Friday, March 29, 2024
HomeGagasanLonceng Kematian KPK di Tangan Jokowi

Lonceng Kematian KPK di Tangan Jokowi

(Foto: Setpres)

Sebuah harian terkemuka edisi hari ini (6/9/2019) memuat sebuah ulasan berita dengan judul yang cukup menarik. “Nasib KPK di Tangan Presiden.” Begitu kira-kira judul berita itu yang terbit persis dengan satu hari selepas Rapat Paripurna DPR (5/9/2019) dengan suara bulat sepakat mengajukan revisi UU-KPK agar dijadikan sebagai RUU atas usul inisiatif DPR. Yang menarik dari pemberitaan itu adalah adanya operasi senyap yang dilakukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam mempercepat proses pengusulan revisi UU-KPK. Rupanya diam-diam rancangan itu telah dilakukan pembahasan beberapa kali dalam waktu amat singkat di internal Baleg DPR. Seolah ada tenggat waktu yang dikejar. Tulisan ini bukan hendak bermaksud untuk membahas pasal demi pasal yang dinilai perlu dilakukan revisi. Tapi lebih pada menyoroti peran seorang Presiden dalam mengakomodasi tuntutan publik dalam upaya menyelamatkan lembaga anti rasuah ini jatuh terpuruk. Sebagai kepala Negara, Presiden Jokowi tak boleh diam atau bersikap netral berlarut-larut membiarkan KPK diobok-obok tak berkesudahan. Sikap tegas harus diambil. Tak bertindak cepat sama artinya mempertontokan lunturnya komitmen Jokowi pada pemberantasan korupsi. Substansinya serupa dengan berita harian edisi hari ini. Mengingatkan Presdien Jokowi agar tidak mengulangi kesalahan dua kali dan bersikap waspada terhadap anasir-anasir lingkar dalam kekuasaannya yang berupaya tak kapoknya melemahkan eksistensi KPK.

Harus diakui, skenario drama baru pelemahan KPK ini bermula dari Presiden Jokowi yang keliru membuka langkah penentu langgam permainan. Presiden layak dikritik lantaran dinilai sembrono dan menyerah terhadap desakan segelintir elit politik yang bermain lewat pansel KPK menggolkan kandidat-kandidat capim KPK yang dinilai punya rekam jejak bermasalah. Presiden Jokowi terkesan begitu mudah percaya kepada hasil penilian pansel tanpa menimbang dulu masukan dari koalisi masyarakat sipil terhadap rekam jejak kandidat-kandidat capim yang dinilai punya rekam jejak bermasalah. Terutama terhadap capim yang dinilai bermasalah diduga belum menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan capim yang diduga melakukan pelanggaran etik. Kendati penilaian itu dibantah oleh Presiden dengan narasi normative bahwa terhadap semua capim yang disuulkan telah dilakukan penelusuran dan pemeriksaan mendalam. Faktanya, Presiden terkesan tergesa-gesa menyerahkan 10 nama capim kepada DPR dalam waktu begitu singkat hanya dua hari selepas diserahkan oleh Pansel. Sikap Presiden Jokowi itu dinilai publik justru mempercepat lonceng kematian KPK.

Tentu publik patut bertanya langkah Presiden Jokowi yang begitu cepat menyampaikan 10 nama capim KPK untuk segera dipilih DPR. Pada waktu bersamaan, DPR mengajukan usulan draft revisi UU-KPK. Ada gerangan apa ini? Boleh jadi upaya super cepat ini ditafsirkan publik sebagai upaya untuk menjinakan KPK. Pemerintah butuh pengamanan. Iya, pengamanan. Terutama pengamanan terhadap adanya kepastian terkait pelaksanaan pembangunan infrastruktur yang pembiayaannya didominasi oleh hutang luar negeri tak boleh terganggu oleh adanya operasi KPK. Untuk itu, KPK mesti dibungkam. Salah satunya dengan melakukan operasi distorsi kewenangan dengan mempreteli kewenangan yang selama ini dinikmati oleh KPK dan distorsi peran terhadap penyidik-penyidik senior KPK yang selama ini dinilai sebagai penggerak operasi-operasi yang selama ini dilakukan oleh KPK. Apalagi akhir-akhir ini operasi KPK itu mulai menyasar kepada beberapa Direksi BUMN yang dalam Pilpres tempo hari dianggap turut berjasa memenangkan Jokowi. Dalam spektrum yang lebih luas, pemerintah kuatir operasi KPK itu menembus jantung kerja sama BUMN dengan korporasi-korporasi China dalam pembangunan infrastruktur.

Dalam kaitannya dengan kerja sama operasional pembangunan infrastruktur, menurut KPK ekspansi bisnis dan investasi China ke Indonesia lewat Belt and Road Initiative (BRI) yang operasionalnya bekerja sama dengan BUMN patut diwaspadai. Kenyataannya, meski terkesan positif, proyek BRI China memang banyak dikritik karena dianggap sebagai jebakan hutang bagi negara berkembang. Di Indonesia, bahkan persoalannya bukan hanya semata hutang. Banyak pihak juga mencurigai BRI sebagai akal-akalan pemerintah China guna menguasai kepemilikan proyek infrastruktur dalam negeri. Alasan KPK masuk akal. Korporasi asal China dikenal tidak punya prinsip anti korupsi. Bagi KPK, kerja sama bisnis itu mesti diwaspadai.

Rupanya kekuatiran KPK cukup punya alasan. Survey Transparansi Internasional (TI) yang dirilis tahun 2011 melibatkan sekitar 3.000 eksekutif perusahaan di 28 negara ekonomi besar, termasuk Indonesia. Semua negara anggota Kelompok 20 (G-20) dilibatkan dalam survei. Sebanyak 28 negara yang disurvei itu dinilai maju secara ekonomi. Dari hasil survei itu diketahui, China dan Rusia berada di peringkat paling bawah, yakni di posisi ke-27 dan 28. Itu artinya perusahaan pada dua negara itu ”paling curang”, paling suka menyuap untuk melancarkan kegiatan bisnisnya, baik di dalam maupun luar negeri. Bahkan menurut peneliti TI, Elena Panfilova, hampir tidak ada lagi kejujuran dalam kehidupan bisnis yang berlaku pada korporasi China. Menurutnya, kemungkinan suap yang dibayarkan dari sebuah perusahaan swasta kepada yang lain ”adalah hampir setinggi penyuapan pejabat publik di semua sektor”. Elena Panfilova mengatakan, ”Penyuapan juga bisa disamarkan melalui penawaran hadiah bagi klien dan hospitalitas perusahaan yang tak dinilai.”

Bagi TI, kondisi itu amat memprihatinkan. Sebab, perusahaan kedua negara, terutama China, saat ini merajai hampir semua benua. China juga sudah menancapkan taring bisnisnya ke Afrika dan Amerika Selatan, selain di negara-negara di Asia, Eropa, dan juga Amerika. Penyuapan dan korupsi pasti akan memberikan dampak yang besar bagi lingkungan bisnis mereka. Maka tak salah pula, bila kita berkesimpulan kerja sama operasional BUMN dengan korporasi China di sini tak luput diwarnai dengan praktik suap.

Tak adil pula menimpakan penilaian buruk hanya pada faktor di luar tubuh KPK. Mesti diakui pula, sebagian alasan untuk melakukan revisi UU-KPK justru ada di tubuh KPK sendiri. Sedari awal KPK berdiri, para komisioner boleh dibilang gagal dalam merumuskan road map pemberantasan korupsi nasional yang berkelanjutan berbasis pada prioritas bidang pengarapan yang dilakukan secara konsisten. Baru kemudian pada tahun 2012, road map pemberantasan korupsi nasional usai dirumuskan. Ternyata dalam hal penanganan grand corruption, sistem integritas nasional, dan fraud control system, fungsi-fungsi tersebut terabaikan penanganannya atau belum menjadi prioritas utama. Publik masih menilai kasus mega korupsi tak tertangani optimal dan jauh dari asa publik. Kasus-kasus mega korupsi seperti BLBI, Century, e-ktp dan Pelindo tak berhasil terungkap tuntas. Sementara bagi Jokowi sendiri, maraknya operasi tangkap tangan yang semarak dilakukan KPK justru dinilai sebagai kegagalan KPK dalam membangun sistem integrasi nasional. KPK gagal memberikan efek jera bagi para koruptor sehingga praktik korupsi tak lagi sebagai perbuatan tabu yang menakutkan. Bagi Jokowi, keberhasilan KPK ada pada kuatnya fungsi pencegahan bekerja. Lantaran dua alasan inilah Presiden Jokowi sejatinya menghendaki KPK perlu segera diruwat.

Komitmen Presiden

Terlepas dari adanya kelemahan KPK itu, Presiden Jokowi sendiri pernah diragukan komitmennya dalam pemberantasan korupsi lantaran pada tahun 2017 berencana membentuk Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) Polri dengan alokasi anggaran sebesar 2,6 trilyun setara dengan anggaran KPK, Publik menilai, Presiden hendak melemahkan KPK dengan mendistorsi kelembagaan. Pembentukan Detasement khusus pemberantasan korupsi di bawah Polri yang kelak berfungsi serupa dengan KPK merupakan upaya strategis guna mengambil alih dan mereduksi kewenangan KPK. Secara gradual, Detasemen ini mengoptimalkan unit tipikor yang kini mati suri. Namun, boleh jadi lantaran alasan anggaran pembentukan Detasemen itu mendadak ditunda. Kendati begitu, ternyata Presiden Jokowi pernah pula menghentikan pembahasan revisi UU-KPK di DPR tahun 2016. Namun, tak berbuat banyak saat DPR kembali menggulirkan usulan revisi UU-KPK tahun 2017, tetapi ditolak rakyat.

Lantas, bagaimana sikap Presiden selanjutnya? Bagaimana pun Presiden Jokowi mesti bersikap. Kepemimpinan Jokowi yang kuat dengan dukungan koalisi parpol di Parlemen dinilai mempuyai real politic yang lebih solid ketimbang kepemimpinan sebelumnya. Modal politik ini semestinya bisa digunakan untuk mencegah pelemahan KPK terus berlanjut. Sebagai langkah awal, dengan dukungan besar koalisi parpol dinilai mampu mengendalikan parlemen supaya tidak lagi meneruskan pembahasan Revisi UU-KPK maupun menghentikan pemilihan nama-nama capim KPK yang terbukti tersangkut pelanggaran kode etik. Dua upaya minimal itu harus segera dilakukan oleh Presiden. Sebab, apabila praktik distorsi kelembagaan terhadap KPK terus dibiarkan justru dikuatirkan menguatnya oligarki kekuasaan elit politik punya hidden agenda dalam upaya melemahkan KPK akan terbukti. Bila hal itu terjadi, ke depan pemberantasan korupsi akan berjalan di bawah bayang-bayang kendali elit politik lantaran kinerjanya mengabaikan kaidah-kaidah rule of the law yang berlaku. Ataukah, usulan revisi UU-KPK kali ini hanya sekedar sandiwara belaka guna mengukuhkan peran Presiden sebagai pendekar pemberantasan korupsi? Walllahu’alam bissawab.

Jakarta, 6 September 2019

 

ANDI W. SYAHPUTRA

Direktur Eksekutif Government Watch (GOWA)

RELATED ARTICLES

Most Popular