
Hari itu, Kamis 25 Desember 2025, Pesantren Lirboyo tidak sedang riuh oleh santri yang berkejaran atau pengajian akbar yang pengeras suaranya sampai ke sawah-sawah Kediri. Ia hening. Hening yang khas pesantren ketika sesuatu yang penting sedang terjadi.
Di salah satu ruang, sejumlah kiai sepuh duduk berhadapan-hadapan di meja panjang. Tidak ada kamera televisi. Tidak ada sorot lampu. Yang ada hanya baju putih, kopiah hitam, kopi hangat, dan beban sejarah yang pelan-pelan ingin diturunkan.
KH Miftachul Akhyar, Rais ‘Aam Syuriyah PBNU, mengundang KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Undangan itu bukan undangan seremonial. Ia undangan tabayun. Duduk bersama. Mendengar. Menyebut masalah dengan nama aslinya. Dan ,ini yang paling sulit, memberi ruang bagi hati untuk melunak.
Para masyayikh sepuh dan mustasyar NU hadir mengelilingi pertemuan itu seperti pagar moral. Mereka tidak datang untuk memihak, melainkan memastikan adab tetap tegak. Para pengasuh pesantren, kiai-kiai yang rambutnya telah memutih oleh kitab dan waktu, duduk di sana. Semua sepakat: ini bukan forum menang-kalah, ini forum menyelamatkan jam’iyyah.
Sebab pertemuan di Lirboyo itu tidak lahir dari ruang hampa. Ia muncul di tengah puncak krisis kepemimpinan NU yang telah berbulan-bulan mengguncang jam’iyyah dari dalam. Sejak rapat-rapat Syuriyah dimulai Juni 2025 hingg akhir tahun, ketegangan antara Syuriyah dan Tanfidziyah mulai terbuka ke permukaan.
Puncaknya adalah pemecatan oleh pihak Syuriyah terhadap Ketua Umum Tanfidziyah PBNU KH Yahya Cholil Staquf. Ini menimbulkan sengketa kewenangan, silang tafsir keputusan, dan saling sanggah yang semula hanya beredar di ruang rapat, perlahan tumpah ke ruang publik. Media sosial pun gaduh. Netizen berteriak, sebagian membela, lainnya mencela atau menonton sambil menambah bara.
Kekhawatiran akan “pecahnya NU” menjadi isu nyata, bukan sekadar gosip. Dalam situasi itulah para ulama sepuh turun tangan. Musyawarah Kubro di Lirboyo digelar dan menghasilkan tiga ikhtiar penyelamatan: pertama, mendorong ishlah dalam batas waktu singkat; kedua, menyerahkan mandat Muktamar ke-34 Lampung kepada jajaran Mustasyar bila konflik buntu; dan ketiga, membuka jalan Muktamar Luar Biasa sebagai opsi terakhir.
Setelah Lirboyo, ikhtiar serupa berlanjut dalam beberapa pertemuan lain di Jombang, Jawa Timur, juga di Buntet, Jawa Barat. Semuanya berangkat dari kegelisahan yang sama: jangan sampai konflik elite menjatuhkan bangunan NU yang ditegakkan dengan doa, keringat, dan pengorbanan lebih dari satu abad. Semua bergerak dengan satu tujuan sunyi: menyelamatkan NU sebelum ia runtuh oleh pertikaiannya sendiri.
Menariknya, pertemuan ishlah di Lirboyo itu terjadi di hari Natal. Maka muncullah komentar jenaka dari warganet: “Ini berkah Natal.” Sebuah kalimat ringan, tapi mengandung ironi yang dalam. Sebab di hari yang oleh umat Kristiani diperingati sebagai kelahiran kasih, dua kiai Muslim justru mempraktikkan nilai yang sama: rekonsiliasi. Mungkin memang begitulah hikmah bekerja, ia sering datang lewat kalender orang lain.
Dalam pertemuan itu, ketegangan yang berbulan-bulan mengendap akhirnya dibuka satu per satu. Bukan dengan suara tinggi, melainkan dengan bahasa pesantren: kalimat pelan, tapi bermakna. Tabayun dilakukan. Penjelasan disampaikan. Keberatan diungkapkan. Tidak semuanya langsung selesai, tapi cukup untuk satu kesepakatan besar: jalan keluar terbaik adalah Muktamar.
Muktamar dipilih bukan karena ia solusi tercepat, tetapi karena ia solusi paling sah. Forum tertinggi jam’iyyah. Tempat semua mandat bermula dan berakhir. Mungkin juga tempat kerja-kerja perlu dievaluasi dan dinilai, forum menyampaikan pertanggung-jawaban.
Maka disepakati, Muktamar NU akan diselenggarakan secepatnya, secara sah, dan bersama-sama. Teknisnya seperti i waktu, tempat, mekanisme, akan dirumuskan lewat panitia bersama yang dibentuk oleh Rais ‘Aam dan Ketua Umum, dengan melibatkan para mustasyar dan sesepuh NU. Tidak ada jalan pintas. Tidak ada keputusan sepihak.
Kesepakatan itu sederhana, tapi bernilai mahal. Ia menurunkan ego, mengangkat maslahat, dan mengakhiri perbedaan dengan sungkem dan saling berpelukan. Ia memang bukan akhir dari semua perbedaan, tapi awal dari perbaikan. Dan di situlah kita sampai pada kata kunci yang sejak awal menjadi ruh pertemuan ini: ishlah.
Ishlah bukan sekadar damai-damaian. Ia berasal dari akar kata Arab ash-la-ha – yushlihu – ishlah, yang maknanya memperbaiki sesuatu yang rusak. Menariknya, al-Qur’an tidak memerintahkan ishlah hanya kepada pihak yang bertikai.
Justru umat diperintah aktif terlibat. “Fa ashlihu bayna akhawaikum”, perbaikilah di antara saudara-saudara kalian. Kalimat perintah jamak. Artinya, ishlah itu kerja kolektif. Ia tidak menunggu suasana ideal. Ia dikerjakan justru ketika suasana tidak ideal.
Dalam hadits, ishlah bahkan ditempatkan lebih tinggi dari sekadar ibadah sunnah. Mendamaikan dua pihak yang berselisih disebut lebih utama dari shalat dan puasa sunnah. Sebab konflik yang dibiarkan bukan hanya melukai dua orang, tapi merusak tatanan.
Maka ishlah harus dilakukan tepat waktu, tidak terlalu cepat hingga menutup masalah, tidak terlalu lambat hingga luka membusuk. Caranya pun bukan dengan paksaan, melainkan dengan adab: duduk bersama, mendengar, dan menyerahkan keputusan pada mekanisme syura yang adil.
Apa yang terjadi di Lirboyo hari itu adalah contoh ishlah dalam makna klasiknya. Ada pihak ketiga. Ada ikhtiar sadar. Ada kesediaan untuk mundur selangkah demi melangkah bersama. Tidak ada yang dielu-elukan sebagai pemenang. Tidak ada yang dipermalukan sebagai pecundang.
Maka jika ada yang menyebutnya “berkah” Natal, mungkin itu bukan sekadar guyonan. Ia pengingat halus bahwa kasih, rekonsiliasi, dan perbaikan adalah nilai lintas iman. Dan NU -sejak lahirnya- selalu tahu bagaimana menempatkan nilai itu dalam laku, bukan sekadar slogan.
Di Lirboyo, pada hari itu, konflik tidak diselesaikan dengan teriakan, tetapi dengan duduk. Tidak dengan saling menuding, tetapi dengan saling mendengar, dengan musyawarah. Dan mungkin, di situlah ishlah menemukan maknanya yang paling sunyi sekaligus paling kuat: bukan menghapus perbedaan, tetapi menemukan kesamaan demi menyelamatkan persaudaraan.
AHMADIE THAHA (Cak AT)
Wartawan Senior



