Saturday, April 27, 2024
HomeEkonomikaRupiah Terus Melemah, Sri Mulyani Dinilai Gagal Sebagai Menteri Keuangan

Rupiah Terus Melemah, Sri Mulyani Dinilai Gagal Sebagai Menteri Keuangan

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati. (foto: istimewa)

 

JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) memproyeksikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan melemah pada tahun 2018 sebesar Rp. 13.400 dan hingga kisaran Rp 13.700-14.000 di 2019 pada Juni lalu di hadapan DPR RI.

Ironisnya, belum habis tahun 2018, rupiah sudah melampaui kisaran Rp. 14.000,- sampai dengan Rp. 14.400,- Tetapi SMI justru menyatakan negara untung sebanyak 8 triliun rupiah.

Publik pun mempertanyakan pernyataan SMI itu. Salah satunya adalah Aliansi Lembaga Analisis Kebijakan dan Anggaran (ALASKA)  yang menilai bahwasanya PLN justru alami kerugian dan harga sembako bahkan naik melampaui batas seperti pada komoditad telur.

Kordinator ALASKA Adri Zulpianto menilai bahwa pernyataan “negaea untung” tersebut seperti menghilangkan fakta bahwa negara berada pada kerugian yang nyata tapi SMI tak berani berterus terang.

“Kecerdasan SMI yang menteri keuangan terbaik dunia itu justru jauh dari fakta bahwa sebenarnya negara dalam keadaan rugi. Rupiah terus melemah sehingga berdampak pada penambahan pendapatan negara,” ujar Adri Zulpianto dalam keterangan persnya, Sabtu (14/7/2019).

Adri menambahkan, akibat pelemahan rupiah Bank Indonesia (BI) pun turut turun tangan mendorong agar rupiah kembali menguat dengan menggelontorkan uang sebesar Rp 18 triliun untuk mengintervensi pasar sekunder. Nilai intervensi bahkan lebih besar pada pasar primer yang bukan dalam konteks intervensi BI. Pada pasar primer dana yang digelontorkan pemerintah mencapai Rp 42 triliun.

“Cadangan devisa negara sejak tiga bulan terakhir mengalami penurunan sebanyak USD 5,1 Miliar dari bulan April sebesar USD 124,9 Miliar dan pada akhir Juni menjadi sebesar USD 119,8 Miliar,” imbuhnya.

Dampak terparah dari pelemahan rupiah ini menurut Adri ada pada PLN dimana perusahaan plat merah tersebut mengalami kerugian sebesar Rp 6 triliun akibat biaya operasional yang tembus hingga Rp 10 triliun.

“Hal ini terjadi karena setiap pelemahan rupiah sebesar Rp 100, maka biaya produksi PLN meningkat sebesar Rp 1,3 triliun,” papar Adri.

Dalam catatan ALASKA, kondisi ini membuat laba yang didapatkan oleh PLN akan berkurang, sehingga mereka khawatir dengan berkurangnya laba PLN, maka tarif listrik bagi rakyat pun akan kembali dinaikkan.

“Kami khawatir dengan kondisi seperti ini maka tarif listrik akan kembali naik seperti yang terjadi pada tahun sebelumnya ketika laba PLN merosot 71,67% dari sebesar Rp 15.6 Triliun menjadi hanya Rp 4,42 triliun, tarif listrik naik,” kata Adri.

Dari kemerosotan laba PLN, ALASKA menilai bahwa pelemahan rupiah pun berimbas pada biaya untuk bertahan hidup yang terus meningkat. Kenaikan harga telur pun sudah mengawali efek lemahnya rupiah yang kemudian akan kuat berimbas pada kenaikan harga di sektor industri makanan. Kemudian menyusul pada kenaikan sektor manufaktur dan ritel dalam negeri yang mengandalkan bahan produksinya dari sektor impor.

“SMI selaku Menteri Keuangan telah gagal menjaga perekonomian dalam negeri. SMI terlalu fokus berhutang dan melakukan impor ketimbang mengembangkan ekonomi dalam negeri dengan menggencarkan ekspor barang jadi dan mengembangkan sumber daya alam dalam negeri dengan harga yang tidak diberi murah kepada negara lain,” tegasnya.

Selain itu, ALASKA menilai bahwa kegagalan SMI selaku Menteri Keuangan selama ini ditengarai karena terlalu fokus membuat kebijakan ekonomi dalam negeri lebih menguntungkan bagi negara lain daripada menguntungkan sektor ekonomi dalam negeri.

Untuk diketahui, ALASKA merupakan aliansi LSM yang terdiri dari Lembaga Kajian dan Analisis Keterbukaan Informasi Publik (KAKI PUBLIK) dan Center for Budget Analysis (CBA).

(bm/bti)

RELATED ARTICLES

Most Popular