
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Bencana alam selalu meninggalkan jejak kehilangan. Namun bagi banyak perempuan, dampaknya jauh melampaui rusaknya rumah dan harta benda. Di balik tenda-tenda darurat yang berdiri di berbagai daerah terdampak bencana, tersimpan kerentanan yang jarang terlihat yaitu pengungsian yang tak selalu aman bagi perempuan.
Ketika struktur sosial goyah dan ruang privat hilang seketika, perempuan menghadapi risiko berlapis, mulai dari kekerasan berbasis gender hingga tekanan psikologis yang sering tersamar. Situasi itu kembali disorot Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) Universitas Airlangga, Myrtati Dyah Artaria.
Menurut Myrta -sapaan akrabnya-, dalam banyak budaya, perempuan sering diposisikan sebagai pihak yang perlu dilindungi. Namun justru ketika bencana terjadi, struktur perlindungan itu runtuh.
“Saat setiap orang fokus menyelamatkan diri, perlindungan terhadap perempuan melemah. Dalam kondisi longgar seperti itu, muncul peluang bagi oknum yang ingin memanfaatkannya,” ujarnya, Rabu (10/12/2025).
Perubahan yang tiba-tiba yakni dari ruang privat ke ruang publik serba terbuka, lanjutnya, membuat perempuan rentan. “Jika sebelumnya perempuan berada di ruang sosial yang lebih tertata, kini mereka terpaksa berbaur dengan banyak orang dalam satu lokasi. Kerentanan itu sangat dipengaruhi budaya setempat tentang bagaimana perempuan diperlakukan,” jelas Guru Besar Antropologi UNAIR itu.
Di banyak lokasi pengungsian, lanjutnya, risiko kekerasan berbasis gender (KBG) meningkat. Bentuk kekerasan ini mencakup tindakan fisik, seksual, psikologis, hingga pembatasan kebebasan. Meski dapat menimpa siapa saja, perempuan dan anak perempuan tetap menjadi kelompok paling rentan.
“KBG berakar dari ketidaksetaraan gender, penyalahgunaan kekuasaan, serta norma sosial yang merugikan,” tegas Myrta. Ia juga menyebut faktor biologis sebagai pemicu tambahan. “Dorongan agresif secara hormonal lebih tinggi pada laki-laki. Dalam situasi tidak stabil, risiko itu meningkat,” katanya.
Namun ia menekankan bahwa akar persoalan tetap sosial. “Budaya patriarki, rendahnya pendidikan, dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi faktor terbesar.” tegasnya.
Beban Psikologis yang Kerap Terabaikan
Di tengah kehilangan besar, perempuan pengungsi juga menghadapi tekanan emosional yang berat. Kehilangan rumah, anggota keluarga, atau hilangnya rasa aman membuat mereka membutuhkan perhatian lebih.
Menurut Myrta, pendekatan empatik sangat penting. “Pendamping harus memahami perspektif para pengungsi. Prioritasnya tentu kebutuhan mendesak, lalu kebutuhan spesifik perempuan,” ujarnya.
Perempuan juga memerlukan ruang privat yang sesuai dengan nilai dan norma yang mereka pegang, sesuatu yang sering absen di lokasi pengungsian.
Agar pengungsian benar-benar aman, desain penanganan bencana harus mempertimbangkan perspektif gender. Ruang aman bagi perempuan bukan hanya ruang fisik, tetapi ruang sosial yang menjaga martabat dan hak mereka. Myrta menegaskan perlunya pemenuhan kebutuhan spesifik perempuan, mulai dari fasilitas sanitasi yang layak hingga akses layanan kesehatan reproduksi dan dukungan psikologis.
Selain itu, mekanisme pelaporan kekerasan harus dirancang aman dan rahasia, didukung tenaga terlatih yang memahami pencegahan dan respons KBG. “Pengungsian seharusnya tidak hanya tempat bertahan hidup. Ia harus menjadi tempat yang menghormati kemanusiaan terutama hak perempuan untuk merasa aman,” tutupnya.(*)
Kontributor: PKIP
Editor: Abdel Rafi



