
Gelombang protes terkait isu tunjangan DPR, yang kemudian diwarnai tragedi meninggalnya seorang pengemudi ojek online, menyisakan duka sekaligus pertanyaan besar. Di tengah suasana berkabung, muncul narasi lain yang justru menyederhanakan keresahan rakyat, bahwa demonstrasi hanyalah hasil “operasi bayangan”. Salah satu yang mendorong framing ini adalah unggahan akun @adebhakti di Threads.
Dalam narasi tersebut, aksi publik digambarkan sebagai produk rekayasa sistematis, dengan lima fase mulai dari planting isu, agitasi, mobilisasi, hingga provokasi lapangan. Pesannya jelas yaitu rakyat hanyalah pion dalam permainan aktor tersembunyi.
Namun, alih-alih memberi pencerahan, framing semacam ini justru merugikan. Ia menafikan keresahan riil, menutup ruang kritik yang sah, serta memindahkan fokus dari problem utama, yakni bagaimana negara merespons aspirasi publik dan menjamin keadilan. Padahal Presiden Prabowo Subianto sendiri telah memberi sikap yang lebih jernih yaitu empati pada korban, komitmen hukum, keterbukaan terhadap aspirasi, sekaligus kewaspadaan terhadap provokasi.
Disinformasi, Operasi Informasi, dan Bahaya Reduksi Publik
Dalam literatur intelijen, dikenal istilah information operation atau operasi informasi. Polanya mencakup planting isu, agitasi, propaganda, hingga false flag operation. Ada juga psychological warfare yang menggunakan simbol dan narasi emosional untuk memengaruhi opini publik. Namun, teori-teori itu tidak boleh digunakan secara serampangan untuk melabeli semua dinamika sosial.
Geneva Academy menekankan perbedaan antara misinformasi, yaitu konten salah yang menyebar tanpa niat jahat, dan disinformasi, yaitu konten menyesatkan yang sengaja diproduksi dengan motif tertentu. Dalam banyak kasus, keresahan riil justru menjadi bahan bakar utama penyebaran informasi. Dengan kata lain, protes bisa berakar pada keluhan nyata, bukan sekadar produk rekayasa.
Contoh paling jelas datang dari MacronLeaks pada Pemilu Prancis 2017. Ribuan dokumen, yang sebagian hasil rekayasa, dibocorkan secara masif lewat media sosial. Analisis independen membuktikan bahwa kampanye ini melibatkan ribuan akun bot yang bekerja secara terkoordinasi untuk menyerang kandidat Emmanuel Macron. Polanya persis textbook information operation yaitu disinformasi diproduksi, diperbanyak, dan dikemas seolah-olah organik.
Namun bedanya dengan narasi “operasi bayangan” ala @adebhakti, kasus MacronLeaks dibuktikan secara empiris lewat analisis digital forensik, bukan sekadar asumsi diagram naratif. Inilah garis pemisah penting bahwa operasi informasi memang nyata, tetapi harus dibuktikan dengan data, bukan dengan insinuasi yang menafikan keresahan publik.
Kasus internasional lain juga memberi pelajaran. Arab Spring (2011) kerap dituduh ditunggangi kekuatan asing. Tetapi faktor internal seperti kemiskinan, korupsi, otoritarianisme, jelas menjadi pemicu utama. Protes Hong Kong (2019) pun dicap Beijing sebagai foreign-backed operation. Namun riset independen menunjukkan keresahan generasi muda dan tuntutan demokrasi lokal lebih dominan. Sementara Capitol Hill Riot di Amerika Serikat (2021) menunjukkan bagaimana disinformasi soal hasil pemilu menyulut massa, bukan oleh intelijen asing, melainkan narasi elite domestik yang menyebar masif.
Pelajaran dari semua kasus ini jelas, bahwa narasi “operasi bayangan” sering dipakai untuk mendeligitimasi protes. Namun realitas lapangan jauh lebih kompleks. Aspirasi publik, dinamika domestik, dan faktor sosial-ekonomi sering kali lebih menentukan ketimbang skema rekayasa murni.
Karena itu, klaim bahwa aksi rakyat Indonesia beberapa hari terakhir hanyalah produk operasi bayangan seperti yang digambarkan akun @adebhakti dan sejumlah akun lainnya, jelas problematik. Tanpa bukti forensik digital, narasi itu lebih dekat pada bentuk disinformasi balik. Mengaburkan substansi aspirasi, menuduhkan konspirasi, dan melemahkan posisi rakyat sebagai subjek demokrasi.
Sikap Presiden: Empati, Keterbukaan, dan Waspada
Berbeda dengan narasi yang mereduksi rakyat, Presiden Prabowo Subianto menampilkan kepemimpinan yang tegas sekaligus manusiawi. Ia mengaku prihatin dan sangat sedih atas terjadinya peristiwa ini.
“Saya terkejut dan kecewa dengan tindakan petugas yang berlebihan. Pemerintah akan mengusut tuntas secara transparan, menindak sekeras-kerasnya sesuai hukum yang berlaku jika ditemukan penyimpangan prosedur,” ucap Presiden dalam pernyataannya menyikapi tragedi tewasnya Affan Kurniawan.
Pernyataan ini mengandung tiga pesan penting, yaitu empati mendalam, pengakuan atas kesalahan aparat, dan komitmen pada penegakan hukum. Presiden tidak menutupi atau mengecilkan masalah, justru menegaskan tanggung jawab negara untuk bertindak transparan.
Tak berhenti di situ, Prabowo juga menegaskan bahwa aspirasi publik tetap sah. Ia juga mengimbau agar dalam situasi seperti ini masyarakat tetap tenang dan percaya dengan pemerintah yang dipimpinnya.
“Pemerintah yang saya pimpin akan berbuat yang terbaik untuk rakyat kita. Semua keluhan-keluhan masyarakat akan kami catat dan akan kami tindak lanjuti… Aspirasi yang sah silakan untuk disampaikan. Kita akan perbaiki semua yang perlu diperbaiki,” ungkapnya.
Di sini terlihat arah kepemimpinan yang jelas bahwa negara tidak anti kritik. Justru aspirasi rakyat akan didengar, dicatat, dan ditindaklanjuti. Presiden menempatkan rakyat sebagai subjek, bukan objek manipulasi.
Namun, Presiden juga realistis. Ia memperingatkan agar seluruh bangsa Indonesia selalu waspada terhadap unsur-unsur yang selalu ingin huru-hara dan chaos.
“Saya sampaikan kepada seluruh rakyat bahwa hal tersebut tidak menguntungkan rakyat, tidak menguntungkan masyarakat, tidak menguntungkan bangsa kita. Untuk itu kita harus waspada, kita harus tenang dan kita tidak boleh mengizinkan kelompok-kelompok yang ingin membuat huru-hara dan kerusuhan,” tegas Prabowo.
Pesan ini cukup menjaga keseimbangan. Di satu sisi ada keterbukaan terhadap aspirasi publik, namun di sisi lain ada juga kewaspadaan terhadap provokasi dan penunggangan isu. Garis Presiden ini tampak jauh lebih sehat dibanding narasi “operasi bayangan” ala @adebhakti, yang berusaha membungkus semua protes sebagai rekayasa.
Menolak Narasi Operasi Bayangan, Menguatkan Garis Presiden
Narasi “operasi bayangan” yang digaungkan akun @adebhakti dan sejumlah akun lain, jelas merugikan masyarakat dan presiden sekaligus. Ia menutup ruang kritik, mendeligitimasi keresahan rakyat, dan mengalihkan perhatian dari substansi masalah. Lebih jauh, ia mengikis kepercayaan publik dengan menyiratkan bahwa rakyat hanyalah pion.
Sebaliknya, Presiden Prabowo menegaskan sikap yang lebih bijak. Menghadapi tragedi dengan empati, menjamin penegakan hukum yang transparan, mendengar keluhan rakyat, dan tetap waspada pada pihak yang ingin menunggangi keresahan untuk menciptakan kerusuhan.
Kepemimpinan semacam ini menunjukkan keseimbangan antara demokrasi dan stabilitas, keterbukaan dan kewaspadaan, keberanian bertindak dan kepekaan mendengar.
Maka, ketimbang terjebak pada paranoia narasi “operasi bayangan,” publik sebaiknya mendukung sikap Presiden. Demokrasi tidak boleh direduksi menjadi permainan aktor gelap. Rakyat bukan pion. Mereka adalah pemegang kedaulatan. Dan pemerintah, sebagaimana ditegaskan Presiden Prabowo, akan selalu hadir untuk mendengar, memperbaiki, dan berbuat yang terbaik demi bangsa dan negara.
KHAIRUL FAHMI
Pemerhati masalah Hankam dan salah satu pendiri Institute for Security and Strategic Studies (ISESS).



