
Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, adalah sosok yang telah menjadi bagian penting dalam sejarah intelektual Indonesia. Tidak hanya dikenal sebagai pemikir dan budayawan, Cak Nun juga terlibat aktif dalam pergerakan sosial, bahkan dalam momen-momen kritis yang mengubah wajah bangsa ini. Pada tahun 1998, di tengah pergolakan reformasi yang mengguncang Indonesia, Cak Nun menjadi salah satu tokoh yang memprakarsai gerakan untuk mendesak Soeharto mundur dari jabatannya. Gerakan ini turut didorong berbagai elemen masyarakat dan aktivis yang menunjukkan eksistensi Cak Nun sebagai bagian dari aktivis yang berani mengambil sikap dalam situasi menantang. Meskipun langkah besar, aktivis juga mempertanyakan keputusannya untuk datang ke Istana, menyuarakan suara dari atas yang terkesan agak dekat dengan kekuasaan.
Kendati demikian, peran Cak Nun dalam mendorong perubahan tetap diakui, dan
perjalanan pemikirannya yang tidak terikat oleh arus utama, menjadikannya sebagai salah satu pemikir yang dihormati, meskipun terkadang diliputi kontroversi. Cak Nun selalu berusaha untuk melihat permasalahan secara mendalam dan memberikan solusi yang tidak hanya mengandalkan argumen intelektual, tetapi juga pendekatan spiritual yang lebih humanis.
Konsistensi dalam Pemikiran yang Kritis dan Independen
Salah satu aspek yang menarik dari sosok Cak Nun adalah kemampuannya untuk tetap konsisten dalam berpikir kritis meskipun berada di luar arus utama. Tidak jarang pemikirannya dianggap radikal oleh sebagian kalangan, namun sejatinya Cak Nun selalu berupaya untuk menyuarakan kebenaran dengan cara yang mendalam dan reflektif. Pemikiran-pemikirannya sering kali melebihi konteks zaman dan banyak dari apa yang ia sampaikan teruji kebenarannya di kemudian hari. Salah satu contohnya adalah pemikirannya yang menyentuh tentang fenomena sosial, seperti ketika ia memperkenalkan pemakaian jilbab sebagai simbol kultural yang lebih luas melalui “Lautan Jilbab”. Meskipun pada awalnya ada yang meragukan, Cak Nun justru mampu membuat jilbab menjadi tren yang populer di kalangan masyarakat Indonesia, yang menjadikannya sebagai ikon dalam gerakan kesadaran sosial. Gerakan ini, meskipun kontroversial pada masa itu, menjadi bagian penting dalam menciptakan perubahan sosial yang lebih inklusif, bahkan kini jilbab menjadi bagian integral dari identitas sosial perempuan Indonesia.
Pemikiran Cak Nun yang sering keluar dari pola pikir mainstream ini juga mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk politik, agama, dan budaya. Ia tidak ragu untuk berbicara tentang masalah-masalah sosial yang sering dihindari oleh banyak orang. Misalnya, kritiknya terhadap pemimpin yang tidak memikirkan rakyatnya dan hanya mementingkan kepentingan pribadi. Semua itu ia sampaikan dengan cara yang tegas namun tetap penuh rasa hormat, menjaga keseimbangan antara kritikan tajam dan pesan moral yang mendalam.
Maiyah: Jejaring yang Terus Menginspirasi
Selain itu, Cak Nun juga dikenal dengan jaringan Maiyah yang ia bangun, yang kini telah berkembang pesat meski tanpa harus selalu dihadiri oleh dirinya sendiri. Maiyah, yang dimulai dari Bang Bang Wetan di Surabaya, Padang Mbulan di Jombang, Macapat Syafaat di Yogyakarta, hingga Kenduri Cinta di Jakarta, adalah ruang di mana orang-orang dapat saling berbagi pemikiran dan pengalaman, serta mencari kedamaian dalam menjalani kehidupan. Cak Nun, meskipun tidak lagi hadir di setiap pertemuan, telah menanamkan nilai nilai yang terus berkembang dalam forum forum tersebut. Maiyah menjadi tempat di mana tidak hanya ajaran agama yang disampaikan, tetapi juga berbagai topik lainnya, dari sosial, politik, hingga kebudayaan, dengan prinsip saling menghargai dan menjaga kedamaian. Forum ini telah menginspirasi banyak orang dan tetap menjadi ruang bagi pengembangan pemikiran yang berbasis pada kebersamaan dan ketulusan.
Dengan jejaring luas, Cak Nun telah memberikan wadah bagi banyak orang untuk menemukan pemikiran alternatif yang lebih konstruktif dan solutif terhadap masalahmasalah yang dihadapi bangsa ini. Dalam forum-forum Maiyah, yang terus hidup meskipun tanpa kehadiran fisiknya, dialog-dialog penting tentang kehidupan, agama, dan negara tetap berlangsung. Maiyah memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya keberagaman pendapat dan rasa saling menghormati dalam menghadapi persoalan bersama. Maiyah juga mengajarkan kita bahwa dialog yang penuh penghormatan adalah kunci untuk membangun solusi yang adil dan inklusif bagi berbagai tantangan sosial dan politik.
Mbah: Sebuah Gelar Kultural yang Mendalam
Secara kultural, Cak Nun juga dikenal sebagai “Mbah”, sebuah gelar yang menyiratkan penghormatan dan kedudukan yang dituakan dalam masyarakat. Sebagai Mbah, Cak Nun tidak hanya dihormati karena usianya yang semakin senja, tetapi juga karena kebijaksanaan yang ia miliki. Sebagai seorang “guru mursyid” dalam pandangan banyak orang, Cak Nun dianggap memiliki kedalaman spiritual yang mampu menuntun banyak orang dalam perjalanan hidup mereka. Meskipun tidak mau sosoknya disebut Ulama atau Kiai, gelar “Mbah” sewajarnya menggantikan kecintaan khalayak padanya. Bukan hanya sekedar sebutan untuk orang yang lebih tua, tetapi juga untuk mereka yang telah membuktikan diri sebagai pembimbing moral, pemberi arah dalam kehidupan, dan penyebar kebaikan. Dalam tradisi Jawa, “Mbah” adalah sosok yang dihormati, menjadi teladan dalam segala hal, baik dalam tingkah laku, pemikiran, maupun dalam kontribusinya terhadap masyarakat.
72 tahun hadir di dunia yang hanya sementara, Cak Nun tak hanya mengajarkan ilmu tetapi juga nilai-nilai kehidupan. Cak Nun bukan hanya sekadar seorang pemikir, tetapi juga seorang pemandu moral bagi generasi muda. Dalam setiap kata-kata dan tindakannya, beliau selalu berusaha menanamkan nilai nilai kemanusiaan, keberagaman, dan kedamaian. Cak Nun mengajarkan pentingnya toleransi, rasa empati, serta kesadaran sosial dalam berinteraksi dengan orang lain. Ini adalah warisan terbesar yang ia tinggalkan bagi bangsa Indonesia: sebuah ajaran tentang bagaimana hidup dengan penuh rasa hormat terhadap sesama dan menjaga kedamaian dalam keberagaman. Melalui petuah-petuahnya Cak Nun mengajak untuk selalu melihat kebaikan dalam perbedaan, serta menjaga solidaritas menghadapi tantangan zaman. Dirgahayu Emha Ainun Nadjib.
PROBO DARONO YAKTI
Maiyah Garis Keras dan Pegiat Budaya dan Dosen FISIP Universitas Airlangga



