Friday, May 3, 2024
HomeGagasanTiga Skenario Konflik Israel-Iran

Tiga Skenario Konflik Israel-Iran

Timur Tengah kembali bergejolak. Meluncurnya 300 rudal kendali dan pesawat nir-awak (drone) dari Iran langsung ke Ibukota Israel Tel Aviv, menandakan eskalasi konflik yang berpotensi dapat meluas lebih lanjut. Iran mengklaim serangan yang berhasil menembus lima lapis pertahanan Israel tersebut merupakan balasan atas dibombardirnya kompleks Kedutaan Iran di Damaskus beberapa waktu lalu. Ketegangan mulai terasa ketika Israel telah mengklaim pihaknya menghubungi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya untuk mempersiapkan retaliasi berikutnya.
Iran mengklaim hak ekstra-teritorialnya diganggu-gugat akibat diserangnya wilayah diplomatiknya dan berdalih bahwa Pasal 51 Piagam PBB memungkinkan pembalasan dilakukan atas dasar serangan yang terjadi sebelumnya.

Kecaman demi kecaman berangsur muncul dengan penyesalan mengenai pecahnya konflik di antara kedua negara seperti dari Sekjen PBB dan negara-negara G-7. Sejumlah pemimpin negara juga menyatakan kecamannya pada eskalasi yang memanas di Timur Tengah.

Wacana Perang Dunia III

Sejumlah pakar mempertanyakan akan meruncingnya eskalasi konflik mengarah pada Perang Dunia III. Berbagai skenario dapat terjadi apabila Israel kembali membalas serangan Iran, mengingat dalam satu dekade terakhir tindakan Tel Aviv terhadap negara-negara Timur Tengah khususnya di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Perhatian besar pengambil kebijakan militer di Israel untuk menyingkirkan Palestina dari Timur Tengah menjadi motif besar bagi negara-negara yang simpatik dengan perjuangan baik kubu Fatah dan Hamas dalam meraih kemerdekaan Palestina dengan caranya masing-masing untuk terus menekan jajaran pemerintahan PM Benjamin Netanyahu.

Dalam siklus Kondratieff, suatu perang atau ketegangan dapat terjadi apabila terjadi eskalasi konflik berkelanjutan. Sebaliknya, bila telah mencapai titik zenit dan terjadi deeskalasi menuju penurunan kurva sampai pada titik nadir maka situasi berangsur damai. Sama halnya seperti berbagai perang yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia mulai dari Perang Dunia I sampai Perang Dunia II, di mana keduanya bermula dari sebuah krisis yang membuat negara-negara semakin tertekan dengan keadaan sehingga menjadikan perang sebagai solusi terakhir untuk menyelesaikan persoalan.

Pernyataan PM Rusia yang menyatakan akan berada di belakang Iran apabila AS ikut campur dalam persoalan, membuat kekuatan besar dunia terlibat dalam percaturan politik lebih lanjut di Timur Tengah. Terlebih, AS sendiri yang turut mencegat rudal dan pesawat nir-awak Iran dengan sistem persenjataan Patriot, Arrow, Iron Dome dan Iron Beam. Kehadiran Rusia tentu masih belum dapat dikatakan representasi dari pecahnya Perang Dunia III karena tensi secara geopolitik Timur Tengah belum merambat ke kawasan lain seperti di Laut Tiongkok Selatan yang masih bergejolak antara Tiongkok dengan Taiwan.

Skenario Jalannya Konflik

Konflik yang berlangsung di Iran-Israel berimplikasi pada krisis yang lebih luas di seluruh dunia, dan secara hati nurani memang tidak ada yang berharap perang terjadi karena dapat menimbulkan kerusakan yang masif. Namun terdapat tiga skenario besar dalam kaitannya dengan perkembangan situasi yang terjadi di antara Iran dengan Israel.

