Saturday, April 20, 2024
HomeGagasanSOEMPAH PEMOEDA 4.0

SOEMPAH PEMOEDA 4.0

 

Ketika para pemuda itu berkumpul dari berbagai wilayah yang sangat berjauhan, 91 tahun silam, tidak bisa dibayangkan beratnya upaya dan perjuangan anak-anak muda itu.

Dan, yang lebih sulit dibayangkan pula, mereka yang rata-rata umurnya masih “likuran” sudah punya pandangan yang sangat dewasa, matang, visioner, sehingga mereka bisa merumuskan sumpah bersejarah itu.

Bersejarah, bukan cuma di level nasional, tapi di dunia internasional, karena tidak banyak negara di dunia yang punya gerakan pemuda sehebat kita. Bahkan di negara-negara Eropa yang mengalami revolusi pun tidak ada peran pemuda sedahsyat Indonesia. Kemudian belasan tahun kemudian para pemuda jugalah yang menjadi “engine” utama gerakan perlawanan melawan pendudukan Jepang yang kemudian meletuskan revolusi yang meluas.

Tak pelak, Ben Anderson (1989) dengan penuh takjub menulis buku “Revolusi Pemoeda” yang mengungkap peran anak-anak muda dalam revolusi nasional 1944-1945. Beda dari revolusi di negara mana pun saat itu, bahkan di revolusi komunis Rusia, peran pemuda Indonesia benar-benar sentral. Mereka menjadi kekuatan militan karena ditempa oleh kekerasan pendudukan Jepang. Para pemuda itu kemudian menjadi engine turbo yang menghancurkan kekuatan pendudukan Jepang.

Keren betul pemuda kita. Pada 1928 mereka sudah bisa merumuskan tiga rumusan yang visioner dan relevan sepanjang masa; Bertanah Air Satu, Bebangsa Satu, Berbahasa Satu…dari mana mereka punya ide dahsyat itu.

Mengapa mereka bersepakat hanya punya satu tanah air? Mengapa para pemuda itu bersumpah hanya punya satu bangsa? Mengapa mereka yakin hanya punya satu bahasa pemersatu? Sungguh tidak main-main.

Pada tahun-tahun itu kolonialisme dan imperialisme Eropa sedang ganas-ganasnya. Kapitalisme Eropa adalah hasil dari revolusi industri, anak dari kemajuan sains dan teknologi Eropa, keturunan dari gerakan pencerahan di Eropa, tapi alih-alih mencerahkan dunia, malah mengeksploitasi negara lain atas nama keserakahan pasar.

Anak-anak muda itu tahu betul bahwa untuk menghadapi keganasan itu tidak ada jalan lain kecuali mereka semua harus bersatu padu sebagai kekuatan yang utuh. Nah, lantas apa yang bisa menyatukan mereka, wong kulit mereka beda, agama mereka beda, budaya adat istiadat tak ada yang sama?

Itulah hebatnya imajinasi anak-anak muda itu. Dengan merumuskan tiga sumpah itu mereka sama-sama membayangkan bahwa mereka diikat oleh cita-cita yang sama. Mereka sama-sama merasa senasib sepenanggungan, mereka diikat oleh sebuah imajinasi sehingga terbentuklah apa yang oleh Anderson disebut sebagai “Imagined Community“.

Anak-anak itu kayaknya selow saja dan bisa dengan enak membuat rumusan. Sungguh beda banget sama ketika para pemimpin kita bersidang menyiapkan rumusan dasar negara. Ribut dan ribet karena berebut perumusan posisi agama dalam pondasi kenegaraan kita.

Anak-anak muda itu tahu, kalau saja faktor agama dimasukkan dalam rumusan sumpah pemuda, maka yang terjadi malah ribut, atau sangat mungkin sumpah pemuda tak bakal pernah lahir di dunia. Bayangkan kalau ada yang nyolot dan minta supaya rumusan ditambah dengan “Beragama satu, agama….”

Anak-anak muda itu telah paham bahwa agama tidak bisa menjadi bagian dari faktor yang menyatukan dalam komunitas bayangan Imagined Community. Pasti banyak di antara mereka yang menjadi aktivis Islam, karena Muhammadiyah sudah lahir 16 tahun sebelumnya, NU lahir dua tahun sebelumnya. Tapi, mereka menempatkan agama pada posisi yang tepat dan terhormat sebagai spirit perjuangan tanpa harus memasukkannya ke dalam rumusan formal.

Titik krusial ketika itu adalah semangat merumuskan terbentuknya negara-bangsa (nation-state) yang ketika itu idenya sudah mulai bermunculan di negara kolonial Asia dan Afrika. Maka tiga rumusan sumpah itulah yang kemudian menjadi backbone, penyangga utama, pembentukan negara bangsa Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kemudian menjadi modal utama kemerdekaan 1945.

Kini, 91 tahun berselang. Semangat sumpah pemuda harus terus-menerus direvitalisasi supaya tetap relevan. Ketika Indonesia sekarang tengah terkoyak oleh berbagai isu yang mengancam eksistensi NKRI maka kita bisa berkaca lagi kepada wisdom anak-anak muda.

Saat ini, dibutuhkan revitalisasi sumpah pemuda menjadi “Soempah Pemoeda 4.0”. Para pemuda milenial sekarang menghadapi tantangan yang berbeda. Kalau dulu, dunia terbelah antara dunia pertama Eropa dengan dunia ketiga yang menjadi korban opresi, maka sekarang dunia sudah menjadi satu, one world. Dunia sudah menjadi global village, desa buana, yang mempunyai aspirasi yang sama terhadap perdamaian dan kesejahteraan.

Revolusi informasi 4.0 menjadikan dunia terkoneksi menjadi satu. Kalau dulu imagined community hanya sebatas garis nasional maka sekarang anak-anak muda milenial itu mempunyai komunitas bayangan baru yaitu Imagined Community Global. Konsep negara bangsa, nation-state, sudah obsolete, tak cocok lagi menjawab tantangan globalisasi. Yang dibutuhkan sekarang bukan pemikiran sektarian dan parokial. Anda tak mungkin bisa menang sendiri kaya sendiri, dan membiarkan orang lain kalah dan miskin. Dunia sudah berubah, Anda hidup dalam dunia yang terkoneksi satu sama lain.

Yang diperlukan di era 4.0 sekarang adalah sebuah institusi global yang bisa menjawab kebutuhan global village. Anda tak bisa lagi menang sendiri, hebat sendiri, kaya sendiri, dan membiarkan orang lain kalah, menderita, dan miskin. Tak peduli di mana pun dan siapa pun, mereka punya aspirasi dan cita-cita kesejahteraan dan kedamaian yang sama.

Di desa buana sekarang ini jelas tak ada tempat untuk pemikiran sektarian dan parokial. Dunia telah menjadi satu. Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Satu Dunia.

 

DIMAM ABROR DJURAID

Wartawan Senior dan Dosen STIKOSA AWS

RELATED ARTICLES

Most Popular