Tuesday, April 16, 2024
HomeGagasanDejavu Pandemi Covid-19, Hanya Berlari Di Tempat

Dejavu Pandemi Covid-19, Hanya Berlari Di Tempat

Agnes Santoso
(foto: istimewa)

 

Bapak ibu, saya positif covid dan terkena pneumonia. Adakah informasi RS yang masih available untuk rawat inap rujukan? Area Surabaya/Gresik? Sudah ke beberapa RS dan penuh. Mohon doanya 🙁

Demikian status yang saya baca ketika tanggal 16 Juni 2021. Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Benar ya rumah sakit (RS) di Surabaya sudah tidak bisa menampung?

Ketika itu, tone media masih sibuk membahas soal kondisi Covid-19 di Bangkalan, “jebol”nya Suramadu, dan aksi demonstrasi dari warga Madura. Disaat bersamaan bukan hanya Surabaya, di RSUD Sidoarjo, salah seorang perawat berkata, sudah mencapai 100 kasus per hari. Ibarat kata pepatah “rumput tetangga lebih hijau”, kondisi Bangkalan memang lebih menarik dibahas daripada melihat kota masing-masing.

Ingin saya menyampaikan status seorang teman ketika itu, tapi entah kenapa tertahan, dan hanya bisa menunggu. Energi saya seolah habis untuk menulis atau share di sejumlah grup. Saya juga khawatir status itu tak dipercaya hanya karena kondisi sesungguhnya kota ini belum terlihat.

21 Juni 2021
Seorang dokter mengirimkan pesan berupa list pasien yang masuk di IGD RSUD dr. Soetomo. Bila dibuat perbandingan, dari 10 pasien yang datang ke IGD, setelah diskrining, 9 pasien terdeteksi positif dan hanya 1 yang negatif… “ini baru di IGD aja, dan hari ini aja… belum lagi di ruangan lain dan hari2 besok… sungguh sudah gila” demikian pesannya kepada saya.

26 Juni 2021
Foto pasien “keleleran” di IGD RSUD dr. Soetomo, mulai beredar, seolah baru saja terjadi dan cukup mengejutkan kita. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pun mulai mengeluarkan flyer pendaftaran relawan Covid-19. RSUD dr. Soetomo mulai membuka 6 ruangan, bahkan me-redesain gedung parkir untuk penanganan pasien Covid-19. Pemerintah juga mulai berencana melakukan penambahan disana-sini untuk ketersediaan tempat tidur pasien (bed occupancy rate). Bahkan Asrama Haji Sukolilo pun menambah kapasitas tampung. Lalu saya pun berpikir dan ini serius bertanya, “Kok baru sekarang? Tunggu kejadian kah baru beraksi???” Ah ciri khas kita banget kan.

Sementara itu, keesokan harinya, sebuah pesan masuk di gawai saya, berupa gambar tabel penambahan pasien dalam waktu pagi dan sore dimana 66 residen positif dan 22 supervisor positif.

Ah kondisi ini membuat saya dejavu. Saya seolah dibawa mesin waktu kembali ke Maret 2020, dimana Covid-19 pertama kali menghantam Indonesia. Ternyata sudah setahun lebih berlalu, tapi entah kenapa tidak ada perbaikan fasilitas, seperti sudah berlari jauh, tapi kenyataan kita belum beranjak. Keringat sudah keluar banyak, tapi masih ada di tempat yang sama. Capek yang ada.

Dulu PSBB sekarang PPKM. Bahkan PPKM Mikro hingga penebalan. Tapi fasilitas kesehatan tak ada perubahan. Bahkan persiapan pun tak ada. Para pejabat sibuk dengan kegiatan seremoni demi SPPD, anggaran cair, dan dokumentasi “tampak bekerja”, sementara kami masyarakat diminta untuk kalau tidak perlu, di rumah saja, daring dll. Para pejabat sibuk memerintahkan petugas di lapangan untuk “benturan” dengan masyarakat, sementara mereka sibuk melakukan lobi-lobi politik untuk 2024. Jauhhhhh banget.

