
JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Ketegangan politik global kian memuncak. Dari konflik Rusia-Ukraina, perang Iran-Israel, hingga rivalitas Amerika Serikat dengan blok BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa), Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam menentukan arah politik luar negerinya. Dalam situasi seperti ini, Presiden terpilih Prabowo Subianto diingatkan untuk tidak hanya bersandar pada lingkaran menteri-menteri lama dari era pemerintahan Joko Widodo.
Peringatan tersebut datang dari Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Syahganda Nainggolan, dalam forum diskusi terbatas bertema “Dampak Konflik Israel-Iran terhadap Indonesia: Tantangan, Peluang, dan Strategi dalam Menghadapi Dinamika Global”, yang digelar oleh Grup Diskusi Patiunus 75 bersama TeropongSenayan, pada Kamis (10/7/2025) di Parle, Senayan Park.
Diskusi yang dipimpin Bambang Soesatyo itu menghadirkan sejumlah pembicara penting, seperti Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr. Marsetio dari Universitas Pertahanan, akademisi hubungan internasional Dr. Dina Sulaeman, serta Wakil Ketua Umum KADIN Pahala Nugraha Manshuri. Bertindak sebagai moderator adalah Swary Utami Dewi.
Sejumlah tokoh nasional turut hadir sebagai peserta, antara lain Bupati Lahat sekaligus Ketua APKASI Bursah Zarnubi, wartawan senior Nasir Tamara, Staf Khusus Menkumham Abdullah Rasyid, para pengamat geopolitik seperti Teguh Santosa, Hendrajit, dan Rizal Dharma Putra, aktivis prodemokrasi Said Didu, serta beberapa mantan duta besar seperti Helmy Fauzi.
Jangan Sampai Terkurung Lingkaran Kekuasaan Lama
Syahganda secara khusus mengkritisi kemungkinan dominasi para mantan menteri era Jokowi dalam merumuskan arah kebijakan luar negeri Prabowo. Ia menyebut, banyak dari mereka selama ini hanya bertindak sebagai “ABS”, asal bapak senang.
“Kalau Prabowo hanya mendengar mereka, ya bisa saja ditipu. Mereka itu orang-orang yang ingin tetap duduk di kursi kekuasaan, bukan berpikir untuk kepentingan rakyat,” kata Syahganda.
Ia menggarisbawahi bahwa keputusan Indonesia untuk mendekat ke BRICS seharusnya tidak diputuskan secara terburu-buru tanpa perhitungan matang, apalagi jika itu hanya demi memenuhi kepentingan kelompok elit.
Amerika dan Ancaman Diam-Diam
Dalam penjelasannya, Syahganda menyoroti bahaya jika Indonesia berhadapan langsung dengan Amerika Serikat. Ia mengungkapkan diskusinya dengan seorang perwira tinggi TNI bidang intelijen mengenai kemungkinan dampak dari kemarahan Amerika.
“Kepada beliau saya tanya, kalau AS marah, bisakah mereka bantu Papua merdeka? Jawabannya mengejutkan: ‘Tidak perlu AS, cukup kaki tangan CIA bergerak, Papua bisa merdeka,’” ujar Syahganda.
Ia menilai ancaman terhadap kedaulatan Indonesia bukan hanya fisik, tetapi juga ideologis dan intelijen. “Amerika punya jaringan kekuatan intelijen dan militer di Indonesia selama lebih dari 30 tahun. Apa kita sudah siap kalau itu diaktifkan?”
Syahganda juga menyayangkan menurunnya daya dukung rakyat terhadap negara akibat melemahnya ekonomi dan meluasnya korupsi di era sebelumnya. Menurutnya, tanpa militansi rakyat, Indonesia tidak punya kekuatan cukup untuk menghadapi tekanan global.
“Kalau hanya elite yang bersuara, dan rakyat diam, maka negara ini bisa dihantam kapan saja,” ujarnya.
Ia juga menyinggung keputusan Amerika yang menyerang fasilitas nuklir Iran sebagai bukti bahwa negara adidaya tidak segan mengambil langkah ekstrem. “Kalau mereka sudah membom negara lain, masa iya mereka akan berhenti? Tentu tidak. Mereka akan terus mengintai, karena tidak takut pada Rusia dan China,” kata Syahganda.
Ajak Prabowo Bangun Komando Rakyat
Sebagai penutup, Syahganda meminta agar forum tersebut menghasilkan komunike politik yang mendesak Prabowo untuk tidak memutuskan arah politik luar negeri sendirian. Menurutnya, Presiden harus mendengar aspirasi rakyat, bukan hanya elite kekuasaan.
“BRICS bukan sekadar aliansi ekonomi. Ada konsekuensi politik dan militer. Presiden tidak boleh memutuskan sendiri, apalagi hanya mendengar elite lama. Kita butuh kekuatan rakyat yang militan dan komando nasional cadangan,” katanya.
Ia menambahkan, dalam situasi geopolitik yang makin berbahaya, presiden tak boleh elitis.
“Presiden elitis adalah yang tak terkoneksi dengan kekuatan rakyat. Kalau itu yang terjadi, sangat berbahaya,” tegas Syahganda.(*)
Kontributor: Ahmad Toha A
Editor: Abdel Rafi



