Friday, March 29, 2024
HomeGagasanCatatan Serial: Tata Nilai Rabbaniyah (1)

Catatan Serial: Tata Nilai Rabbaniyah (1)

 

tata nilai rabbaniyah

Rabbaniyah, saya tidak menemukan istilah ini dalam tulisan lain, selain yang pernah di bahas oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam bukunya “Islam Doktrin dan Peradaban“, dan saya memperhatikan tulisan-tulisan beliau yang lain, sesungguhnya juga berbicara tentang istilah yang sangat penting ini. Penting karena menyangkut suatu substansi yang mempertemukan relasi Tuhan, Manusia, Alam yang berkorespondensi dalam mewujudkan suatu tatanan peradaban.

Salah satu substansi yang sering dibahas oleh Cak Nur adalah perlunya manusia senantiasa mengingat akan fitrah penciptaannya, sebagaimana yang disampaikan Allah dalam firman-Nya pada Surah Al-Rum ayat 30. Bertujuan agar manusia memahami serta senantiasa menyadari bahwa kecenderungan kepada nilai-nilai kebenaran (hanief) adalah sesuatu yang bersumber dari Allah, merupakan salah satu dari sifat Allah yang haq.

Allah meletakkan potensi hanief itu dalam diri tiap-tiap manusia, di dalam hati sanubarinya yang terdalam, yang disebut dhamair. Dengan potensi itu, semua manusia bisa saling menerima satu sama lain, berkorespondensi satu dengan yang lain. Dengan demikian kebenaran atau hanief itu merupakan nilai yang bersifat universal.

Dikarenakan bahwa Allah merupakan sumber kebenaran, manusia dengan potensi fitrahnya itu senantiasa akan sejalan atau menerima kebaikan-kebaikan, kebenaran-kebenaran secara taken for granted. Sebaliknya, menolak kebenaran yang bersumber dari Allah, bertentangan dengan fitrah manusia. Manusia yang seperti itu akan kehilangan korespondensi bukan hanya dengan sesamanya manusia yang masih teguh memegang fitrahnya, namun juga akan kehilangan korespondensi dengan Allah.

Dalam tata niliai rabbaniyah tentu terdapat sejumlah nilai yang membentuk sistem nilai, seperti keadilan, kebajikan, kebijaksanaan, dan lainnya. Kenapa nilai kebenaran yang palung utama? Serta yang bersifat universal? Karena untuk adil mesti benar dulu, untuk baik, mesti benar dulu, untuk tertib mesti benar dulu, dan seterusnya. Disinilah para alim ulama selalu berpesan dengar dan ikuti kata hatimu.

Kenapa Cak Nur menggunakan terminologi rabbaniyah? Kenapa bukan Ilahiyyah, atau sifat Allah lainnya. Manusia, menurut Cak Nur adalah rabbaniyyun (makhluk yang berketuhanan). Karena itu sejatinya tidak manusia yang benar-benar atheis. Inipula sebabnya sikap menerima jalan yang lurus adalah sikap yang alami, wajar dan fitri. Jadi tindakan ber-Islam adalah sesuatu yang alamiah dan wajar bagi tiap-tiap manusia. Ber-Islam berarti berserah diri hanya kepada Allah. Perilaku tidak berserah diri kepada Tuhan, bagi seorang manusia adalah tindakan yang bertentangan secara alamiah. Tindakan memutlakkan nilai kepada sesama manusia misalnya, baik memutlakkan dirinya maupun orang lain, adalah tindakan yang tidak alamiah, tidak wajar.

Tidak seorangpun manusia, yang berhak merendahkan atau menguasai harkat dan martabat manusia lain apalagi sampai memaksakan kehendak kepada orang lain. Itulah sebabnya dalam tata nilai rabbaniyah, tidak dibolehkan terjadinya praktek perbudakan. Budak-budak harus dimerdekakan.

Kembali ke pertanyaan kenapa tata nilai rabbaniyah? Kata rab menurut Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah mengatakan bahwa rab seakar kata dengan tarbiyah, yaitu mengarahkan sesuatu tahap, demi tahap menuju kesempurnaan kejadian maupun fungsinya. Rab juga berarti memiliki. Tapi pendapat yang pertama menurut beliau lebih baik.

Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, mengatakan kata rabbi artinya pemilik yang berhak. Menurut Ibnu Katsir kata rab yang diungkapkan secara tunggal rabbi, hanya dinisbatkan kepada Allah, sementara jika penyebutan kata rab kepada makhluk-Nya mesti ditambah dengan kata lain, misalnya rabbu ad-daar (pemilik rumah).

Dengan demikian dalam tata nilai rabbaniyah, Allah mengarahkan atau mengatur ciptaan-Nya secara tahap demi tahap. Evolusioner tidak revolusioner. Terencana, sistematis. Sekalipun sebagai pemilik, tentu saja Allah jika menghendaki dapat melakukannya secara spontanitas. Cukup dengan mengatakan kun fayakun, maka jadilah. Namun dalam prakteknya, sunnatullah berlangsung secara alamiah, tahap demi tahap, evolusi. Demikianlah semua ciptaan Allah berlangsung dalam tahapan tahapan evolusioner yang terencana. Oleh sebab itulah, pemaksaan kehendak, bertentangan dengan tata nilai rabbaniyah. Inilah relevansinya kenapa sikap ikhlas, tawakal dan sabar amat penting dalam tata nilai rabbaniyah itu.

(bersambung)

HASANUDDIN

Pemikir dan Penulis, Korps Alumni HMI (KAHMI)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular