
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyatakan kesediaannya untuk membatalkan pendaftaran ke Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dalam rangkaian perundingan di Berlin. Pernyataan itu disampaikan setelah pertemuan dengan Utusan Khusus Presiden Amerika Serikat Steve Witkoff dan Jared Kushner, menindaklanjuti proposal perdamaian yang diajukan Presiden AS Donald Trump. Sebagai gantinya, Ukraina menginginkan perjanjian pertahanan bilateral yang mengikat dengan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa guna menjamin keamanan dari ancaman Rusia.
Langkah ini menandai perubahan penting dari sikap lama Kyiv yang selama ini meyakini bahwa keselamatan Ukraina hanya dapat dijamin melalui keanggotaan penuh NATO, terutama melalui Pasal 5 yang mewajibkan pembelaan kolektif jika satu anggota diserang. Namun, perundingan di Berlin juga memperlihatkan kerasnya realitas politik. Ukraina menolak menyerahkan wilayah-wilayah yang diduduki Rusia seperti Crimea, Luhansk, Donetsk, Zaporizhzhia, dan Kherson. Sementara itu, Rusia tetap menuntut penataan zona penyangga dengan kehadiran aparat keamanannya. Di sisi lain, Eropa menghadapi dilema strategis, sementara Amerika Serikat di bawah Trump menunjukkan pendekatan yang lebih transaksional.
Pernyataan Zelensky ini bukan sekadar kompromi taktis, melainkan sinyal bahwa perang Rusia-Ukraina mulai memasuki fase politik yang lebih menentukan. Ia sekaligus mencerminkan pengakuan bahwa realitas geopolitik Eropa Timur tidak lagi dapat dibaca dengan kacamata idealisme aliansi semata, melainkan menuntut perhitungan ulang atas posisi, kepentingan, dan batas-batas kekuatan masing-masing pihak.
NATO, Pasal 5, dan Keamanan yang Semu
NATO kian terlihat tidak lagi relevan sebagai jawaban atas persoalan keamanan Ukraina. Sejak awal milenium, aliansi ini gagal bertransformasi dari warisan Perang Dingin menjadi arsitektur keamanan Eropa yang inklusif. Rusia pernah membuka wacana kerja sama keamanan yang lebih erat dengan NATO, bahkan sempat mengisyaratkan kemungkinan integrasi dalam kerangka pasca-Perang Dingin. Namun, gagasan tersebut ditolak mentah-mentah, baik secara politik maupun institusional, oleh NATO yang didominasi negara-negara dekat Amerika Serikat. Penolakan ini menegaskan bahwa kontestasi lama tidak benar-benar berakhir; ia hanya berganti bentuk.
Amerika Serikat, yang keluar sebagai pemenang runtuhnya Uni Soviet pada 1991, sejatinya telah mengamankan posisinya. Namun, alih-alih mendorong multilateralisme keamanan yang setara, Washington mempertahankan dominasi unilateral melalui perluasan aliansi. NATO kemudian berkembang sebagai instrumen geopolitik, bukan mekanisme kolektif yang adaptif terhadap perubahan keseimbangan kekuatan. Dalam kerangka ini, janji keamanan bagi Ukraina lebih bersifat politis daripada operasional.
Di sinilah Pasal 5 Piagam NATO sering disalahpahami. Ketentuan bahwa serangan terhadap satu anggota dianggap sebagai serangan terhadap semua anggota bukanlah jaminan otomatis, melainkan komitmen politik yang bergantung pada konsensus. Implementasinya sangat ditentukan oleh kalkulasi kepentingan nasional masing-masing anggota. Risiko eskalasi langsung dengan Rusia membuat Pasal 5 menjadi batas yang enggan disentuh NATO dalam kasus Ukraina. Karena itu, mengejar keanggotaan NATO justru menempatkan Ukraina pada posisi ambigu: dipersenjatai dan didukung, tetapi tanpa perlindungan kolektif yang pasti.
Dalam konteks ini, pendekatan Amerika Serikat di bawah Donald Trump yang lebih transaksional dan pragmatis. Terlepas dari ambisi personal Trump untuk meraih Nobel Perdamaian, yang kini justru mencerminkan realisme baru. Alternatifnya jauh lebih mahal. Proses aksesi yang berlarut-larut, seperti dialami Turki dalam integrasi dengan Barat, jika diterapkan pada Ukraina, akan membawa ongkos geopolitik yang sangat besar dan berisiko serius terhadap stabilitas keamanan Eropa. Dalam kondisi seperti ini, mempertahankan simbol aliansi justru memperpanjang konflik, bukan menghadirkan kepastian keamanan.
Ukraina sebagai Buffer State dan Rasionalitas di Atas Narasi
Menempatkan Ukraina sebagai buffer state kerap disalahpahami sebagai upaya membekukan status quo atau bahkan membenarkan agresi. Pandangan tersebut terlalu menyederhanakan persoalan dan gagal membedakan antara pembelaan normatif dan kalkulasi rasional. Dalam sejarah geopolitik Eropa Timur, negara penyangga bukanlah anomali, melainkan mekanisme stabilisasi yang lahir dari keseimbangan kekuatan. Mengabaikan posisi objektif Ukraina di antara Rusia dan Eropa Barat justru memperbesar risiko konflik berkepanjangan yang merugikan semua pihak, terutama rakyat Ukraina sendiri.
