Saturday, April 27, 2024
HomeHukumRUU KUHP Dinilai Ancam Kebebasan Pers

RUU KUHP Dinilai Ancam Kebebasan Pers

ilustrasi. (foto: isitimewa)
ilustrasi. (foto: isitimewa)

JAKARTA – Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang dibahas oleh Panitia Kerja RUU KUHP Komisi III DPR RI telah berlangsung setidaknya lebih dari 2 tahun. Sebagian besar Buku I dan II telah selesai dibahas pada Oktober 2017 ini.

Tim pemerintah telah menelaah kembali pasal-pasal RUU KUHP melalui proofreader yang terdiri dari beberapa akademisi ahli hukum pidana dan hasil proofreadnya telah diserahkan kepada Timus (Tim Perumus) dan Timsin (Tim Sinkronisasi) pilihan anggota Panja RUU KUHP Komisi III pada Senin (9/10/2017) kemarin.

“Dari pasal-pasal yang sudah selesai dibahas, terdapat di dalamnya pasal mengenai Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan atau contempt of court yaitu Pasal 328 dan 329 RUU KUHP yang kami anggap berpotensi mengancam kebebasan pers dan berekspresi yang sudah dijamin oleh konstitusi Indonesia,” ujar Nawawi Bahrudin, Direktur Eksekutif LBH Pers.

Lebih lanjut, Iman D Nugroho, Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menjelaskan bahwa pemerintah telah melakukan inkonsistensi dalam RUU KUHP tersebut. Dimana sebelumnya, Pemerintah menyatakan bahwa Pasal 328 RUU KUHP diadopsi dari Pasal 217 KUHP. Namun, di saat yang sama, pemerintah justru tidak konsisten karena kemudian menyebutkan bahwa Pasal 328 tidak hanya ditujukan untuk kondisi dalam ruang sidang sebagaimana pengaturan Pasal 217, melainkan juga berlaku dalam seluruh proses peradilan dari penyidikan sampai dengan pengadilan.

“Pemerintah dan DPR tidak menyadari atau tidak sama sekali membahas mengenai perbedaan ancaman pidana yang sangat jauh, yaitu tiga minggu dalam Pasal 217 menjadi 5 tahun dalam Pasal 328. Ini jelas over kriminalisasi,” ujar Iman D. Nugroho.

Menurut Iman, pasal menyatakan 329 RUU KUHP kategori IV bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers khususnya pasal 4.

Dalam Pasal 329 huruf c, diatur mengenai penghinaan terhadap hakim dan integritas hakim. AJI menilai, frasa integritas hakim kemungkinan besar akan menimbulkan multitafsir dan menjadi “pasal karet” sehingga berpotensi menyasar siapa saja yang mencoba mengkritisi hakim. Pada pasal yang sama huruf d dinilai sangat bersinggungan dengan kebebasan berpendapat, hak atas informasi dan kemerdekaan pers.

Pasal 329 itu dinilai seakan-akan hakim yang memihak ke salah satu pihak karena dipengaruhi oleh masyarakat atau media atau menyalahkan masyarakat yang mencoba kritis. Padahal jauh lebih dari itu sejatinya, hakim dan pengadilan justru harus mampu menerapkan prinsip independensi yang tidak bisa dipengaruhi oleh hal apapun.

“Kami melihat pengaturan secara khusus mengenai Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan dalam RUU KUHP seharusnya tidak diperlukan. Hal ini disebabkan karena dalam sistem peradilan yang dianut di Indonesia, hakim memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara. Sehingga apabila terdapat ketentuan mengenai tindak pidana terhadap proses peradilan dalam RUU KUHP, dikhawatirkan akan semakin memperkuat kedudukan hakim dalam proses peradilan. Akibatnya, tidak ada satu lembaga atau kekuasaan pun yang dapat melakukan kontrol terhadap kinerja para hakim dalam menjalankan tugasnya,” imbuhnya.

Pers Jadi Sasaran “Empuk”

Sementara itu, Ahmad Nurhhasim selaku Ketua AJI Jakarta menilai bahwa kondisi tersebut bisa sangat berbahaya karena pasal-pasal yang ada dalam contempt of court sangat berpotensi melanggar kemerdekaan pers dan hak asasi manusia.

Ia mencontohkan, misalnya saja jurnalis dilarang untuk mempublikasikan segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.

“Tidak ada ukuran yang jelas dan indikator bagaimana hakim bisa terpengaruhi dengan publikasi yang dimaksud, pun begitu sesungguhnya sudah ada pranata Dewan Pers yang bisa mengadili masalah pers sehingga tidak perlu ada hukum pidana,” kata Ahmad Nurhasim.

Karena itu ia dan rekannya di LBH Pers dan FSPMI menilai adanya ancaman demokrasi, sehingga sangat prihatin dan menyerukan kepada masyarakat khususnya kepada insan pers untuk memantau aktif dan memberikan masukan kepada Timus dan Timsin atau meminta DPR RI dan pemerintah mempertimbangkan ulang ketentuan-ketantuan yang berpotensi melanggar hak asasi manusia khususnya hak berekspresi dan kemerdekaan pers.

(bm/bti)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular