Thursday, December 18, 2025
spot_img
HomeGagasanAkal Imitasi, Identitas Tradisi, dan Masa Depan Budaya Lokal

Akal Imitasi, Identitas Tradisi, dan Masa Depan Budaya Lokal

Bayangkan. Deskripsikan. Lalu saksikan hasilnya.

Kemunculan Google Veo 3 yang kini tengah viral menandai babak baru dalam peradaban visual dunia. Kita tengah menyaksikan pergeseran besar dalam cara manusia mencipta dan merepresentasikan realitas. Teknologi tidak lagi sekadar menjadi alat bantu visual, melainkan menjadi pencipta ilusi, perancang pengalaman, bahkan penjaga, atau justru perusak, memori kolektif.

Fenomena linimasa yang dibanjiri video tokoh publik menyanyikan lagu daerah dengan ekspresi ganjil, atau seorang kakek tua muncul dalam latihan militer, semuanya tampak nyata padahal hasil rekayasa kecerdasan buatan, bukan lagi sekadar soal deepfake. Ini adalah cerminan dari era yang pernah diprediksi oleh Jean Baudrillard sebagai hiperrealitas, ketika simulasi terasa lebih “nyata” daripada kenyataan itu sendiri.

Dalam lanskap ini, warisan budaya lokal menghadapi tantangan besar. Seni Reyog Ponorogo, misalnya, yang lahir dari tubuh, ruang, dan spiritualitas kolektif, kini harus bersaing dengan konten artifisial yang secara visual tampak rapi, tetapi sering kali miskin makna. Ketika generasi muda lebih akrab dengan pertunjukan digital dibanding hadir langsung di panggung seni tradisional, kita dihadapkan pada pilihan krusial antara pelestarian dan pelupaan.

Karena itu, pembahasan tentang artificial intelligence atau akal imitasi tak dapat berhenti pada dimensi teknologi atau industri kreatif belaka. Kita perlu menelisik lebih jauh yakni bagaimana akal imitasi memengaruhi diseminasi budaya, siapa yang mengontrol representasi tersebut, dan bagaimana warisan budaya dapat bertahan di tengah ekosistem algoritmik. Setidaknya, terdapat empat dimensi penting yang patut dikaji yaitu etika representasi, teknologi imersif, kritik terhadap logika algoritma, dan bahaya disinformasi budaya.

Etika Representasi Budaya

Perkembangan teknologi audiovisual hari ini memungkinkan budaya direpresentasikan secara sangat detail,  dari visual, suara, hingga emosi. Akal imitasi (AI) bahkan mampu “menghidupkan kembali” tarian, nyanyian, dan ritual tanpa melibatkan manusia dari komunitas asalnya.

Namun, hal ini memunculkan pertanyaan mendasar yaitu siapa yang bertanggung jawab ketika representasi tersebut menyimpang, menyinggung, atau mengaburkan makna aslinya?

Dalam seni pertunjukan seperti Reyog, dimensi sosial, spiritual, dan simbolik tak bisa dilepaskan dari tubuh penari, ruang pertunjukan, serta komunitas yang menghidupkannya. Jika AI menyajikan pertunjukan tanpa memahami konteksnya, maka yang ditampilkan hanyalah kulit budaya, indah di permukaan, tetapi kehilangan ruh.

Inilah yang dikritisi Stuart Hall melalui konsep appropriation yaitu pengambilan elemen budaya oleh pihak luar tanpa partisipasi atau persetujuan komunitas. Dalam konteks AI, reproduksi budaya yang mekanis dan massal berpotensi menjadi bentuk kekerasan simbolik, budaya dijadikan tontonan tanpa diberi ruang untuk bersuara.

Diperlukan pedoman etik representasi digital yang tak hanya berbasis estetika, tapi juga melibatkan:
(1) partisipasi komunitas budaya,
(2) pengakuan terhadap nilai dan konteks sejarah,
(3) transparansi antara realitas dan simulasi, serta
(4) batasan etis atas hal-hal yang layak untuk disimulasikan.

Estetika Virtual vs Energi Ritual 

Kehadiran teknologi Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR) menawarkan peluang besar dalam pendidikan budaya, pelestarian seni, hingga pengalaman museum interaktif. Teknologi ini memungkinkan siapa pun untuk “hadir” di tengah pertunjukan tradisi meski tidak berada secara fisik di lokasi.

Namun, satu hal yang tak dapat sepenuhnya direplikasi adalah tubuh manusia, yang hadir, merasakan, dan berinteraksi secara langsung.

Dalam pertunjukan Reyog, rasa kagum, takut, dan keterhubungan spiritual lahir bukan dari visual semata. Ia muncul dari dentuman gamelan yang mengguncang dada, dari kesurupan penari, dari napas yang terengah, dan dari penonton yang ikut tegang secara emosional. Ketika pertunjukan ini dikemas ke dalam headset VR, makna tersebut beralih dari pengalaman partisipatif menjadi konsumsi pasif.

Meski demikian, teknologi imersif tidak perlu ditolak. Ia bisa menjadi jembatan bagi mereka yang kesulitan mengakses pentas budaya secara langsung, baik karena faktor geografis, fisik, atau sosial. Yang penting adalah orientasi penggunaannya: teknologi tak boleh mengambil alih pengalaman budaya, melainkan memperkaya dan memuliakannya.

Kritik atas Logika Algoritma

Dalam ekosistem digital, konten yang paling terlihat bukan selalu yang paling bernilai, melainkan yang paling mudah diklik. Media sosial bekerja berdasarkan logika keterlibatan, bukan kedalaman makna. Akibatnya, konten budaya yang kompleks dan penuh konteks sejarah kerap tenggelam di bawah banjir konten hiburan instan.

Hal ini melahirkan bentuk baru ideologi algoritmik, ketika nilai-nilai budaya dikurasi dan dipromosikan bukan oleh komunitas, melainkan oleh sistem kode yang tunduk pada logika viralitas dan monetisasi. Dalam dunia semacam ini, kita tidak hanya menghadapi tantangan pelestarian budaya, tapi juga persoalan distribusi nilai dan keadilan digital.

Diperlukan desain ulang arsitektur platform digital agar lebih ramah terhadap keberagaman, kekayaan lokal, dan narasi-narasi minoritas. Jika tidak, warisan budaya bisa tergilas dalam seleksi algoritmik yang tidak peduli pada kedalaman makna.

Disinformasi Visual dan Literasi Budaya

Teknologi generatif seperti Veo 3 memungkinkan siapa saja memproduksi representasi budaya dengan wajah, tempat, dan gaya yang sepenuhnya artifisial. Ini membuka peluang baru, sekaligus bahaya besar, disinformasi visual.

Ketika publik menyaksikan tokoh adat menari dengan gerakan palsu, atau pertunjukan Reyog yang diedit agar tampak “modern”, maka muncul pertanyaan krusial: siapa yang mengendalikan makna budaya?

Bahaya utamanya bukan hanya kesalahpahaman, tapi terhapusnya otentisitas. Tanpa literasi budaya, publik mudah percaya bahwa hasil rekayasa adalah wujud asli tradisi. Jika ini terjadi secara berulang, generasi mendatang tidak hanya kehilangan bentuk budaya, tetapi juga makna yang terkandung di dalamnya.

Karena itu, literasi budaya harus menjadi bagian dari pendidikan digital. Tak cukup memahami cara kerja teknologi, masyarakat juga perlu diajari bagaimana membaca konteks dan membedakan mana warisan asli dan mana sekadar bayangan.

Di era akal imitasi atau AI, hanya publik yang tercerahkan yang mampu memilah mana budaya sejati dan mana simulasi. Dan dari kesadaran inilah, masa depan budaya lokal akan ditentukan.

 

PROBO DARONO YAKTI
Ketua Budaya Nusantara Seni Tradisi Lokal dan Dosen Hubungan Internasional FISIP Unair

NIMAS SAFIRA WIDHIASTI WIBOWO
Dosen Ilmu Komunikasi UPN ”Veteran” Jawa Timur

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular