Wednesday, October 8, 2025
spot_img
HomePendidikanDunia KampusDari K-pop hingga Sunflower Movement, Mahasiswa UNAIR Angkat Isu Politik Lewat Festival...

Dari K-pop hingga Sunflower Movement, Mahasiswa UNAIR Angkat Isu Politik Lewat Festival Budaya Asia Timur

Mahasiswa HI FISIP UNAIR berfoto bersama seusai mengadakan Festival Asia Timur di Taman FISIP UNAIR, Surabaya, Sabtu (4/10/2025). (foto: Unair for Cakrawarta)

SURABAYA, CAKRAWARTA.com – Bukan sekadar pesta budaya. Itulah kesan kuat dari Festival Budaya Asia Timur 2025 yang digelar mahasiswa Program Studi Ilmu Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Sabtu (4/10/2025).

Bertempat di Taman FISIP, suasana kampus seketika berubah menjadi miniatur Asia Timur. Sepuluh booth berdiri berjejer, menampilkan beragam sisi budaya dari Korea Selatan, Korea Utara, Jepang, Cina, hingga Taiwan. Namun, di balik gemerlap seni dan makanan khas, ada pesan sosial dan politik yang ingin disampaikan para mahasiswa.

“Tahun ini kami ingin menunjukkan bahwa seni dan budaya tidak hanya untuk hiburan, tapi juga bisa menyuarakan isu sosial dan politik,” ujar Citra Hennida, dosen pengampu mata kuliah HI di Asia Timur yang juga menjadi penanggung jawab kegiatan ini, dalam keterangannya, Senin (6/10/2025).

Festival ini merupakan penyelenggaraan ketiga setelah sebelumnya digelar pada 2012 dan 2015. Setiap kelompok mahasiswa menampilkan tema yang berbeda, mulai dari martial art, pop art, propaganda art, hingga social movement,  seluruhnya dikemas kreatif agar pengunjung bisa belajar sekaligus menikmati.

Sejak pagi, pengunjung memenuhi area Taman FISIP. Musik K-pop terdengar bersahutan dengan dentuman gendang barongsai, sementara di sisi lain mahasiswa Jepang menampilkan karate demonstration dan storytelling khas negeri sakura.

Salah satu kelompok mengangkat tema Imlek, festival tahun baru Cina yang sarat simbol dan filosofi. Shafrina, salah satu anggota kelompok, menjelaskan kepada pengunjung makna di balik berbagai hidangan yang dipamerkan di booth mereka.

“Mie panjang harus dimakan tanpa putus supaya umur kita panjang. Jeruk melambangkan keemasan, manisan simbol keberuntungan, telur merah melambangkan kelahiran baru, dan lapis legit menggambarkan rezeki yang berlapis,” jelasnya.

Namun tak semua booth menampilkan hal-hal yang ringan. Ada pula yang menghadirkan Sunflower Movement, gerakan protes mahasiswa Taiwan yang menolak kebijakan perdagangan bebas dengan Cina.

“Gerakan ini muncul karena masyarakat khawatir Taiwan jadi terlalu bergantung pada Cina secara ekonomi. Bunga matahari di sini melambangkan harapan agar demokrasi tetap hidup,” ujar Adeline, perwakilan kelompok tersebut.

Booth mereka dihiasi bunga matahari, poster-poster protes, dan infografis edukatif, mencuri perhatian banyak pengunjung karena tampil berani dan penuh pesan politik.

Citra menuturkan, festival kali ini bukan sekadar tugas akhir mata kuliah, melainkan ruang kreatif yang menggabungkan analisis akademik dan ekspresi seni. Ia juga berharap karya-karya mahasiswa nantinya bisa didaftarkan ke Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai bentuk apresiasi dan pengakuan atas orisinalitas ide.

“Kami ingin festival ini terus tumbuh. Ke depan, bisa ada workshop budaya dan kolaborasi lintas kampus agar lebih banyak mahasiswa mengenal diplomasi lewat kebudayaan,” ungkapnya.

Festival Budaya Asia Timur 2025 menjadi bukti bahwa mahasiswa hubungan internasional bukan hanya belajar diplomasi lewat teori di ruang kelas. Di taman kampus yang ramai dan penuh warna, mereka menjadikan seni dan budaya sebagai bahasa baru diplomasi, bahasa yang bisa menembus batas politik antarnegara. (*)

Editor: Abdel Rafi 

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -spot_img

Berita Terbaru

Most Popular