Riwayat Pertamina sendiri masih dipenuhi masalah, mulai dari skandal pengelolaan migas, kebocoran anggaran, hingga tata kelola yang tak kunjung transparan. Nama Riza Chalid, sosok lama dalam bisnis migas yang belakangan disebut-sebut sebagai dalang kerusuhan saat demonstrasi, semakin menguatkan kesan bahwa Pertamina tidak pernah steril dari permainan politik dan kepentingan elit. Kini, di bawah kendali komisaris yang ditunjuk langsung oleh Presiden Prabowo Subianto, Pertamina makin terlihat sebagai instrumen kekuasaan ketimbang perusahaan energi yang benar-benar mampu bersaing di pasar.
Dalam konteks ini, kasus Shell yang dipaksa membeli bensin dari Pertamina memperlihatkan wajah buram nasionalisme energi ala pemerintah. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia bahkan menegaskan bahwa langkah itu sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945, seolah-olah kebijakan monopoli bisa dengan mudah disamakan dengan “penguasaan negara atas hajat hidup orang banyak.” Pertanyaannya, apakah negara sungguh-sungguh hendak membela rakyat dengan menjamin ketersediaan energi, atau sekadar menjadikan UUD 1945 sebagai tameng bagi Pertamina untuk kembali memonopoli pasar?
Retorika “nasionalisme energi” akhirnya terjebak dalam permainan semantik. Alih-alih membangun kompetisi sehat yang mendorong kualitas dan efisiensi, pemerintah memilih jalur pintas yakni memaksa swasta tunduk pada BUMN yang sudah lama kehilangan gereget kompetitifnya. Ini bukanlah wujud kedaulatan energi, melainkan bentuk baru dari kartel yang dilegalkan negara.
Monopoli yang Mengorbankan Konsumen
Di atas kertas, pemerintah selalu berdalih bahwa rakyat akan diuntungkan dengan nasionalisme energi. Namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya dimana justru konsumen yang paling dirugikan. Data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) misalnya, mencatat bahwa pangsa pasar Pertamina Patra Niaga di segmen BBM non-subsidi menembus lebih dari 92%. Sementara itu, badan usaha swasta seperti Shell, BP-AKR, dan Vivo hanya mendapatkan 1-3% saja. Dengan dominasi seperti ini, wajar bila konsumen tidak memiliki pilihan lain selain tunduk pada kualitas dan harga yang ditentukan Pertamina.
Kesenjangan juga tampak dalam alokasi impor. Ketika kuota tambahan diberikan, Pertamina memperoleh jatah hingga 613 ribu kiloliter, sedangkan badan usaha swasta hanya mendapat antara 7 ribu hingga 44 ribu kiloliter. Kebijakan ini jelas timpang yaitu bagaimana mungkin swasta bisa berkompetisi bila akses pasokannya sudah dikunci sejak awal? Tidak heran jika belakangan banyak SPBU swasta harus mengurangi jam operasional karena stok BBM menipis, terutama untuk bensin dengan angka oktan tinggi yang justru semakin dibutuhkan masyarakat.
Kondisi ini pada akhirnya menciptakan ironi. Pertamina yang selalu dibela negara justru berulang kali tersandung masalah kualitas dan layanan. Survei konsumen menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan Pertamina sangat ditentukan oleh kualitas BBM, aplikasi MyPertamina, dan pelayanan SPBU. Ketika salah satu komponen ini bermasalah seperti antrean panjang, aplikasi galat, atau kualitas bensin yang diragukan yang langsung berdampak pada kepuasan publik pun langsung anjlok. Tetapi karena tidak ada alternatif nyata di pasar, konsumen terpaksa bertahan dengan standar yang seadanya.
Inilah bentuk nyata monopoli yang dikemas dengan jargon nasionalisme energi dengan rakyat dipaksa membayar lebih mahal, mendapatkan kualitas yang tidak selalu lebih baik, dan kehilangan hak atas pilihan. Bila begini, nasionalisme energi bukan melindungi kepentingan rakyat, melainkan mengorbankan mereka demi menjaga kenyamanan monopoli.
Belajar dari Petronas
Jika pemerintah Indonesia serius ingin menegakkan nasionalisme energi, seharusnya belajar dari Malaysia. Petronas adalah contoh bagaimana sebuah BUMN energi bisa tampil sebagai pemain global tanpa harus dimanjakan proteksi monopoli dalam negeri. Meski harus bersaing dengan merek-merek internasional seperti Shell dan Caltex, Petronas tetap menjadi kebanggaan nasional Malaysia sekaligus perusahaan energi kelas dunia.
Petronas kini berada di peringkat Fortune Global 500 dan menjadi salah satu dari sedikit perusahaan Asia Tenggara yang konsisten mencatat laba besar. Pada 2023, Petronas melaporkan pendapatan sebesar RM 352,3 miliar atau sekitar Rp 1.200 triliun dengan laba bersih mencapai RM 80,7 miliar. Angka ini jauh melampaui capaian Pertamina, yang masih berkutat pada persoalan efisiensi dan tata kelola. Lebih menarik lagi, ekspansi Petronas tidak hanya di kawasan regional, tetapi juga ke Afrika, Timur Tengah, hingga Amerika Latin menunjukkan bahwa daya sainglah yang membuatnya bertahan, bukan proteksionisme berlebihan.
Lebih penting, pemerintah Malaysia tidak pernah menjadikan Petronas sebagai “tameng politik” atau ajang pembagian jabatan komisaris untuk kepentingan elit. Petronas justru dipacu untuk profesional, transparan, dan inovatif. Akibatnya, kehadiran pesaing asing tidak dipandang sebagai ancaman, melainkan pemicu agar Petronas terus memperbaiki diri. Inilah yang membedakan nasionalisme energi yang sehat dengan sekadar omong kosong yang mana satu berbasis pada daya saing, yang lain berbasis pada monopoli dan proteksi.
Dengan perbandingan ini, kita bisa melihat bahwa nasionalisme energi sejati bukan soal menutup pintu bagi swasta atau asing, melainkan soal menjadikan BUMN energi cukup kuat untuk bertarung di arena terbuka. Tanpa itu, nasionalisme hanya akan jadi jargon kosong, sementara rakyat terus menanggung beban layanan yang buruk dan pilihan yang terbatas.
Regulasi sebagai Jalan Tengah, Bukan Represi
Kedaulatan energi tidak harus berarti monopoli. Negara punya instrumen yang jauh lebih efektif dengan regulasi yang adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan publik. Nasionalisme energi seharusnya diwujudkan melalui standar mutu yang ketat, kewajiban pelayanan yang merata, dan dorongan inovasi agar BUMN tidak hanya jadi raksasa gemuk yang malas bersaing. Dengan begitu, rakyat benar-benar mendapatkan manfaat berupa kualitas BBM yang lebih baik, harga yang lebih kompetitif, dan layanan yang bisa diandalkan.
Sebaliknya, kebijakan yang memaksa swasta “bernaung” di bawah Pertamina hanya akan melanggengkan kartel resmi. Konsumen dipaksa membeli produk yang kualitasnya stagnan, sementara alternatif dipangkas habis atas nama nasionalisme. Bila pemerintah terus berlindung di balik Pasal 33 UUD 1945 tanpa membaca konteksnya secara utuh, maka nasionalisme energi hanya akan jadi tameng politik, bukan instrumen untuk menyejahterakan rakyat.
Nasionalisme energi sejati adalah ketika Pertamina sanggup bersaing, bukan ketika pesaing dipaksa mengalah. Jika pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat, maka Pertamina harus ditantang untuk membuktikan daya saingnya, bukan dilindungi dari kompetisi. Regulasi harus hadir sebagai pengatur irama agar semua pemain bisa berkontribusi, bukan sebagai palu godam yang menyingkirkan mereka yang dianggap mengganggu.
Tanpa perubahan paradigma ini, nasionalisme energi hanya akan terus jadi omong kosong. Rakyat tetap menjadi korban monopoli, sementara elit politik dan segelintir pengusaha migas menikmati rente. Dan selama itu pula, slogan “kedaulatan energi” tak lebih dari jargon kosong yang menutupi kenyataan bahwa energi kita dikuasai bukan demi rakyat, melainkan demi kekuasaan.
PROBO DARONO YAKTI
Pengajar Mata Kuliah “Energi dan Transformasi Internasional” Prodi S1 Hubungan Internasional FISIP UNAIR dan Co-founder Nusantara Policy Lab