Wednesday, December 4, 2024
spot_img
HomeSosial BudayaMenguatnya Unsur Primordialitas Dalam Kasus Persekusi Rumah Makan Padang di Cirebon

Menguatnya Unsur Primordialitas Dalam Kasus Persekusi Rumah Makan Padang di Cirebon

Seorang pengunjung tengah menikmati makan siang di sebuah rumah makan Padang di Lhokseumawe, Aceh beberapa waktu lalu. (foto: cakrawarta)

Surabaya, – Beberapa waktu belakangan ini viral mengenai adanya aksi persekusi rumah makan Padang di daerah Cirebon, berupa pencopotan paksa label RM Padang oleh oknum tertentu. Tentu saja ini menimbulkan reaksi publik yang beragam, termasuk akademisi. Pakar Ilmu Budaya Listiyono Santoso, salah satunya. Ia mengatakan bahwa peristiwa persekusi itu merupakan perilaku yang cukup problematik karena telah menyangkut soal identitas primordial suku tertentu.

“Bagi orang Minangkabau, terminologi rumah makan Padang itu tidak hanya  mencerminkan soal jenis makanannya. Melainkan juga tata cara makan dan berbagai norma yang melekat di dalamnya. Jadi, rumah makan Padang itu bagi orang Minangkabau tidak hanya soal nama. Melainkan soal identitas adat istiadat,” tuturnya dalam keterangannya beberapa waktu lalu.

Menurut Listiyono, unsur primordialisme menjadi faktor utama yang menyebabkan peristiwa itu terjadi sehingga peristiwa persekusi di Cirebon itu menggambarkan upaya untuk mempertahankan identitas primordial dari masyarakat Minangkabau.

“Hanya saja, memang perlu kearifan dalam memberikan ruang. Sehingga egoisme sektoral primordial tidak menjadi klaim eksklusif yang melarang orang lain menggunakannya, terutama dalam konteks NKRI. Justru, identitas primordial ini sebaiknya menjadi bagian dari duta budaya yang mempersatukan,” imbuh Listiyono.

Tapi tentu saja, lanjutnya, bisa ada kemungkinan faktor lain yang menjadi penyebab dari peristiwa persekusi dimaksud misalnya adanya persaingan bisnis, meskipun tentu pemicu dasar adalah penggunaan identitas suatu suku tanpa kehati-hatian.

“Jika ingin menggunakan identitas suku tertentu, perlu menghormati nilai-nilai yang melekat sebagai identitas. Sebab, identitas itu bagian dari kebanggaan suku. Jika tidak menghormati, suku bangsa tertentu bisa merasa terhina atau tidak dihargai,” tegasnya.

Ironisnya, lanjut Listiyono, media sosial memainkan peran besar dalam memberikan dampak kepada masyarakat terutama ketika informasi yang diterima dan dikonsumsi masyarakat tidak lengkap melalui media sosial. “Hal ini dapat menimbulkan kesalahpahaman dengan berpotensi menyulut reaksi berlebihan dan mendorong tindakan ‘persekusi’ balik secara verbal terhadap rumah masakan Padang,” tukasnya.

Wakil Dekan 1 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Dr. Listiyono Santoso, SS., MHum. (foto: dokumen Unair)

“Ini terjadi karena masyarakat belum memiliki pemahaman yang setara tentang bagaimana mengelola identitas kesukuan di ruang yang berbeda atau di luar daerahnya,” lanjut Listiyono menambahkan.

Karena itu, mantan Ketua Lakpesdam PWNU Jatim itu menegaskan bahwa solusi terbaik untuk permasalahan ini adalah dengan meningkatkan kesadaran multikultural di seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang menekankan pentingnya penghormatan terhadap nilai-nilai adat yang ada.

“Setiap warga negara Indonesia harus menyadari bahwa kita hidup dalam masyarakat yang beragam dan harus hidup berdampingan. Saat ini, setiap suku dalam suatu wilayah akan hidup berdampingan dengan suku lain. Oleh karena itu, sangat perlu sekali memiliki kesadaran penuh mengenai kondisi perbedaan ini,” pungkas pria yang juga merupakan Wakil Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga itu.

(pkip/rafel)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular