Friday, April 26, 2024
HomeGagasanDakwah Islam Minus Strategi Budaya, Sebuah Kritik

Dakwah Islam Minus Strategi Budaya, Sebuah Kritik

 

Baru saja kita dikejutkan dengan pemberitaan viral di media (sosial) mengenai pembubaran  acara kebudayaan yang sudah menjadi tradisi bertahun-tahun oleh sekelompok masyarakat dengan ciri-ciri tertentu di sebuah daerah di Indonesia. Tak pelak kejadian ini membuat kita kembali harus membaca bagaimana relasi agama dan kebudayaan dalam konteks dakwah di bumi zamrud khatulistiwa ini.

Jika mau jujur, sebenarnya, baik kalangan “modernis” maupun “tradisionalis” dalam wacana relasi agama dan kebudayaan, masih sibuk dengan dirinya sendiri. Keduanya belum mampu merumuskan relasi agama (Islam) dengan kebudayaan lokal, kecuali sekedar menarik budaya lokal pada orbitnya. Sangat berbeda dengan kiprah ulama terdahulu yang memang secara substantif melakukan “Islamisasi Kebudayaan”. Oleh karena itu, ketika tahun 1965 terjadi konflik politik antara santri dengan kaum abangan, yang mengakibatnya banyak kaum abangan memilih meninggalkan Islam, kebanyakan kaum santri, baik modernis maupun tradisionalis tidak merasa kehilangan. Karena memang mereka hidup dalam sistem budaya yang berbeda hingga gagal membangun jembatan “rasa”.

Dahulu saat penjajah datang dan mencoba menguasai Nusantara khususnya tanah Jawa, dengan melihat karakter budayanya saja, pihak kolonialis Belanda yang memandang Islam sebagai kekuatan subversif telah melakukan berbagai upaya untuk memisahkan antara kelompok Islam dengan masyarakat adat Jawa. Untuk membatasi lingkup syari’ah, Cornellis van Vollenhaven memperkenalkan teori Het Indische Adatrecht. Yakni hukum Islam baru mempunyai kekuatan berlaku kalau sudah diterima hukum adat. Sementara itu dukungan besar-besaran diberikan kepada kegiatan misionaris dan zending (gerakan kristenisasi).

Dalam bidang di luar kebudayaan, organisasi Muhammadiyah cukup gigih dalam melawan arus kristenisasi. Aktivisme Muhammadiyah ini meliputi kegiatan di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, membangkitkan kemandirian ekonomi dan banyak kegiatan sosial lainnya. Bagi Muhammadiyah, Al-Qur’an dan Sunnah sudah cukup, tinggal bagaimana mengamalkan. Hanya sayangnya menurut Kuntowijoyo, pada perkembangan selanjutnya Muhammadiyah tidak hanya melakukan ijtihad, tajdid, rasionalisasi, demistifikasi dan perbaikan etos kerja tapi juga idiocracy.

Idiocracy sendiri adalah gejala konservatisme di lingkungan Muhammadiyah yang menganggap Muhammadiyah sebagai madzhab tersendiri yang anggotanya tidak kurang taqlidnya terhadap Muhammadiyah.

Proses idiocracy ini menyebabkan Muhammadiyah menolak sesuatu yang bukan berasal dari dirinya, semisal barzanji, tahlil, puji-pujian dan lain sebagainya. Sehingga keagamaannya menurut Kuntowijoyo bersifat kering. Muhammadiyah juga muncul sebagai gerakan puritan yang anti simbol. Banyak simbol Jawa, Islam Tradisional dan kebudayaan modern yang terlibas pemurnian aqidah Muhammadiyah. Padahal dengan bekal konsep ijtihad, tajdid, rasionalisasi dan demistifikasi, Muhammadiyah punya potensi menjadikan barzanji, manaqib, tahlilan, dan wayang senilai dengan teater, puisi, maupun lagu.

Sementara itu, dari kalangan Nahdhiyin, akibat proses idiocracy Muhammadiyah kemudian membakukan budaya Islam tradisionalnya menjadi sebuah ritual wajib. Tradisi barzanji, manaqib, pembacaan burdah dan tahlilan serta yasinan telah dipisahkan dari konsep awal terbentuknya tradisi tersebut. Sehingga perdebatan yang terjadi bukan lagi masalah fungsi praksis dari tradisi tersebut akan tetapi sudah memasuki tataran teologis. Hal ini nampak dari idiom bid’ah, bid’ah khasanah dan yang semisalnya.

Di tengah kemandegan wacana dialektika positif Islam dan budaya Jawa ini, pihak Kristen menemukan momentumnya pasca pemberontakan G30S/PKI. Dalam konteks ini, menurut Alwi Shihab, pada periode antara tahun 1965, ketika kudeta yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia gagal total, dan tahun 1971 dianggap oleh gereja sebagai masa yang penuh berkah bagi pertumbuhan agama Kristen di Indonesia. Orang-orang Indonesia dalam jumlah besar berbondong-bondong memeluk agama Kristen karena Gereja menawarkan perlindungan bagi mereka yang dicurigai terlibat dalam kegiatan komunisme di Indonesia.

Anggota Partai Komunis Indonesia rata-rata berasal dari kelompok Islam Abangan. Dalam pengertian identitas kejawaan mendahului identitas Keislaman. Maka ketika mereka memiliki trauma dengan kelompok Islam tradisionalis maupun modernis dalam konflik horizontal di sekitar tahun 1965, maka uluran tangan gereja mereka sambut dengan terbuka. Apalagi dengan strategi unkulturasi, mereka masih di beri ruang untuk mengekspresikan ke-Jawa-annya. Dari hari ke hari interaksi itu makin nampak dan menunjukkan tren yang positif. Sementara di kalangan ummat Islam, justru budaya Jawa saat ini dihadapkan vis a vis dengan budaya Islam dalam bentuk konfrontatif. Wacana bid’ah telah menjadi hegemoni yang mematikan proses kreatif Islamisasi budaya Jawa. Proses ini secara jangka panjang menurut hemat saya justru merugikan dakwah Islam itu sendiri.

 

ARIF WIBOWO

Penulis dan pemerhati isu sosial budaya

RELATED ARTICLES

Most Popular