SURABAYA – Kedatangan para pengungsi Rohingya menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Ketidakjelasan status warga Rohingya di negara asalnya mendorong mereka untuk berbondong-bondong melarikan diri ke berbagai wilayah di Asia, terutama ASEAN termasuk Indonesia. Gelombang tinggi kedatangan para pengungsi seolah-olah menjadi PR besar bagi pemerintah di negara yang mereka masuki.
Menurut pakar hubungan internasional Dra. Baiq Lekar Sinayang Wahyu Wardhani, MA., Ph.D., mengatakan bahwa awal mula kedatangan para etnis Rohingya di Bhurma, Myanmar, merupakan bawaan para tentara Inggris yang saat itu sedang menjajah tanah Myanmar. Etnis Rohingya datang untuk membantu Inggris ketika menjajah yang akhirnya membuat rakyat Myanmar tidak bersimpati terhadap etnis Rohingya.
Bukan hanya itu, Ani -sapaan akrabnya- menyebutkan bahwa tujuan pemberontakan etnis Rohingya kepada pemerintah Myanmar untuk mendirikan suatu negara di tanah Arakan, Myanmar, memicu kekhawatiran pemerintah Myanmar akan adanya gerakan separatis.
“Orang-orang Rohingya ini, harusnya mereka sebagai pendatang respect kepada orang Bhurma asli. Sebagian dari mereka itu berontak ke pemerintah Myanmar. Makanya pemerintah Myanmar dengan militernya tetap menggilas para pemberontak itu,” ujarnya pada media ini.
Belum lama ini, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin mengusulkan agar para pengungsi sementara waktu diungsikan ke salah satu pulau di Sumatera, yakni pulau Galang. Menanggapi hal tersebut, dosen Hubungan Internasional FISIP Unair itu merasa bahwa ide Wakil Presiden dapat dijadikan sebagai solusi yang membantu. Karena, terkumpulnya para pengungsi pada satu titik akan memudahkan pemerintah untuk mengontrol pergerakan para pengungsi.
“Memang, saya kira itu solusi yang membantu. Cuma, apakah itu keputusan yang tepat? Saya kira perlu dikaji ulang. Kenapa kok dipilih pulau di Kepulauan Riau? Kenapa kok nggak di tempat lain? Apa alasannya?” tukasnya retoris.
Bantuan Dari IOM Bukan Pemerintah
Sebelumnya, banyak beredar informasi dan bahkan viral di media sosial mengenai para pengungsi yang melanggar norma sosial yang berlaku di Aceh. Kejadian tersebut turut membuat resah masyarakat setempat. Menurut Ani, memberikan satu tempat kepada para pengungsi pun mengurangi risiko adanya konflik dengan warga lokal.
“Kalau mereka tidak ditampung ke tempat lain, itu akan sulit untuk kita. Mereka bisa macam-macam, bisa menimbulkan chaos dan menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat lokal,” paparnya.
Karena itu, menurut Ani, masyarakat Indonesia tidak perlu cemburu dan membandingkan kondisi masyarakat lokal dengan para pengungsi, karena para pengungsi tersebut mendapatkan tunjangan hidup dari organisasi dunia bernama International Organiation for Migration atau IOM.
“IOM sendiri merupakan Non-Govermental Organization atau NGO yang menyalurkan bantuan bagi para pengungsi. Karena melalui sudut pandang HAM, pengungsi Rohingya tetap manusia yang perlu dibantu dan mendapat hidup yang layak,” imbuhnya.
Bahkan, Ani mengatakan bahwa bantuan keuangan untuk para pengungsi juga berasal dari IOM bukan dari pemerintah Indonesia.
“Banyak yang menyangka bahwa bantuan yang diberikan adalah uang dari pemerintah Indonesia, padahal bukan. Itu adalah uang IOM. Perlu disebarkan informasi ini. Kita tidak dapat membandingkan kondisi para pengungsi dengan penduduk lokal,” tegasnya.
Dalam menangani permasalahan ini, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai dialog kepada pemerintah Myanmar. Maka, lanjutnya, sebagai sesama manusia, kita perlu berdiri pada Hak Asasi Manusia.
“Sudah sepantasnya Indonesia memberikan bantuan layanan kepada para pengungsi, seperti halnya layanan kesehatan dan lainnya,” pungkasnya.
(pkip/mar/bti)