
Polemik pengibaran bendera One Piece menjelang Hari Kemerdekaan memantik pertanyaan mendasar yakni sejauh mana kita memahami, apalagi menjaga, makna simbolik dari Bendera Merah Putih? Bagi organisasi seperti Laskar Merah Putih, ini bukan sekadar urusan fandom. Mereka menilai pengibaran simbol bajak laut fiksi di ruang publik berdekatan dengan Merah Putih sebagai tindakan yang mencederai kehormatan negara. Klaim itu bukan tanpa dasar. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 secara tegas mengatur bahwa Bendera Negara tidak boleh diperlakukan dengan cara yang merendahkan martabatnya (Pasal 24).
Namun generasi muda, khususnya yang tumbuh bersama budaya pop global, melihat ini secara berbeda. Bagi mereka, bendera bajak laut kru Topi Jerami bukan cuma simbol hiburan, tapi juga lambang solidaritas, anti-otoritarianisme, dan perlawanan terhadap ketidakadilan yang menjadi tema utama dalam kisah One Piece. Dalam kerangka cultural studies Stuart Hall, budaya pop bukan hanya alat dominasi, tapi juga medan perlawanan, di mana simbol-simbol fiksi bisa dimaknai ulang menjadi kritik sosial.
Meski begitu, pengibaran simbol fiksi bersama Merah Putih menimbulkan ambiguitas. Sebab makna simbolik tidak tunggal yakni ia dibentuk lewat interaksi sosial. Dalam teori simbolik interaksionisme-nya George H. Mead, simbol memiliki efek untuk membentuk kesadaran kolektif. Maka, saat bendera bajak laut dikibarkan bersamaan dengan Merah Putih, sebagian masyarakat bisa merasa simbol negara sedang dipersejajarkan, atau bahkan diredakan nilainya.
Kita tentu menjunjung tinggi kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945, namun perlu diingat bahwa hak tersebut dibatasi oleh Pasal 28J, yakni sepanjang tidak mengganggu ketertiban umum dan nilai-nilai moral. Maka yang dibutuhkan bukan sekadar represi simbolik, melainkan literasi simbolik. Edukasi publik tentang pentingnya menghormati simbol negara harus berjalan beriringan dengan ruang ekspresi budaya pop yang sehat.
Kita tidak harus memilih antara nasionalisme dan budaya pop. Keduanya bisa berdialog, selama ada kejelasan batas, rasa hormat, dan kesadaran konteks. Sebab persoalan ini bukan soal bendera siapa yang lebih keren, tapi apakah kita masih tahu bagaimana seharusnya memperlakukan simbol bangsa.
Jika Merah Putih suatu hari nanti dianggap setara dengan bendera fiksi oleh warganya sendiri, barangkali yang perlu kita renungkan bukan benderanya, melainkan nasionalismenya yang sedang compang-camping.
AGUNG NUGROHO
Ketua Umum Relawan Kesehatan (REKAN) Indonesia



