50 Tahun Centre for Strategic and International Studies (CSIS) ikut diperingati di kalangan cendekiawan alam sana. Satu pembicara tunggal diundang. Walau berbentuk webinar, pembicara itu mau datang ke lokasi acara. Protokol kesehatan diberlakukan dengan ketat.
Tiga orang sibuk menjadi tamu. Hadi Soesastro (HS), 76 tahun, sebagai tuan rumah. Arif Arryman (AA), 65 tahun, sebagai among tamu. Christianto Wibisono (CW), 76 tahun, sebagai fasilitator dari meja ke meja.
CW: “Minky, kenapa masih pakai terompah? Hilang lagi sepatunya?”
Minky adalah panggilan akrab HS.
AA langsung terkekeh. HS dikenal suka minjem sepatu peneliti lain. Tidur di kantor, berambut gondrong. Jika ada undangan bertemu diplomat atau intelektual asing, langsung mengetuk kamar peneliti lain.
HS: “Begini, Mas Chris. Walau tak paham bahasa Mandarin, saya sedikit tahu adab dalam menyambut tamu agung kita. Mas Chris aja yang salah kostum, pakai sepatu mengkilat. Lihat nanti, tamu agung kita pakai sepatu atau terompah?”
Dari kejauhan, terdengar bunyi genta di leher pedati. Terdengar senandung dalam bahasa Minang:
Panek manurun nan jo mandaki /
Malaleh kuduak nan dek pasangan /
Batanyolah kabau nan ka padati
Jauah kok lai parantian
(Letih menurun dan mendaki /
Mengelupas leher akibat kayu terpasang /
Bertanya kerbau kepada pedati /
Masihkah jauh pemberhentian)
AA sumringah. Sekaligus terkejut.
AA: “Pak Minky, luar biasa Bian Koen dan Bian Kie, ya. Ke alam sinipun ingat kepada kita. Plus, Minangitist Syndrome keduanya tak sembuh-sembuh. Masih sempat mengirim kusir asal Sawahlunto. Tapi siapa yang dibawa, ya?”
Tepat di pintu gapura, pedati berhenti. Seseorang berambut putih turun. Bertongkat kayu mahoni. Sebuah tas dari karung terigu, tergayut di badannya. Tersembul tulisan dalam bahasa Mandarin.
CW: “Kong Hu Cu!!!”
AA, CW, HS, berjalan laksana terbang. Bagai ahli-ahli kungfu yang dikagetin lecutan rotan guru mereka.
Ketiganya berlutut. Orang tua itu mengangkat kedua tangan. Senyum masih menggayut di bibirnya.
KHC: “AA, untung aku baca kisah Haji Agus Salim tentang ‘Debat Kusir’ itu. Waktu turun di stasiun Ngarai Sianok tadi, banyak kusir bendi menawarkan tumpangan. Aku pilih pedati, guna hindari perdebatan. Pun keadilan, tak ada bendi yang kupilih. Bayangkan, berapa lama jalan mendaki ini ditempuh pedati ini.”
AA melirik ke arah pedati. Kusir itu masih melihat takjub ke dalam genggamannya. Dua benggol kepingan emas diberikan orang tua itu. Dua belas musim PPKM level 4 penghasilannya.
HS melirik kaki KHC. Sikutnya menyenggol lengan CW. Lesung pipit HS muncul terus. CW memandang ke langit. Cuek.
HS sengaja memilih tempat webinar di lokasi jam antar galaksi dunia sana. Mirip Bukittinggi. Ia tak ingin Jusuf Wanandi dan Sofyan Wanandi tak enak hati di Tenabang III. Tak ada manusia di Indonesia yang lebih Minang dibanding keduanya.
Sofyan masih sopan.
Jusuf? Bisa bacaruik-bungkang.
Jusuf berkarakter pesisir. Bacaruik adalah bahasa pergaulan. Kedekatan. Bahasa Hokkian, kata anak-anak yang masih menerka asal muasal orang Tionghoa. Sofyan, lebih banyak berbahasa Hakka, aristokrat.
HS mengantar KHC ke lantai 33 jam gadang antar galaksi. Naik pakai buayan kaliang. Satu mimbar sudah disiapkan. Baik posisi duduk atau berdiri. 77 kamera mengelilingi. Internet dengan kekuatan 9G dipancarkan.
Jam antar galaksi berdetak 5 kali. Satu detakan berarti 500 tahun alam kehidupan. Acara dimulai.
HS: “Saat saya menutup mata, 2010, ekonomi RepublIK Rakyat China tumbuh 10%. Orang bisa saja menduga, jantung saya berhenti berdenyut karena itu. Sejak menjadi mahasiswa di Eropa, berkutat dengan riset, berkeliling dunia, saya dianggap ‘wajah ilmuwan paling terbaratkan di dunia timur’. Kini CSIS berusia 50 tahun. Dan selama itu, tak pernah belajar seserius Indra J Piliang yang menjadi Dewan Pakar Perhimpunan Indonesia Tionghoa, tentang peradaban China dan Jepang. Buku Tao of Sex saja dia baca bersama calon istrinya. Sekarang saya bayar karma, hadirkan Kong Hu Cu, cendekiawan dari Lembah Kuning yang selama 2500 tahun dibicarakan dengan Konfusiasisme-nya.”
Tangan kanan HS terangkat. Layar raksasa yang berada di dinding Ngarai Sianok berganti orang. KHC dengan jenggot lebat.
KHC: “Xie xie, Minky. Tak ada yang saya mengerti dari ucapanmu. Yang saya ingat hanya nama Indra J Piliang itu. Kenapa? Dari sisi panjang jenggot, jelas saya menang dibanding dua orang jenggotan lain yang ia kenal: Karl Marx dan Agus Salim. Saya tidak mengerti Konfusiasisme. Buku karya saya-pun tak setebal karya Marx, bahkan dibanding buku Minky atau Indra J Piliang. Jika satu pidato Agus Salim ditranskripsikan, jauh lebih tebal dibanding ayat-ayat dalam kitab yang saya tulis.”
HS terbeliak. CW manggut-manggut. AA tersenyum.
“Beruntung you tak jadi juga belajar ke China atau India, Ndra. Dua negara yang kusarankan tahun 2000 itu. Kalau kau sampai ke China, ternyata hanya bertemu dengan petuah-petuah Konfusius dalam lembaran komik usang lama, bisa kau kutuk aku,” batin AA.
KHC: “Karena tak ada yang penting, aku cukup mengulang obrolan ‘ala naik pedati’-ku ini. Kesunyian adalah kawan sejati yang tak pernah berkhianat. Ada tiga cara merengkuh kebijaksanaan. Satu, refleksi diri, sebagai cara tertinggi. Dua, pembatasan diri, sebagai cara termudah. Tiga, pengalaman hidup, sebagai cara terpahit. Apa yang terjadi di dunia sekarang, tak terkecuali di Indonesia, adalah jalan yang disediakan alam guna mendapatkan kebijaksanaan sejati. Virus bumi ini adalah guru terkejam, disiplin, tak kenal kasihan, dalam mendidik manusia dan memberi hukuman setimpal guna menemukan kawan sejati mereka. Protokol menjaga jarak atau isoman yang dilakukan, adalah jalan paling gampang mencapai kebijaksanaan, tanpa perlu ada polisi atau Satpol PP. Ketika pembatasan diri terjadi, refleksi diri dilakukan, menapak pengalaman demi pengalaman yang sudah terjadi dalam hidup, pikiran, dan batin, adalah lelaku terpahit. Maut tinggal sejengkal dari batang leher. Ketika maut menghindar dari seseorang, periksalah rantai hubungan kekerabatan, sekolahan, perkawanan atau desir di hati orang itu: pasti ditemukan kekosongan akibat kehilangan. Seluruh lautan pun dikeringkan airnya, tak mampu menghapus hujan air mata dalam batin. Seluruh pepohonan ditebang, dijadikan pensil, tak bakal bisa menulis seluruh kisah yang disertai penyesalan, akibat kehilangan seseorang dalam hidup.”
Airmata AA menetes. Yang hadir di hadapannya bukan Kong Hu Cu yang dibaca dalam buku. Ucapan yang keluar, seperti berasal dari mulut seorang syech atau tuanku.
HS berlutut. Terbayang di matanya, peneliti-peneliti muda CSIS selalu riang tiap menjelang sholat Jum’at. Ari Arya Perdana, Philips Jusario Vermonte, Jose Rizal Damuri, Koernia Roesyad, Teguh Yudho, Landry Haryo Subianto, Mohammad Qodari. Sepulang sholat Jum’at, tangan mereka memegang es krim, berlomba untuk paling lama habis.
Belakangan, HS tahu, anak-anak itu punya kelompok sendiri: CCS.
HS: “Ari, CCS itu apa? Kenapa lebih hebat dibanding CSIS?”
AAP: “Centre for Celebrity Studies, Pak. Bukankah di depan gedung kita terdapat gedung yang dihuni oleh Raam Punjabi? Seluruh artis terkenal selalu terlihat. Seolah invasi pemikiran atau ghozwul fikri dalam bahasa Arab, terhadap ilmuwan-ilmuwan muda CSIS ini. CCS adalah cara kami memakai baju zirrah, bagai benteng Fort de Kock, dalam menghadapi itu. Maklum, Pak, mayoritas peneliti muda ini kan orang Minang. Tarbiyah.”
HS tersenyum dikulum.
KHC: “Konfusiasisme sudah selesai. Yang belum selesai adalah aliran ilmu yang terus menetes dari tiga orang ini: AA, HS, dan CW. AA dan HS punya lembaga beasiswa sendiri, hingga kini, ketika alam manusia berbeda dengan alam arwah. Bahkan ketika masih bernafas, mereka berdua adalah tim penilai bagi banyak anak-anak muda Indonesia yang ingin mendapatkan beasiswa guna berangkat ke luar negeri. CW? Ia memberikan buku-buku koleksi lembaganyanya kepada Anies Rasyid Baswedan. Saya? Daun lontar ini malu dihadapkan kepada bumi Nusantara. Begitu banyak karya bangsa Indonesia yang belum mereka terjemahkan. Ribuan naskah. Tak sebanding dengan sekalimat dua kalimat yang saya tulis di sini. Bangsa Bumi Nusantara memiliki segalanya untuk lebih hebat dibanding bangsa-bangsa manapun. Tidak peduli seberapa lambat bangsa Bumi Nusantara ini bergerak, jangan pernah berhenti setapakpun.”
KHC mengatupkan kedua tangan. Menundukkan kepala. Dinding Ngarai Sianok berubah warna. Cahaya kunang-kunang. Ringkik kuda. Lenguhan kerbau. Embik kambing.
AA, HS, dan CW menyambut KHC di tangga. Seluruh peralatan dimatikan.
KHC: “Bolehkah aku mengajukan satu permintaan? Aku tahu, kita bakal makan malam. Selalu tak baik, seminar atau diskusi yang dimulai dengan makan-makan dulu. Makan-makan tarus sebagai agenda penutup. Perut yang kenyang, melenyapkan pikiran terbaik.”
CW: “Apa itu, Sifu?”
KHC: “Apakah itu pensi? Saya ingin mengenyam makanan itu. Rendang? Tak mau aku. Itu kan tradisi bangsa-bangsa pembunuh kuda.”
CW dan HS berpandangan. Tak paham. Wajah keduanya melengos ke arah AA.
AA: “Pensi? Saya akan carikan. Saya tahu siapa yang tahu makanan itu. Anak hutan yang entah kenapa, saya ikut bisikkan ke Minky agar diterima bekerja di CSIS. Daripada menjadi office boy dalam komunitas kami, jarang tidur, berkelahi dengan nama akun-akun anonim, lebih baik terlihat di tempat Minky.”
CW: “Eheeem. Yakin, AA? Bukankah tujuan engku memasukkan anak itu ke CSIS untuk membuang patung Ali Murtopo dan Sudjono Humardani? Anak itu yang bilang kepadaku.”
Muka AA memerah. HS sudah tahu itu. Geli.
KHC menuju pedati yang masih menunggu. CW dan HS mengiringi.
KHC: “Muat untuk kami bertiga?”
Kusir pedati mengangguk. Jalanan menurun menuju lembah Ngarai Sianok.
CW berbisik kepada HS: “Beruntunglah lelaki kelahiran April. Jarak usia kitapun cuma 20 hari.”
“Semoga AA bisa membawa pensi ke lembah itu,” balas HS.
Pedati bergerak menuruni jalan yang berliku. Bunyi genta menguak malam…
07 Agustus 2021
INDRA J PILIANG
Sembilan Tahun Nyantri di Pesantren CSIS
*) Arif Arryman, kelahiran Bukittinggi, 3 Februari 1956.
**) Christianto Wibisono, kelahiran Semarang, 10 April 1945.
*) Hadi Soesastro, kelahiran Malang, 30 April 1945.
**) Kong Hu Cu, kelahiran 551 Sebelum Masehi.
***) Liem Bian Koen (Sofyan Wanandi) & Liem Bian Kie (Jusuf Wanandi).
**) Pensi, baik warna hitam, kuning, atau hijau, adalah kerang kecil yang bisa didapatkan di danau, selokan, kali, telaga, sungai, atau laut, dalam era 1980an