Menulis tema ini, karena terkejut ketika selama 2,2 jam, saya ditelepon oleh seorang anak petani garam yang beralih menjadi tukang batu dan tukang kayu. Dari cerita panjang disertai penjelasannya, bahwa petani garam mengalami kesulitan saat ini. Porsi garam impor masuk hingga pasar-pasar tradisional di kecamatan dan desa di wilayah Nusa Tenggara Barat, tak terkecuali Sumbawa, Bima dan Dompu.
Hal kedua adalah indikasi atau dugaan penyelewengan proses tender Gudang Garam Labuhan Bontong, sebagai gudang garam nasional. Hingga hari ini belum diproses oleh Kejaksaan Kabupaten Sumbawa. Ini saya sampaikan karena hasil diskusi bersama petani garam sejak 1,5 tahun ini. Yang ketiga yakni soal upaya petani mengikuti modernisasi dengan segala keterbatasan modal sehingga kualitas garam Sumbawa tidak dilirik oleh investor.
Dari ketiga masalah diatas, tentu akan sulit kemandiri itu terwujud apabila leadership (pemerintah) tidak memiliki ikhtiar khusus untuk memperhatikannya.
Terus terang saja, Gudang Garam turun dari Kementerian yang menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK), kemudian ditransfer kepada daerah dan pemerintah Kabupaten Sumbawa yang melakukan tender hingga pengerjaan. Gudang Garam itu, tentang perjuangan kami aktivis nelayan dan petani garam, yang berkali-kali dialog dan demonstrasi agar ada kemandirian petani, maka dibangunlah Gudang Garam bertaraf nasional di wilayah Kabupaten Sumbawa. Tentu saja jika kemandirian itu bisa terwujud, maka tidak akan ada anak-anak petani garam yang putus sekolah.
Saya ingat buku berjudul “Jalan Panjang Menuju Swasembada Garam” yang ditulis oleh Gozan, dkk, dengan Penerbit Gramedia yang dirilis pertama kali Februari 2018, hingga akhirnya diskursus penyediaan garam beberapa tahun belakangan mengemuka. Sebab, produksi garam lokal belum mencukupi, khususnya konsumen bidang industri. Maka, pemerintah memutuskan untuk mengimpor. Di sisi lain, kondisi geografis Indonesia didominasi laut setidaknya menjadi nilai tambah bagi perekonomian, khususnya dalam sektor pergaraman.
Artinya, persoalan dan tantangan serta upaya mewujudkan kemandirian garam. Kuncinya melalui industrialisasi dengan cara “produksi massal” menggunakan teknologi untuk meningkatkan kadar atau mutu garam itu sendiri. Maka ini tentu perlu investor lokal dan nasional. Sementara infrastruktur tersedia.
Menurut Misri Giazan, dkk (2018:9) bahwa ada yang perlu diperhatikan. Garam bukan hanya penyedap rasa, melainkan penggerak perindustrian. Untuk menjalankan induatrialisasi, dibutuhkan garam sebagai bahan dasar. Selain itu, tingkat konsumen terbesar sektor industri (perminyakan, farmasi, tekstil, dan lain-lain) dibanding garam konsumsi sebagai penyedap rasa maupun bahan pengawet makanan (hlm 9).
Kadar kualitas garam konsumsi dan industri juga berbeda yang diukur dengan kadar Natrium Klorida (NaCl). Misalnya, untuk garam konsumsi dibutuhkan sekitar 80–95 persen NaCl. Sedangkan pada garam industri minimal 97 persen NaCl. Proses produksi di Indonesia masih menggunakan metode tradisional memanfaatkan panas matahari untuk proses kristalisasi.
Ketidaksanggupan sektor pergaraman lokal dalam mencukupi kebutuhan garam dalam negeri dan ketidakmampuan usaha pergaraman mengangkat kesejahteraan petani garam rakyat. Hal ini berkaitan dengan harga di tingkat petani terlalu rendah, produksi bersifat musiman. Kemudian, adanya kartel dalam distribusi garam dan pengendalian impor garam yang belum efektif.
Semua itu patut ditanggapi secara cermat. Misalnya dengan membuat pusat data sebagai acuan dalam mendorong industri menyerap garam. Dengan begitu, dapat diketahui dengan jelas jumlah garam yang diperlukan setiap tahun. Kebijakan tata niaga yang melindungi petani-petani garam serta menjamin suplai harga yang kompetitif.
Kemudian, peningkatan dan verifikasi mutu garam agar konsumen mengetahui mutu garam dalam negeri. Maka, guna menyukseskan swasembada garam diperlukan deregulasi perizinan, penyediaan infrastruktur dan memilih lahan di wilayah yang tepat, di antaranya NTB yang masih memiliki lahan luas serta mengkhususkannya untuk produksi sepanjang tahun. Selain itu, merevitalisasi industri Garam sebagai pusat pengembangan dalam memajukan usaha garam nasional dan penggunaan teknologi untuk diversifikasi produk.
Produksi garam merupakan salah satu isu yang harus menjadi perhatian pemerintah, terutama di Kabupaten Sumbawa saat ini. Namun kenyataannya untuk mencukupi kebutuhan garam, Indonesia masih harus melakukan impor garam.
Indonesia masih harus mengimpor garam dari negara tetangga, Australia. Data dari kementrian perindustrian menyebutkan bahwa pada tahun 2017, impor garam nasional mencapai 1,2 juta ton dan tahun 2018 sejumlah 2,3 juta ton.
Alasannya, rendahnya produksi garam nasional ini mempengaruhi proses produksi garam nasional yang sebagian besar masih menggunakan teknologi sederhana, yaitu pengeringan yang hanya bergantung pada sinar matahari. Permasalahan produksi garam nasional lainnya seperti kualitas garam yang dihasilkan dari produksi dalam negeri masih kalah bersaing dengan garam impor.
Di Kabupaten Sumbawa Besar, ada ratusan petani garam dari 23 Kelompok Usaha Garam Rakyat (KUGAR) dan penerima BLM kegiatan PUGAR di Kabupaten Sumbawa. Petani belum memaksimalkan kemandiriannya karena keterbatasan pemahaman, skill, dan keterampilan serta berkemampuan manajerial yang baik dalam upaya pengembangan industrialisasi garam rakyat yang dicanangkan pemerintah.
Begitu juga, adanya Program Pengembangan Garam Rakyat (PUGAR) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam rangka pengentasan kemiskinan yang menjadi salah satu masalah utama kalangan masyarakat pesisir khususnya petambak garam di Indonesia dan Kabupaten Sumbawa.
Namun, belum maksimal sebagai alat untuk meningkatkan giat pemberdayaan usaha garam rakyat baik konsumsi maupun industri, diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan petambak garam rakyat dan pelaku usaha dalam mewujudkan kemandirian petani garam.
RUSDIANTO SAMAWA
Direktur Eksekutif Global Base Review (GBR)