Tuesday, December 2, 2025
spot_img
HomePolitikaTabayyun NU

Tabayyun NU

Maaf kalau saya harus menyentuh lagi gelombang isu panas di tubuh PBNU. Sungguh, niat dasar saya sama sekali bukan untuk menambah gaduh, apalagi menari-nari di atas bara konflik ormas besar di negeri ini.

Dalam tradisi keormasan, membongkar dapur internal itu ibarat mengedit khutbah di tengah shalat Jumat yakni semua orang tahu itu sensitif dan terlarang. Tapi ketika realitas sudah menerobos pagar-pagar kesopanan dan merangsek menjadi berita publik, maka kita hanya bisa menempatkan diri agar tetap menjaga adab, bukan sekadar menjaga jarak.

Tulisan saya kemarin, “Merawat NU”, ternyata membuat beberapa kawan di media dan ormas mengirim pesan. Nada mereka mirip-mirip: “Ah, Cak, ini bukan soal marwah keulamaan. Ini perebutan kekuasaan, paket jabatan, angka-angka miliaran, dan rebutan kue konsesi tambang.”

Dan jujur saja, saya memahami keraguan itu. Sebab ruang publik hari ini seperti pasar malam yang dipenuhi poster isu. Di sana-sini bertebaran kabar tentang audit internal PBNU tahun 2022, jejak transaksi, nama-nama perusahaan di bawah bendera NU, konsesi pertambangan, hingga isu dana hibah, dana operasional Harlah ke-100, dan sejumlah proyek ormas yang masuk radar pemberitaan nasional.

Termasuk pula laporan media soal transaksi empat tahap pada 20–21 Juni 2022 yaitu Rp 20 miliar, Rp 30 miliar, Rp 35 miliar, dan Rp 15 miliar. Sebagiannya sudah menyentuh ranah hukum, sebagiannya masih berupa tudingan, dan sebagiannya sekadar opini yang belum selesai dijernihkan.

Hukum memang bergerak lambat seperti kereta uap tua, tetapi arsip digital bergerak seperti kereta cepat yang tak berhenti di stasiun mana pun. Kasus yang dulu hanya berputar di lorong-lorong kantor kini berhamburan ke ruang publik.

Ada yang mengangguk, ada yang menolak mentah-mentah, ada yang berpura-pura tidak tahu sambil berharap badai cepat lewat. Tapi badai itu bukan mereda, ia tumbuh menjadi siklon. Dan seperti dalam banyak peristiwa besar di negeri ini, persoalan organisasi tiba-tiba menjelma perkara moral.

Namun saya tetap ingin mengingatkan bahwa jangan buru-buru membacanya sebagai perebutan takhta. Di NU, jabatan bukan kursi empuk yang diburu, tapi beban amanah yang sering ditolak.

Ketika Rais Aam mengumumkan penghentian mandat Ketua Tanfidziyah, maka ada dua pertaruhan besar yakni menyelamatkan sejarah atau membiarkan kapal oleng. NU tidak sedang berebut kursi; NU sedang merebut arah.

Inilah titik di mana narasi menjadi medan tempur. Ketika media, aktivis antikorupsi, dan publik mulai mempertanyakan audit, rekening, kontrak, pembangunan rumah sakit, hingga kongsi perusahaan tambang, maka konflik itu tak lagi bisa ditutup dengan jargon ukhuwah, marwah, atau barokah. Seolah Tuhan sendiri membuka tabir yang selama ini dijaga rapat-rapat.

Tapi membuka aib bukan tujuan. Sungguh. Justru di sinilah hikmahnya. Sebuah rumah kadang perlu dibongkar agar fondasinya diperiksa. Organisasi sebesar NU kadang perlu dipaksa menatap cermin, meskipun pantulannya pahit. Agar NU tidak berubah menjadi cangkang kosong  yang tinggal nama besar, tetapi kehilangan ruh khittah perjuangan.

Maka jangan buru-buru mengatakan bahwa ini kehancuran NU. Bisa jadi ini justru proses ishlah yang paling serius. Kadang kebenaran datang dengan pakaian yang menyakitkan. Para tokoh yang saling berseberangan justru bisa menjadi alat Tuhan agar rumah besar ini tidak tumbang lebih dalam. Tanpa gelombang besar ini, mungkin kita masih percaya segalanya bisa dibereskan dengan doa dan retorika.

Di sinilah posisi tim pencari fakta yang akan dibentuk Syuriah NU menjadi penting. Bukan untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, tetapi untuk menjalankan prinsip yang paling dasar dalam adab Islam yaitu tabayyun.

Tugas mereka menyelidiki sebelum memvonis. Menguji kabar sebelum menyatakan benar atau dusta. Memisahkan fitnah dari fakta, prasangka dari bukti, rumor dari realitas. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa berita tanpa verifikasi dapat melahirkan kehancuran yang lebih ganas daripada kesalahan itu sendiri.

Tabayyun bukan membela manusia, bukan melindungi jabatan, tetapi menjaga amanah. Agar keputusan tidak digoyahkan oleh opini dan kepentingan. Agar suara paling keras tidak mengalahkan suara yang benar. Itulah inti tugas tim pencari fakta yaitu memastikan setiap langkah organisasi dilandasi integritas, bukan tekanan.

Jika benar ada kesalahan, biarkan hukum bekerja. Jika itu fitnah, biarkan fakta membantah. NU tidak akan mati hanya karena pengurusnya diuji. Justru di situlah NU memperlihatkan kualitasnya yakni apakah ia menambal luka dengan retorika, atau mengobatinya dengan kejujuran.

Seperti tubuh yang terasa nyeri ketika satu bagian terluka, begitu pula ormas-ormas Islam saling merasakan sakit. Rasa sakit itu bukan untuk mempermalukan, tetapi untuk mengingatkan bahwa organisasi keagamaan tidak boleh berubah menjadi mesin kapital.

Tragedi bisa berubah menjadi terapi. Krisis bisa menjadi pintu kembali ke cita-cita muassis bahwa NU yang miskin kuasa tetapi kaya marwah; NU yang melawan kebatilan; NU yang tidak menjadikan agama sebagai lisensi dagang kekuasaan.

Kadang untuk kembali suci, kita harus dipaksa jatuh. Kadang kehilangan jabatan adalah jalan kembali menuju amanah. Dan kadang Allah menunggu kita memahami satu pesan: kebenaran justru datang melalui pintu yang menyakitkan.

AHMADIE THAHA (Cak AT)

Wartawan NU dan Pengasuh Ma’had Tadabbur al-Qur’an 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular