
Selamat datang di negeri RK, maksudnya Republik Keluarga. Dunia mungkin tertawa, tapi kita cuma bisa tepuk jidat. Di sana berdiri presiden yang sekilas tampak tulus. Dengan alasan khusus, ia mengutus adiknya mewakili dirinya dalam agenda kenegaraan di negeri luar.
Bahasa Inggris sang adik tentu lancar, wawasan diplomasi mungkin terasah, dan jaringan bisnis internasional juga oke. Tapi publik? Tentu, seperti biasa tak bisa menahan kritik, “Ini negara republik atau family business?” Mereka bertanya, mengapa seorang adik kandung bisa otomatis menjadi utusan negara.
Padahal, protokol jelas mengatur urutan resmi yaitu Presiden, Wakil Presiden, Menteri terkait, baru kemudian utusan khusus resmi dengan mandat negara. Wapres kemana? Kurang kapabel, minim wawasan, bahkan diragukan ijazahnya. Maka lahirlah logika keluarga bahwa lebih penting darah biru daripada yang lain.
Di negeri lain bernama Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rutin bikin Survei Penilaian Integritas (SPI). Hasil SPI terakhir bukannya mengejutkan, malah menggelitik. Sebanyak 63,5% responden menilai nepotisme sering memengaruhi promosi atau mutasi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kompetensi ASN yang mencakup Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)? Ah, itu cuma bonus. Jabatan diisi lewat kekerabatan, bukan keahlian. Fit and proper test? Tidak perlu. Yang penting punya hubungan darah atau “simbol simbiosis mutualisme” dengan penguasa.
Ironisnya, temuan KPK ini justru sejalan dengan logika sang presiden yaitu lebih percaya keluarga. Ia mewakilkan dirinya ke adiknya bahas perubahan iklim. Dua petinggi negeri yakni Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup-, hadir sih, tapi hanya jadi pendamping.
Publik, tentu, menelan pil pahit sambil bergumam bahwa negara ini seolah tak lagi republik, tapi cabang PT Nusantara Family Holding. Direktur utamanya sang presiden. Komisaris utamanya sang adik presiden. Wakil direkturnya mungkin wapres. Rakyat? Hanya jadi penonton sinetron politik bernama “Dinasti Abad 21.”
Menurut pakar birokrasi dan etika publik, nepotisme yang jadi senjata gerakan Reformasi memang bukan sekadar “hal sepele”. Dr. Bagus Muljadi, akademisi dan analis kebijakan, menegaskan bahwa praktik favoritisme berbasis kekerabatan berpotensi merusak kinerja birokrasi lebih parah dari korupsi langsung.
Alasannya? Karena nepotisme menanamkan budaya ketergantungan, demotivasi, dan stagnasi kemampuan. Nepotisme membuat pejabat publik cenderung fokus pada “siapa yang mengangkat saya” daripada “apa yang bisa saya lakukan untuk rakyat”. Kepentingan publik tersandera kepentingan keluarga atau kroni.
Sejumlah studi internasional menunjukkan bahwa birokrasi yang penuh nepotisme akan menurunkan efektivitas administrasi hingga 30–40%. Nepotisme juga meningkatkan biaya proyek publik, dan memperpanjang penderitaan masyarakat karena pelayanan publik mandek.
Ini bukan hanya teori karena berbagai kasus di negara berkembang dan beberapa monarki modern menunjukkan pola serupa, di mana favoritisme keluarga menjadi penghalang utama bagi meritokrasi. Maka tak salah jika dulu mahasiswa mengambil jargon “KKN” hingga berhasil menumbangkan Presiden Soeharto.
Tapi, di sistem kerajaan, bukankah keluarga jadi prioritas? Dalam kerajaan klasik, nepotisme memang “legal” karena jabatan diwariskan. Tapi ada mekanisme legitimasi lain. Para pewaris disiapkan betul dengan kemampuan tempur, pendidikan kerajaan, atau kekuatan politik.
Di republik keluarga versi modern, legitimasi keluarga diganti dengan senyum formal dan protokol palsu. Bahkan tak jarang main singkir. Sebetulnya, rakyat tidak memilih keluarga itu untuk memimpin, tapi tetap menanggung akibat buruk dari keputusan yang diambil tanpa kompetensi memadai.
Dengan kata lain, dalam “dinasti demokrasi” ini birokrasi tergerus favoritisme, dan negara berpotensi menjadi kantor cabang keluarga. Sistem merit, yang diatur UU ASN Nomor 20 Tahun 2023 sebagai nilai dasar kompetensi, hanya menjadi pajangan. Promosi jabatan tanpa merit menghasilkan demotivasi.
Lembaga Administrasi Negara (LAN) mencatat, nepotisme telah membuat kebijakan publik di daerah yang bernilai “cukup” atau “kurang berkualitas” mencapai 72 persen. Kebijakan lahir bukan dari masalah nyata masyarakat, tapi untuk memenuhi tugas menghabisi anggaran.
Republik keluarga yang kita saksikan kali ini mungkin bukan sekadar nepotisme. Ini “Dinastikrasi” versi abad 21, dengan aturan bahwa darah lebih kuat dari data, keluarga lebih penting dari kompetensi, dan gengsi keluarga lebih prioritas dari kesejahteraan rakyat.
Di situlah pelajaran pahitnya bahwa ketika negara menjadi kantor cabang keluarga, hukum, merit, dan integritas menjadi slogan hiasan. Dunia tersenyum sopan, sambil berbisik lirih bahwa Negara itu ternyata dijalankan bukan hanya oleh konstitusi, tapi oleh silsilah keluarga.
AHMADIE THAHA (Cak AT)
Wartawan Senior



