Ini kenyataan pahit yang kerap terjadi di dunia kerja. Selama masih menjabat dan memiliki kuasa, seorang atasan sering merasa bahwa setiap keputusannya adalah “titah” yang tak boleh dibantah. Perintah menjadi kebenaran, dan bawahan tunduk bukan karena hormat, melainkan karena takut kehilangan pekerjaan.
Banyak atasan di kantor-kantor kita mungkin lupa, bahwa wibawa sejati tidak lahir dari jabatan, melainkan dari sikap dan cara memperlakukan orang lain. Ketika kekuasaan itu usai, barulah tampak siapa yang benar-benar dihargai. Bukan karena prestasi semata, melainkan karena perilaku saat masih berkuasa.
Dari berbagai survei dan pengalaman lapangan, banyak karyawan mengaku tak mudah melupakan perlakuan atasannya di masa lalu, terutama yang merasa pernah dipermalukan, diremehkan, atau diperlakukan tidak adil. Mereka masih ingat nada suara yang merendahkan, tatapan yang mengintimidasi, atau perlakuan yang membuat diri terasa kecil. Bukan karena dendam, tetapi karena dari pengalaman itulah mereka belajar satu hal untuk tidak seperti itu.
Dan ketika masa pensiun tiba, yang dikenang bukanlah deretan penghargaan atau target yang pernah dicapai, melainkan bagaimana seorang pemimpin memperlakukan orang-orang di sekitarnya. Jabatan memang sementara, tetapi keteladanan dan empati meninggalkan jejak yang lebih abadi.
Banyak atasan juga kerap lupa bahwa di balik kinerja perusahaan yang stabil, ada para bawahan yang bekerja melampaui batas. Mereka berangkat sebelum matahari terbit, pulang setelah hari gelap, sementara gaji tak selalu sepadan dengan beban kerja. Dalam atmosfer politik kantor yang penuh intrik, suara bawahan sering kali tak terdengar, dan ketika bersuara, justru dianggap tidak loyal.
Pemimpin sejati semestinya bukan hanya memberi perintah, tetapi juga berani memperjuangkan kesejahteraan stafnya. Termasuk memikirkan masa depan mereka, salah satunya dengan menyediakan atau memfasilitasi program dana pensiun. Sebab tidak semua pekerja memiliki tabungan hari tua; dan ketika hubungan kerja harus berakhir, dana pensiun bisa menjadi penyelamat bagi kelangsungan hidup mereka.
Sayangnya, masih ada atasan yang bahkan untuk menaikkan gaji secara wajar pun enggan, apalagi memperjuangkan hak pensiun bagi stafnya. Di sinilah pentingnya kepemimpinan yang empatik yakni pemimpin yang menganggap jabatan bukan sekadar kekuasaan, melainkan amanah untuk menyejahterakan.
Pada akhirnya, penghormatan tidak bisa dibeli dengan pangkat, kekuasaan, atau jabatan. Ia lahir dari ketulusan dan keberanian memperlakukan sesama dengan hormat. Dan itulah yang akan tetap dikenang, bahkan lama setelah sang atasan menanggalkan jabatannya.
SYARIFUDIN YUNUS
Dosen dan Asesor Kompetensi LSP Dana Pensiun




