
SURABAYA, CAKRAWARTA.com Pemerintah resmi menaikkan pajak bagi pelaku usaha di sektor e-commerce, memicu perdebatan publik. Di satu sisi, kebijakan ini dianggap sebagai langkah untuk menambah penerimaan negara. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa pelaku UMKM digital bisa tumbang pelan-pelan, terjepit margin keuntungan yang makin tipis.
Menurut Wahyu Wisnu Wardana, Pakar Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB Unair), kebijakan ini sebenarnya tidak mengejutkan. Pemerintah, katanya, memiliki tanggung jawab membiayai berbagai kebutuhan negara, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur.
“Pemerintah itu seperti rumah tangga besar. Harus punya pendapatan untuk belanja. Dan sektor e-commerce yang kian tumbuh pesat adalah sumber yang wajar untuk dikenai pajak,” jelas Wahyu.
Namun di balik argumen fiskal tersebut, tersimpan tantangan besar yaitu mampukah UMKM bertahan?
Wahyu menilai, dalam praktiknya, beban pajak lebih mungkin dipikul oleh pelaku usaha ketimbang konsumen. Mengapa? Karena pasar e-commerce sangat kompetitif.
“Kalau harga dinaikkan sedikit saja, pembeli bisa langsung pindah ke toko sebelah. Maka UMKM lebih mungkin mengorbankan margin profit mereka daripada kehilangan pelanggan,” jelasnya.

Dengan kata lain, pemerintah boleh saja untung dari penerimaan pajak, tapi pelaku UMKM berpotensi menanggung risiko secara diam-diam.
Keadilan Pajak: Offline vs Online
Di sisi lain, Wahyu menekankan pentingnya keadilan fiskal. Selama ini, pelaku usaha offline telah patuh membayar pajak. Sementara sebagian pelaku online, apalagi skala kecil-menengah, belum semua masuk dalam sistem perpajakan nasional.
“Negara-negara ASEAN seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia sudah lebih dulu menerapkan pajak e-commerce. Kita justru baru sekarang merapikan sistemnya,” ujarnya.
Namun, Wahyu mengingatkan bahwa pajak bukan sekadar penarikan, tapi harus ada timbal balik. Jika tidak, pelaku usaha hanya akan merasa sebagai objek, bukan bagian dari pembangunan ekonomi digital.
“Pemerintah harus hadir memberi pelatihan, akses pasar, dan penguatan usaha. UMKM perlu merasakan manfaat nyata dari pajak yang mereka bayarkan,” tegasnya.
Ia juga menyarankan pemerintah tidak hanya mengandalkan sistem self-reporting, tapi memperkuat integrasi data digital agar lebih adil dan transparan.
Di tengah tantangan dan kegelisahan, Wahyu tetap optimistis bahwa kebijakan ini bisa menjadi momen penting untuk menata ulang ekosistem digital Indonesia. Asalkan, katanya, pendekatannya tepat: berkeadilan, transparan, dan berorientasi pada penguatan usaha kecil.
“Pajak e-commerce harus jadi jembatan antara penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi digital, bukan penghalang,” tutupnya.(*)
Editor: Abdel Rafi



