Wednesday, December 10, 2025
spot_img
HomeEkonomikaKTR atau “Mati Pelan-Pelan”? Pedagang Pasar Tradisional Tolak Larangan Jual Rokok

KTR atau “Mati Pelan-Pelan”? Pedagang Pasar Tradisional Tolak Larangan Jual Rokok

Diskusi publik bertajuk Mengukur Dampak Peraturan Daerah KTR terhadap Pasar Tradisional yang digelar Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) di Hotel Alia Cikini, Jakarta, Selasa (9/12/2025). (foto: Ahmad Toha A)

JAKARTA, CAKRAWARTA.com – Gelombang penolakan terhadap rencana pelarangan penjualan rokok di pasar tradisional kian menguat. Para pedagang menilai kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) berpotensi berubah menjadi “hukuman mati pelan-pelan” bagi ekonomi rakyat kecil, tanpa jaminan dampak signifikan terhadap kesehatan publik.

Penolakan itu mengemuka dalam diskusi publik bertajuk Mengukur Dampak Peraturan Daerah KTR terhadap Pasar Tradisional yang digelar Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) di Hotel Alia Cikini, Jakarta, pada Selasa (9/12/2025).

Hadir sebagai pembicara Guru Besar Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah, anggota DPRD DKI Jakarta Dwi Rio Sambodo, serta peneliti LP3ES Zaenal Muttaqin, bersama perwakilan Dinas PPKUKM DKI Jakarta dan para pedagang pasar.

Ketua DPW APPSI DKI Jakarta, Ngadiran, menyampaikan kondisi pasar tradisional yang menurutnya tengah berada dalam tekanan berat. Selain sepinya pembeli, pedagang juga dibayangi persoalan retribusi dan kebijakan yang dinilai tidak berpihak.

“Pasar sudah sepi, beban retribusi masih menumpuk. Kalau ditambah larangan jualan rokok, ini sama saja dengan mati pelan-pelan,” kata Ngadiran.

Ia mengkritik konsep KTR yang dinilainya telah bergeser menjadi larangan total. Menurutnya, aturan tersebut semestinya mengatur perilaku merokok, bukan mematikan sumber penghidupan pedagang kecil.

“Jangan sampai kebijakan kesehatan justru menjadi alat memukul UMKM di pasar tradisional,” tegasnya.

Ngadiran menegaskan APPSI tidak pernah meminta penghapusan tunggakan retribusi, melainkan keringanan bagi pedagang yang terdampak pandemi dan perlambatan ekonomi.

Guru Besar Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai perlu ada kehati-hatian dalam menafsirkan regulasi KTR. Ia menyebut dalam regulasi awal, pasar tradisional tidak secara tegas masuk dalam kategori kawasan yang harus dilarang penjualan produk tembakau.

“Konsep awalnya adalah pengendalian, bukan pelarangan mutlak. Kalau dipaksakan, justru berpotensi melahirkan aturan yang tidak dipatuhi,” ujarnya.

Trubus menegaskan rokok merupakan produk legal yang telah ditegaskan melalui putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga negara seharusnya bersikap proporsional.

Ia membagikan hasil pengamatannya di sejumlah pasar tradisional di Jakarta. Menurutnya, margin keuntungan pedagang rokok sangat kecil.

“Mereka cuma untung satu-dua batang per bungkus. Itu bukan bisnis besar, itu soal bertahan hidup,” katanya.

Anggota DPRD DKI Jakarta Dwi Rio Sambodo menyatakan substansi Rancangan Peraturan Daerah KTR masih terbuka untuk masukan publik.

“Secara politik hukum, aturannya belum final. Masih ada ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan keberatan,” ujarnya.

Ia menyebut semangat utama raperda adalah mencari titik temu antara perlindungan kesehatan masyarakat dan keberlangsungan ekonomi rakyat.

“Jangan sampai regulasi ini memukul yang kecil tapi tidak menyentuh akar masalah,” kata Dwi Rio.

Ia juga menyinggung soal radius 200 meter KTR dari sekolah yang dinilai sulit diterapkan di wilayah padat karena realitas sosial yang kompleks.

Peneliti LP3ES Zaenal Muttaqin mengingatkan dalam kebijakan publik selalu ada pertarungan kepentingan antara kesehatan dan ekonomi.

“Problemnya bukan memilih salah satu, tapi bagaimana mengatur agar dampak ekonominya tidak jatuh sepenuhnya ke pedagang kecil,” ujarnya.

Zaenal mengungkap data penerimaan negara dari cukai rokok yang mencapai lebih dari Rp 200 triliun per tahun, sementara dampak sosial-ekonominya tidak pernah ditanggung secara adil.

Menurutnya, simulasi kebijakan menunjukkan KTR berpotensi menekan pendapatan pedagang, tetapi tidak otomatis mengubah perilaku merokok masyarakat.

“Kalau tujuannya mengubah perilaku, kuncinya ada pada edukasi dan regulasi yang adil, bukan sekadar pelarangan,” katanya.(*)

Kontributor: Ahmad Toha A

Editor: Abdel Rafi 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular