JAKARTA – Alumnus Lemhanas RI Rahman Sabon Nama mengatakan pelajaran yang bisa dipetik dari kasus pembantaian 31 pekerja Istaka Karya , terkuak dari pernyataan sementara elit Jakarta.
“Dari pernyataan itu rakyat menjadi paham, siapa yang pro NKRI dan siapa yang suka mengekspresi NKRI harga mati hanya sekedar ucapan simbolik untuk melindungi kepentingan politik dan ekonomi kelompoknya semata,” ujar Rahman, Senin (10/12/2018) kepada redaksi cakrawarta.com
Mencermati pernyataan dari sementara kalangan elit penguasa terkait penyelesaian Papua yang hanya bisa diselesaikan melalui pendekatan kelompok kriminal bersenjata (KKB) sebagai domain Polri dan daerah operasi militer (DOM0 sebagai domain TNI, Rahman jadi bertanya: “Lha, kenapa pemerintah takut dengan tidak menyinggung bahwa kasus penembakan pekerja jalan di Papua itu dilakukan oleh kelompok teroris bersenjata? Padahal TNI tidak harus dilibatkan melalui DOM, tetapi bisa dilibatkan atas perintah UU Teroris 2018!?”, imbuhnya.
Oleh karena itu, terkait kasus Papua tersebut, menurut Rahman, hanya Menteri Pertahanan Jendral TNI (Pur) Riamizard Riacudu yang berpikiran jernih untuk menyelamatkan keutuhan NKRI, negara dan rakyat melalui pernyataannya di sebuah stasiun TV nasional pada Jumat (7/12/2018) lalu.
Rahman juga menyayangkan kenapa Presiden Joko Widodo menunjuk Staf Khusus Presiden Bidang V berbicara di publik terkait pembantaian pekerja di Papua itu, bukan kepada Menkopolhukam atau Kepala Wantanas saja.
“Padahal kegiatan KKB Papua sudah tergolong perbuatan yang dilakukan oleh Kelompok Teroris Bersenjata (KTB),” kata pria NTT yang suka memerhati masalah militer dan pertahanan ini.
Dia mengatakan, apabila pemerintah serius dan jujur pada rakyat Indonesia melindungi NKRI dari ancaman disintegrasi bangsa, rakyat dan negara, maka seharusnya dengan merujuk pada UU teroris 2018, TNI dapat dilibatkan dengan ketetapan Presiden bahwa kejahatan bersenjata penembakan 31 pekerja dan personil TNI di Papua, bukanlah oleh KKB tetapi oleh kelompok teroris bersenjata. Dengan begitu, kata Rahman, keterlibatan TNI bukan pada DOM tetapi penanganan teroris.
“Terkait hal ini, saya yakin Presiden Jokowi akan mendapat tekanan oleh elit di sekitar beliau. Mereka tidak setuju jika Presiden menetapkan pelaku pembantaian itu sebagai pelaku teroris. Karena diduga selama ini mereka ikut bermain api di Papua sebagai antek aseng dan asing untuk mendukung kegiatan ekonominya di Papua. Mereka inilah nanti yang paling ngotot menentang sebutan teroris,” kata Rahman.
Rahman juga mengatakan bahwa solusi masalah Papua, tidak bisa diatasi melalui security approach, tetapi harus melalui prosperity approach dan human approach.
“Dua pendekatan inilah solusi terpenting dan urgen menurut saya,” tegasnya.
Persoalan gejolak Papua ini, masih kata Rahman, jauh-jauh hari, telah memberikan peringatan kepada Presiden Joko Widodo.
“Awal 2015 ada empat point penting yang saya sampaikan kepada Presiden. Dua di antaranya, diimplementasi Presiden yaitu, membentuk Staf Khusus Presiden Urusan Papua dan pembebasan semua tahanan politik Tapol orang asli Papua,” papar Rahman.
Sayangnya, untuk Staf Khusus Presiden Urusan Papua, menurut Rahman, dijabat oleh orang yang tidak tepat dan kurang kapabel. Harusnya jabatan itu ditempati mantan jenderal militer anak Papua asli (OAP) yang punya wawasan kebangsaan NKRI handal dan andal.
“Saya melihat Tupoksi Staf Khusus Urusan Papua itu salah penerapan. Tidak sesuai tupoksi substantif sebagaimana konsep yang diusulkan olehnya kepada Presiden. Masukan terpenting lainnya yaitu pelibatan Zeni TNI dalam pembangunan infrastruktur jalan. Alasannya Papua rawan keamanan dan Zeni TNI punya kemampuan untuk itu.
Ia juga menegaskan bahwa dirinya juga mengingatkan pada Presiden sebagai masukan bahwa terpenting dalam membangun Papua yaitu membangun jiwa dan raganya melalui pembangunan kemanusiaan dan kesejahteraannya. Menurutnya, masukan tersebut didengarkan dan dijalankankan Presiden.
“Hanya pelibatan Zeni TNI-AD terdengar gaungnya saja. Prakteknya tidak dilakukan,” kata Rahman.
Rahman pada akhirnya mengingatkan, agar Presiden mewaspadai orang dekat di lingkungannya, karena mereka punya kepentingan melindungi kepentingan politik dan ekonominya di Papua. Sehingga mereka berkeinginan ganda yaitu melemahkan TNI melalui pendekatan DOM sehingga TNI dituduh melanggar HAM oleh dunia International dan mereka juga berperan membantu posisi politik OPM agar mendapat legitimasi politik di mata dunia internasional melalui operasi DOM untuk mendukung kemerdekaan OPM.
“Oleh karena itu saran saya agar pemerintah dalam hal ini Presiden sebaiknya secepatnya menetapkan KKB menjadi kelompok teroris bersenjata agar TNI dapat mengerahkan segenap kemampuannya terlibat di Papua sesuai UU Teroris 2018 untuk membasmi kelompok teroris bersenjata di Papua,” pinta Rahman Sabon Nama.
(bti)