Argumen ini tidak dimaksudkan untuk membela agresi militer atau praktik aneksasi wilayah. Sebaliknya, ia berangkat dari kesadaran bahwa memaksakan solusi simbolik seperti keanggotaan NATO tanpa memperhitungkan realitas geopolitik hanya akan memperpanjang perang. Dalam konteks ini, keberanian politik tidak diukur dari seberapa keras menolak kompromi, melainkan dari kemampuan mengamankan kepentingan jangka panjang negara. Mengalah secara strategis bukan berarti menyerah, tetapi memilih medan yang lebih rasional untuk bertahan.
Narasi agresor dan penjajahan yang kerap diproduksi dalam diskursus global postmodern juga perlu dibaca secara kritis. Dalam banyak kasus, narasi tersebut bukanlah refleksi objektif realitas, melainkan konstruksi yang dibentuk melalui kekuatan soft power negara-negara neokolonial. Penjajahan hari ini jarang hadir dalam bentuk pendudukan teritorial langsung, tetapi melalui dominasi wacana, media, dan standar moral yang dipaksakan secara selektif. Dalam kerangka ini, konflik Ukraina tidak bisa dibaca secara hitam-putih sebagai pertarungan moral absolut, melainkan sebagai arena kontestasi kepentingan kekuatan besar dengan biaya kemanusiaan yang ditanggung negara penyangga.
Karena itu, menerima posisi Ukraina sebagai buffer state bukanlah sikap pasrah terhadap ketidakadilan, melainkan upaya rasional untuk meminimalkan kerusakan dan membuka ruang stabilitas yang lebih luas di Eropa Timur. Dalam dunia yang semakin multipolar dan cair, kepentingan yang lebih besar sering kali justru dijaga bukan melalui simbol kemenangan, tetapi melalui kompromi yang pahit namun dapat dipertahankan.
Jalan Realistis Menuju Perdamaian Eropa Timur
Jika perang Rusia–Ukraina ingin benar-benar diarahkan menuju penyelesaian, maka pendekatan yang dibutuhkan bukan lagi retorika kemenangan atau kekalahan, melainkan rekayasa stabilitas jangka panjang. Dalam konteks ini, kompromi yang tengah dibicarakan, termasuk kemungkinan Ukraina tidak bergabung dengan NATO, harus dibaca sebagai bagian dari upaya membangun arsitektur keamanan baru di Eropa Timur, bukan sebagai pengingkaran terhadap kedaulatan Ukraina. Justru sebaliknya, stabilitas kawasan hanya mungkin tercapai jika Ukraina tidak lagi dijadikan medan proksi bagi kontestasi kekuatan besar.
Langkah pertama yang paling rasional adalah menerima realitas geopolitik sebagai titik berangkat, bukan sebagai hambatan. Ukraina berada di persimpangan strategis antara Eropa dan Eurasia. Memaksakan keberpihakan militer yang eksklusif dalam ruang geografis seperti itu hanya akan mengundang reaksi keras dari pihak yang merasa terancam. Dalam kondisi demikian, netralitas aktif, dan bukan netralitas pasif, menjadi opsi yang lebih masuk akal. Ukraina dapat memperoleh jaminan keamanan melalui perjanjian bilateral atau multilateral yang fleksibel, tanpa terikat pada struktur aliansi yang membawa beban eskalasi.
Kedua, Ukraina memiliki potensi untuk bertransformasi dari medan konflik menjadi jembatan strategis antara Eropa dan Eurasia. Posisi ini bukan kelemahan, melainkan aset geopolitik. Sebagai penghubung jalur energi, perdagangan, dan logistik, Ukraina justru dapat memainkan peran konstruktif dalam stabilitas regional. Namun, peran ini hanya dapat dijalankan jika Ukraina tidak terjebak dalam logika blok yang kaku dan bersedia mengambil jarak yang seimbang dari kepentingan kekuatan besar.
Ketiga, isu self-reliance tidak dapat diabaikan dalam tahap pasca perang. Ketergantungan total pada bantuan eksternal, baik dari Barat maupun aktor lain, akan menempatkan Ukraina dalam posisi tawar yang lemah. Rekonstruksi pasca perang seharusnya diarahkan pada penguatan kapasitas nasional, bukan sekadar menjadi ladang proyek donor internasional. Bantuan tetap penting, tetapi harus ditempatkan sebagai sarana transisi menuju kemandirian, bukan ketergantungan permanen.
Tentu, perdamaian di Eropa Timur tidak akan lahir dari solusi ideal yang memuaskan semua pihak. Ia akan lahir dari pilihan-pilihan sulit yang didasarkan pada rasionalitas geopolitik dan kepentingan jangka panjang. Dalam dunia yang semakin multipolar, stabilitas sering kali lebih mungkin dijaga melalui kompromi yang dapat dipertahankan daripada melalui kemenangan simbolik yang rapuh. Ukraina, Eropa, dan komunitas internasional kini dihadapkan pada pilihan tersebut yaitu terus memelihara konflik atas nama prinsip, atau membangun perdamaian atas dasar kenyataan.(*)
PROBO DARONO YAKTI
Dosen Hubungan Internasional dan Peneliti CSGS, FISIP UNAIR dan Co-founder Nusantara Policy Lab



