrik rumah tangga di wilayah ini masih dibawah 900 watt,” paparnya detail.
Made menyampaikan bahwa akselerasi kendaraan listrik mungkin dapat berpotensi menurunkan polusi. Namun, apakah penggunaan kendaraan listrik dapat menjamin keamanan para pengendara? Mengingat kondisi topografi Indonesia yang cukup rawan bencana seperti banjir ketika musim penghujan.
“Oleh sebab itu, kesimpulan saya, kebijakan ini perlu dikaji kembali dengan mempertimbangkan banyak aspek,” pungkas dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair itu.
(pkip/mar/bti)