“Kehilangan kepala keluarga di musim pandemi, karena bertugas di lapangan, hanya mendapat karangan bunga dan ucapan duka cita untuk beberapa hari, sedang yang ditinggalkan masih harus berjuang sendiri” begitu salah seorang keluarga petugas lapangan curhat.

Sungguh, hampir 2 tahun apa yang dilakukan pemerintah??? Hari ini, tak ubahnya seperti awal pandemi masuk, yang membedakan adalah jumlah pasien yang “menggila”. Konsep berpikir pemerintah, penanganan, sampai kebijakan semuanya, tak beda jauh dengan dulu.

Heyyy, jangan salahkan pemerintah dong, masyarakatnya aja ga bisa diatur. Pemerintah sudah berupaya sekuat tenaga. Iyain aja deh. Kita (yang waras) jelas tahu bagaimana mitigasi informasi bencana pemerintah dan pola komunikasi yang tak tepat sasaran tak mengalami perubahan. Distrust masyarakat makin tinggi. Dengan kondisi distrust yang tinggi, pemerintah justru lebih menitikberatkan pada kesadaran hukum masyarakat.

Sama saja bohong. Lha wong untuk lalu lintas saja kalau tidak ada tindakan tegas, ya melanggar. Melaksanakan kebijakan tanpa ketegasan sama dengan berjalan tanpa mata.

Di sisi lain, ketika jumlah tenaga kesehatan (nakes) terbatas, pendaftaran relawan kembali dibuka, dalam keadaan pasien sudah berjatuhan. Persis seperti tahun lalu, padahal kita punya payung hukum UU PSDN untuk mobilisasi komponen cadangan dalam waktu singkat. Apalagi bela negara bukan hanya tentang perang militer, tapi juga non-militer dan hibrida.

“Seperti yang sudah kita duga sejak lebih dari setahun lalu. Regulasi induk diabaikan sejak awal. Kebijakan yang konsisten ambigu dengan penegakan yang inkonsisten. Pembangunan kepatuhan yang niatnya berbasis kesadaran tapi dengan menebar ancaman padahal kemampuan dan kemauan pengawasan terbatas. Inisiatif, partisipasi dan kolaborasi masyarakat saja tak terfasilitasi dengan baik, apalagi berharap bisa dikonversi jadi mobilisasi” Khairul Fahmi – Direktur ISSES beberapa waktu lalu.

Iya kami sudah lelah, sudah tak ada lagi energi tersisa untuk berteriak, untuk bersuara. Para nakes sudah lelah, petugas lapangan sudah lelah, bahkan masyarakat pun sudah lelah, belum lagi pekerja seni yang harus kembali off job karena banyak kegiatan off air dibatalkan, meski mereka sudah prokes ketat. Sementara tidak demikian dengan mereka yang tergolong kategori non masyarakat (baca : pejabat).

Saya pun belum pernah melihat pejabat yang terkena Covid-19 mengalami nasib seperti pasien kategori masyarakat yang “keleleran” atau ada di tenda pengungsian. Iya setahun lebih, perbedaan pejabat dan masyarakat makin terasa. Padahal konsep pemimpin/pejabat yang baik adalah, yang turut merasakan penderitaan masyarakatnya agar dia tahu kebijakan apa yang terbaik berdasarkan kondisi masyarakatnya. Jadi kalau saat ini distrust masyarakat tinggi kepada pemerintah dan pejabatnya, tak perlu heran, karena memang mereka tidak hadir untuk masyarakat.

Ah sudahlah, kelelahan ini akan tetap membuat kami berjuang untuk diri kita masing-masing sebagai masyarakat, dedikasi kita masing-masing sebagai nakes dan petugas lapangan, tanggung jawab kita masing-masing sebagai tulang punggung keluarga.

Kita (tidak) sedang baik-baik saja. Stay safe everyone, pokok e aku tetap cinta Indonesia masio morat-marit.

 

AGNES SANTOSO

Jurnalis, tinggal di Surabaya

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular