
SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Di ruang kelas, mahasiswa diajarkan bahwa politik adalah alat untuk mewujudkan keadilan sosial, memperjuangkan nilai luhur, dan mengabdi kepada kepentingan rakyat. Tapi di lapangan, realitas berbicara lain: politik justru dikuasai oleh mereka yang punya akses, koneksi, dan orang dalam, bukan mereka yang paling layak atau bermoral. Inilah ironi besar demokrasi kita hari ini.
Direktur Institute for Strategy and Political Studies (INTRAPOLS), Bustomi, menyebut praktik ini sebagai politik “Ordal” yang merupakan singkatan dari orang dalam. Fenomena ini, menurutnya, menggeser moralitas sebagai dasar kepemimpinan, digantikan oleh kedekatan dengan elite dan kuasa.
“Kalau kamu pernah main Mobile Legends, kamu pasti tahu rasanya pas draft pick isinya teman kapten semua, meskipun jagoannya biasa aja. Ya, itu persis politik kita sekarang. Yang naik bukan yang tepat, tapi yang dekat,” ujar Bustomi dalam keterangannya dalam Webinar Nasional “Mending Mobile Legend, Politik Ga Ada Rank-nya”, Minggu (29/6/2025) malam.
Fenomena politik Ordal tak sekadar anekdot. Data dari Indikator Politik Indonesia (2024) menyebut 64% masyarakat percaya bahwa pemilihan pejabat publik lebih banyak ditentukan oleh kedekatan dengan elite partai ketimbang kompetensi. Sementara KPK dalam laporan tahunan 2023 menyoroti patronase politik dan nepotisme sebagai musuh utama reformasi birokrasi.
Tak heran, banyak wajah-wajah di lingkar kekuasaan saat ini adalah kerabat, sahabat, atau loyalis elite partai. Dalam sistem seperti ini, idealisme dan etika politik yang diajarkan dalam pendidikan kewarganegaraan seolah tak punya tempat.
Dosen FISIP UNIJA Sumenep, Muhammad Hidayaturrahman, menyebut bahwa Pancasila seharusnya menjadi cermin dalam perilaku pemimpin dan warga negara.
“Kalau pemimpin tak lagi menunjukkan nilai-nilai Pancasila, maka mahasiswa dan rakyat harus mengambil alih tanggung jawab itu. Jadilah manusia Pancasilais,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa mahasiswa bukan hanya agen perubahan, tapi juga pengawas moral sistem politik. “Kalau mahasiswa hari ini cuma demo dan narasi, kenapa tidak sekalian tantang seniornya? Katakan: mau gak saya di posisimu lima tahun lagi? Kalau gak siap, minggir.”
Hidayaturrahman menyebut banyak contoh anak muda yang sudah menembus batas narasi menuju aksi, seperti aktivis Madura Jailani, hingga Bima, seorang influencer asal Lampung yang kuliah di Australia namun tetap kritis terhadap oligarki dan penyimpangan kekuasaan.
Sementara itu, Presiden BEM Universitas Airlangga 2024, Aulia Thariq Akbar, mengungkapkan keresahan generasi muda terhadap sistem politik saat ini. Menurutnya, banyak Gen Z yang menganggap institusi politik sebagai ruang yang korup, elitis, dan tidak relevan.
“Skandal, kegagalan pemerintah, hingga kurangnya representasi membuat kami menjauh. Kami tidak merasa diwakili, dan ketika bicara, sering tak dianggap serius,” ungkapnya.
Data KPU 2024 mencatat partisipasi pemilih muda turun 6% dibanding Pemilu 2019. Sementara itu, Perludem (2023) menyebut bahwa hanya 12% anggota DPR berusia di bawah 40 tahun, dan sebagian besar berasal dari dinasti politik.
Namun, Aulia percaya bahwa masih ada harapan. “Anak muda sekarang makin literatif secara politik. Platform digital bisa jadi ruang untuk gerakan sosial dan kampanye politik berbasis data dan isu.” tegasnya.
Bustomi menyebut bahwa masih banyak politisi muda yang jujur, tapi kalah karena sistem tak memberi ruang. “Politik kita seperti game. Sayangnya, yang jadi kapten bukan meritokrasi, tapi Ordal,” katanya.
Namun, menurutnya, ini bukan alasan untuk menyerah. Anak muda perlu bergerak seperti “jungler visioner” dalam gim: bekerja di balik layar, membantu tim, dan tahu kapan menyerang dan mundur.
“Kalau kamu bisa push rank sampai Mythic, kenapa tidak push perubahan sosial?” tantangnya.
Bustomi menegaskan bahwa perubahan tak datang dari atas. Perlu gerakan akar rumput, komunitas sadar politik, serta keberanian untuk menyuarakan yang substansial.
“Jadilah voice, bukan noise. Kalau elite politik dan sistemnya mulai problematik maka bersuaralah. Berisiklah. Tapi berisik yang masuk ranah voice bukan noise yaitu fokus pada substansi dan tidak terjebak kontroversi atau malah terjebak sensasi. Caranya? Perkuat literasi dan masuk komuniti dan konsisten berisik!” tandasnya. (*)
Editor: Abdel Rafi