Pertama, Israel dapat diyakinkan oleh AS dan negara-negara barat untuk berhenti melakukan serangan balasan. Hal ini dapat dikatakan sebagai kemungkinan terbaik yang terjadi dan ketegangan hubungan dengan Iran dapat diatasi dengan pembicaraan Confidence Building Measures (CBM) di kawasan Timur Tengah. Dalam hal ini peran dari negara-negara besar dalam satu kawasan seperti Arab Saudi dan/atau Turki sangat dinanti untuk menjadi jembatan perdamaian antara kedua belah pihak. Nampaknya ini gagal, karena Israel melaporkan telah melakukan “serangan balasan” meskipun nampak sekedar formalitas untuk menunjukkan pride dirinya sebagai nation-state yang disinyalir salah satu terkuat di kawasan.

Kedua, skenario yang kemungkinan besar akan terjadi adalah situasi berlangsung dalam kondisi yang disebut sebagai hot peace. Situasi ini menjadi antitesis dari cold war, karena secara de facto negara-negara di Timur Tengah sebagian besar telah mengakui keberadaan Israel sebagai negara berdaulat, mulai melupakan kenangan buruk sebelumnya bertemu di Perang Yom Kippur dan Perang Arab-Israel. Tentu dengan pengecualian Iran yang masih menaruh kewaspadaan kepada Israel.

Ketiga, skenario ketika Israel memberikan balasan dan memulai konflik meningkat pada babak selanjutnya. Apabila AS berhasil mengajak serta negara-negara NATO khususnya yang tergabung pula dalam G-7, maka Israel sama halnya dapat diposisikan sebagaimana Ukraina yang masih melawan invasi Rusia di Eropa Timur. Kemudian Israel merasa tekanan regional yang diberikan pada Tel Aviv mulai dari perseteruannya dengan Hamas di Palestina, Hezbollah di Lebanon, krisis Laut Merah dengan Yaman, dapat mendorong skala pertempuran meluas menjadi perang besar. Skenario ketiga ini hampir mirip dengan yang pertama tetapi dalam skala yang berbeda. Dalam kondisi ekonomi global pasca pandemi, skenario ini sulit terjadi, meskipun tetap terbuka kemungkinan.

Memang negara-negara dengan ekonomi makmur seperti Qatar, Bahrain, dan Arab Saudi tidak andil terlibat langsung maupun negara berstandar ganda seperti Turki juga tidak melibatkan diri. Namun kekuatan besar yang siap mendukung termasuk Tiongkok yang kerap abstain dalam forum PBB dari Sidang Umum dan Dewan Keamanan dapat bersikap atas dasar simpatinya terhadap kemerdekaan Palestina. Skenario ketiga ini dapat berlangsung dengan mode perang proksi atau perang yang terbuka dengan pengiriman pasukan dari negara-negara raksasa militer seperti AS dan sekutunya dari NATO dengan Rusia dan Tiongkok di sisi yang lain.

Harapan Agar Konflik Tidak Meluas

Dalam berbagai kemungkinan sebagaimana dipaparkan sebelumnya, Iran dengan Israel pada prinsipnya telah melibatkan berbagai pihak untuk ikut bertikai. Di kubu Iran, terdapat kelompok Houthi dari Yaman, Hezbollah dari Lebanon, dan kelompok Perlawanan Islam di Irak. Adapun di kubu Israel berkumpul kekuatan mulai dari Anggota Tetap DK PBB seperti AS, Inggris, dan Prancis kemudian negara yang sedang mencari posisi aman seperti Yordania, dan seteru klasik yang selalu berseberangan secara pandangan politik dan ideologis dari Iran seperti Arab Saudi dan UEA. Banyaknya pihak terlibat memang mewarnai jalannya konflik yang berlangsung di lapangan, termasuk menunjukkan kegagalan besar dalam mewujudkan perdamaian melalui organisasi multilateral seperti PBB.

Namun harapan masih ada untuk menghadirkan perdamaian, dengan inisiatif dari Indonesia sebagai negara yang memiliki pengaruh besar di dunia Islam dapat masuk melalui jalur formal dan informal seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Jika itu bisa terjadi maka damai di Timur Tengah bukan suatu yang mustahil. Semoga.

PROBO DARONO YAKTI

Dosen Hubungan Internasional FISIP UNAIR dan Direktur Centre for National Defense and Security Studies (CNDSS)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular