Pagi ini seorang teman mengirim pesan singkat. Ia anak muda yang mencoba menjadi jembatan antara suara di luar dengan jaringan yang dimilikinya di dalam pemerintahan. Memang tak banyak yang bisa ia lakukan, tetapi sekadar mengusik orang di dalam dan memberi penjelasan ke luar sudah menjadi langkah sederhana yang berdampak.
Sayangnya, ia justru mendapat kritik dari rekannya sendiri. “Ngapain kamu repot? Suaramu lantang tapi tak terdengar. Jangan lelah melawan arus,” begitu kata kawannya yang kini telah berada di dalam sistem.
Kedengarannya klasik, tapi begitulah kenyataan. Saya pun teringat pengalaman pribadi ketika ditawari masuk ke partai politik. Idealisme saya bergolak. Saya membayangkan bisa membawa perubahan. Namun seorang psikolog memberi peringatan singkat: “Silakan, asal kamu siap kehilangan hati nurani. Sebesar apa pun idealisme, cepat atau lambat akan berbenturan dengan kepentingan partai dan pejabat lain.” Itu teguran keras, bahwa di dalam sistem, harga yang harus dibayar bisa jadi adalah nurani itu sendiri.
Sering kali kita mudah menilai dari luar. Melihat seseorang masuk sistem lalu berkata: “Lihat, dia melunak, kehilangan idealismenya.” Padahal dari luar semua tampak sederhana. Begitu ikut masuk, keadaannya jauh lebih rumit.
Orang tua saya pernah memberi perumpamaan soal ikan dalam akuarium. Dari luar kita mudah menunjuk bahwa airnya keruh, lumut menempel, ikannya seharusnya berenang ke sini bukan ke sana. Namun, ketika kita sendiri masuk ke dalam air itu, barulah terasa sempit, menyesakkan, penuh tekanan. Ada banyak hal yang membuat ikan tidak bergerak sesuai kata orang di luar. Mereka tentu punya pertimbangan sendiri atas pergerakannya.
Kurang lebih begitulah posisi outsider dan insider. Bayangkan jika keduanya berdialog.
Outsider: “Aku bisa berteriak lantang, tapi suaraku hanya bergema.”
Insider: “Aku bisa menyentuh tuas kebijakan, tapi tanganku terikat.”
Outsider: “Kalau begitu kau hanyut bersama sistem.”
Insider: “Tanpa aku di dalam, kau hanya berteriak di kaca. Tanpa suaramu di luar, aku bisa lupa siapa diriku di dalam.”
Fenomena ini nyata di panggung politik. Ada yang masuk dengan niat tulus, tetapi terjebak kepentingan dan akal bulus. Ada aktivis keras di jalanan, tapi melemah saat duduk di kursi jabatan. Ada pula yang memilih tetap di luar, berteriak lantang, namun tak mampu menyentuh tuas kebijakan. Ini bukan sekadar soal individu, melainkan struktur yang kerap membelokkan idealisme menjadi kompromi.
Belakangan, kata “netral” sering dijadikan alasan pembenar. Padahal netral seharusnya berarti berpihak pada prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, transparansi. Faktanya, netral justru sering berarti diam. Dan diam bisa menjadi bentuk keberpihakan yang paling berbahaya. Mereka bisa tampak netral, namun diam-diam bergerak dengan agenda tak terlihat.
Apakah itu berarti idealisme hanya ilusi? Tidak juga. Kita harus jujur bahwa idealisme murni hampir mustahil bertahan. Dunia menuntut kompromi, hidup menekan pilihan, institusi mengikat. Ada getir di sana, ada kepasrahan, dan kita tak bisa menutupinya. Tetapi getir bukanlah akhir.
Bukti kecilnya, suara rakyat belakangan mampu memaksa DPR dan pemerintah melakukan perubahan. Memang sedikit dan belum signifikan, tetapi tetap lebih baik ada daripada tidak. Perubahan tak pernah datang sekaligus, melainkan sedikit demi sedikit. Itu membuktikan bahwa orang di luar dan di dalam sebenarnya terhubung oleh jembatan tak terlihat, saling menguatkan, memberi sentuhan, dan memegang peran masing-masing dalam perubahan.
Jadi, idealisme bukan tentang menolak kenyataan atau menyerah pada keadaan. Ia seperti api kecil yang harus terus menyala di tengah gelap, meski sering diterpa angin kompromi. Yang di luar tetaplah bersuara sebagai kontrol dan pengawasan. Yang di dalam jangan menutup telinga dan mata, agar bisa mendengar serta mencari celah eksekusi. Ingatlah, sebelum berada di dalam, kalian terlebih dahulu adalah bagian dari luar.
Dan pada akhirnya, kita tidak boleh berlindung di balik kalimat “tidak punya pilihan.” Justru sebaliknya, kita memilih dengan sadar, menanggung konsekuensi, demi perubahan nyata di masa depan.
AGNES SANTOSO
Jurnalis