Jombang, – Momentum bersejarah bagi Nahdlatul Ulama (NU) kembali terjadi. Kali ini di provinsi paling timur Pulau Jawa yakni provinsi Jawa Timur, tanah kelahiran NU sendiri. Konferensi Wilayah XVIII NU Jawa Timur di Ponpes Tebuireng, Jombang, yang akan berlangsung hingga Minggu (2/8/2024) esok. Pembukaan resminya dilakukan dengan menekan tombol sirine oleh Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar dan Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, Jumat (2/8/2024) malam.
Menurut Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf atau yang akrab disapa Gus Yahya, NU bukan hanya sekedar Jam’iyah, namun sudah bisa disebut sebagai sebuah peradaban. Peradaban itu, lanjutnya berisi tatanan nilai, belief atau keyakinan, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan norma tatanan kehidupan.
Gus Yahya menekankan bahwa sekeras apapun orang “bertengkar” tentang NU, sesama NU tentang misalnya kebijakan PBNU yang tak disetujui, toh tidak akan meninggalkan rumahnya di NU, nanti pasti kembali keNUannya. “Jadi sebagai peradaban tak ada yang bisa menghindarkan dari perbedaan pendapat,” tegas Gus Yahya yang disambut tepuk tangan hadirin.
Gus Yahya mengatakan bahwa apapun yang terjadi selama ini di tubuh NU tak usah terlalu dikhawatirkan kesudahannya. “Memang NU itu sangat besar dan sangat rumit sehingga banyak hal yang tak sepenuhnya disetujui. Untuk hal ini ya kita jalan saja, tak usah didengarkan dan dibaca itu yang di medsos,” tegasnya sekali lagi.
Gus Yahya meyakini bahwa meskipun terjadi “caci maki”, “pertengkaran” atau beda pendapat apapun, maka semua pihak tak akan berani meninggalkan NU. “Bahkan orang yang sudah masuk organisasi lainpun, saat mati ingin ditahlili,” kata Gus Yahya dengan semangat. “Saya tidak merasa khawatir dan merasa kecil hati akan semua karut marut apa apa yang bisa kita lihat di medsos, paling juga nanti akhirnya akan kembali ke NU,” katanya lagi.
Sebaliknya, tegas Gus Yahya, tantangan sesungguhnya NU ke depan yang pasti adalah tantangan relevansinya dalam dunia yang sangat cepat berubah di dunia digital ini. Lingkungan besar sangat berbeda dulu dengan sekarang. Jadi harus ada penyesuaian yang luar biasa. Tantangan relevansi itu, lanjutnya, juga berlaku bagi semua organisasi termasuk negara dan organisasi apapun di era sekarang ini.
“NU itu di situ tantangannya, masih dibutuhkan nggak, masih relevan nggak,” tukasnya retoris.
“NU ke depan perlu adaptasi luar biasa dan kerja keras untuk bertahan, survival. Adaptasi itu tidak mudah membutuhkan ikhtiar ikhtiar yang sungguh sungguh,” imbuh ulama yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin, Leteh, Rembang, itu.
Karena itulah, menurut Gus Yahya, untuk menghadapi relevansi tersebut perlu adanya transformasi organisasi, konsolidasi tata kelola, konsolidasi agenda organisasi, konsolidasi sumberdaya organisasi. “Untuk menghadapi hal tersebut, PBNU telah melaksanakan 4 Konferensi Besar dan Munas Alim Ulama selama 3 tahun kepengurusan PB NU sejak dikukuhkan,” tandasnya. Dalam konferensi konferensi besar tersebut, lanjut Gus Yahya, PBNU juga telah menyusun komponen regulasi, mengembangkan pengunaan digital platform khusus persuratan maupun ekosistem lain untuk menguatkan kelembagaan di Nahdalatul Ulama.
“Untuk grand design NU ke depan, saya menugaskan Lakspesdam NU untuk membuat perencanaan, membuat program kerja dan semacam grand desain untuk mencapai cita-cita dan menjamin relevansi NU di masa yang akan datang. Ini seperti Bappenas , namun dikemas dan disusun ala Nahdlatul Ulama. Dengan begitu akan terjadi sistematisasi program kerja yang akan menjadi acuan dari PB NU, Wilayah sampai tingkat Ranting,” ujar Gus Yahya.
Kakak kandung Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas tersebut mengatakan bahwa dalam membangun digital platform NU yang disebut “Semesta Digital Data dan Layanan NU” itu, telah dibentuk tim terpadu yang dipresentasikan di Rapat Pleno agar menjadi pedoman tingkat PB, pedoman sistem administrasi tingkat Wilayah maupun Cabang-Cabang di provinsi ini. “Digital Platform itu bisa diakses oleh pengurus melalui gadget atau mobile phone masing-masing,” kata Gus Yahya.
Di hadapan sekitar 1.470 kyai, Bu Nyai, pimpinan pondok pesantren, PW NU dan PC NU se provinsi Jawa Timur dan beberapa tokoh, pimpinan Badan Otonom dan perwakilan negara sahabat, pimpinan universitas NU dan bahkan pimpinan perbankan dan rumah sakit NU, jebolan FISIP UGM itu menjelaskan secara detail mengenai tantangan untuk membangun sumber pembiayaan bagi organisasi.
Sementara itu, dalam Konferwil PWNU XVIII dengan tema “Merajut Ukhuwah dan Mengokohkan Jam’iyah Dalam Pendampingan Umat”, penjabat Ketua PWNU Jawa Timur KH Abdul Hakim Mahfudhz menegaskan bahwa selama 6 bulan PWNU telah dan akan terus melakukan tata kelola organisasi dan menghimpun kekuatan dan sumber daya potensial yang besar dengan tegak lurus dengan PBNU di pusat.
“PWNU Jawa Timur akan terus dan harus tegak lurus kepada PBNU!” tegas Pengasuh Ponpes Tebuireng yang sukses mengelola perusahaan besar tersebut.
Menurut Kyai Kikin -sapaan akrabnya, laksana kereta api, dalam tubuh NU hanya ada 4 orang masinis yang mengendalikan jamiyah yaitu Rois Aam, Khatib Rais Aam, Ketua Umum PBNU dan Sekretaris Jenderal. “Yang lainnya harus taat dan ikut! Tak boleh belok-belok semaunya sendiri di tengah jalan” pesannya.
Menurutnya, PBNU juga memiliki strategi 3 matra yang kompleks dan luas. Akan dibuat sistem tata kelola yang lebih baik, penguatan sumber daya termasuk sumber keuangan dan SDM. Ke depannya, format-format tersebut membutuhkan strategi eksekusi yang rumit dan kompleks serta membutuhkan kerja keras yang sistemik dan butuh banyak rekadaya yang sungguh sungguh.
Untuk pengkaderan NU tingkat tinggi, lanjutnya, ada sekolah kader AKKN NU dengan syarat yang ketat. Bahasa Arab dan Bahasa Inggris yang kuat dimana minimal TOEFLnya 650. NU hanya akan melatih 30 orang untuk angkatan pertama dan mempersilakan secara terbuka kepada seluruh Nahdliyyin yang memenuhi persyaratan menjadi bagian pelatihan tingkat tinggi tersebut.
“Terakhir, mari kita doakan Nahdlatul Ulama tetap relevan menjadi peradaban baru yang bisa menyesuaikan dengan kondisi serba teknologi dalam kehidupan,” pungkasnya. (***)
(laporan ini merupakan catatan khusus dari M. Mas’ud Said, Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Provinsi Jawa Timur/ISNU Jatim)