Wednesday, October 8, 2025
spot_img
HomeSosial BudayaSastraLiterasi Tak Pernah Menang, Karena Ia Tak Pernah Berlomba

Literasi Tak Pernah Menang, Karena Ia Tak Pernah Berlomba

Kegiatan anak-anak di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. (foto: Syarifudin Yunus)

BOGOR, CAKRAWARTA.com – Di antara tumpukan buku yang tak pernah selesai dibaca, di ruang sunyi tempat kata-kata tumbuh dalam diam, seorang lelaki paruh baya menyusun kembali makna tentang literasi. Ia bukan pejabat kementerian, bukan pula penggagas program nasional. Tapi suaranya lantang dari balik dinding sederhana Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka, di kaki Gunung Salak, Bogor.

Namanya Syarifudin Yunus. Ia dosen di Universitas Indraprasta dan pegiat literasi yang memilih hidup di antara anak-anak desa dan buku-buku tua. Memaknai literasi, ia melakukan sebuah renungan panjang yakni apakah kita benar-benar paham apa itu literasi?

“Literasi itu bukan perlombaan. Bukan soal siapa cepat, siapa banyak,” ujarnya pada media ini, Rabu (9/7/2025). “Ia bukan karier. Ia tidak menjanjikan sukses. Literasi itu pengabdian.”

Suaranya terasa sunyi, namun menggetarkan. Sebab di tengah maraknya euforia program literasi yang gemar menggelar lomba membaca, kompetisi menulis, hingga festival penuh seremoni, Syarifudin memilih jalan sepi: menyusuri lorong-lorong sempit desa dan membuka buku bagi yang tak punya akses.

Baginya, literasi bukan tentang hasil. Ia adalah perjalanan panjang yang tak pernah selesai. “Setiap orang boleh menggadang-gadang literasi, tapi siapa yang betul-betul menjalaninya? Literasi itu bukan hasil yang dikejar, tapi proses yang dijalani,” ucapnya lagi.

Ia mengutip Anthony Hope, bahwa literasi, sama seperti kebahagiaan, adalah buah dari tindakan bermakna yang dilakukan berulang. Membaca buku, menulis catatan harian, mengajari anak-anak mengeja kata, adalah bentuk-bentuk kecil literasi yang tidak perlu pengakuan, tapi berdampak jauh lebih luas.

“Tidak ada sukses dalam literasi. Karena apa yang baik hari ini, belum tentu baik besok. Tidak ada yang tertinggal, karena tidak ada yang dilombakan,” tegasnya.

Literasi, dalam pandangannya, adalah kesediaan untuk terus belajar, berkarya, dan membantu orang lain tanpa pamrih. Ia bukan demi nama atau jabatan. Ia tidak memperebutkan panggung. Ia tidak butuh aplaus.

Di Lentera Pustaka, tak ada nama-nama besar. Hanya anak-anak desa yang setiap hari membuka buku dengan tangan belepotan tanah. Hanya relawan yang tetap datang meski tanpa honor. Hanya lembar-lembar kertas yang mencatat impian sederhana: menjadi orang yang tahu, agar tidak mudah ditipu.

Syarifudin tahu, ia tidak sedang membangun keajaiban. Tapi ia percaya, sekecil apapun langkah dalam literasi, suatu saat akan menentukan arah peradaban.

“Hidup ini terlalu singkat untuk menunggu literasi jadi sempurna,” tegasnya di akhir renungan. “Maka nikmati saja anak tangga literasi satu per satu. Jangan merasa tertinggal. Karena literasi, tidak pernah meninggalkan dan tidak pernah ditinggalkan.”

Di dunia yang semakin riuh oleh kompetisi dan popularitas, suara sunyi dari kaki gunung ini mengingatkan kita bahwa literasi bukan tentang siapa yang paling cepat sampai, tapi siapa yang paling tekun melangkah.

Dan barangkali, dalam langkah-langkah itulah, bangsa ini masih punya harapan. Semoga. (*)

Editor: Tommy dan Rafel

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular