Kemajuan di bidang teknologi informasi menyebabkan setiap orang dengan mudah mendapatkan beragam informasi baru di internet. Saya dengan cepat bisa belajar tentang hal-hal teknis menyangkut peternakan ikan lele. Mudah sekali menemukan bagaimana cara beternak lele di internet, mulai dari persiapan lahan (baik terbatas ataupun luas, berbentuk beton ataupun terpal), pengolahan lahan, pemberian pupuk kandang, pemilihan benih ikan, pembuatan pelet atau pakan ikan, teknis beternak larva lalat hitam, kegunaan daun pepaya bagi mencegah agresifitas kanibalisme ikan lele, dan lain-lain sebagainya. Begitupun, saya dengan leluasa bisa mempelajari teknis pertanian dan peternakan lainnya, guna memenuhi keingin-tahuan saya dalam mengembangkan aset-aset keluarga dalam bentuk kolam, sawah dan ladang. Bukan hanya artikel-artikel dalam jumlah bejibun, melainkan juga gambar dan video yang disebarkan melalui youtube.
Ketika memutuskan untuk mengembangkan usaha yang saya geluti secara tradisional sejak kanak-kanak hingga bangku sekolah menengah atas di kampung saya, sulit sekali menemukan tenaga kerja yang bisa memahami dengan baik perkembangan ilmu pengetahuan baru di bidang peternakan ikan, misalnya. Bahkan untuk mencari tukang-tukang yang terampil guna mengerjakan kolam ikan saya, sangat amat jarang tenaga kerja yang bisa dimanfaatkan. Desa saya seperti mengalami keterbatasan sumberdaya manusia yang bisa menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Saya terpaksa melakukan pekerjaan otodidak dengan cara membeli buku-buku yang diperlukan, membeli peralatan, hingga memasuki kolam yang sudah 30 tahun tak pernah dibuang lumpurnya.
Begitu juga kondisi lahan sekitar 4 hektar punya keluarga saya. Sekalipun kini jalanan besar sudah berada di ladang yang dulu butuh waktu lebih dari setengah jam untuk mencapainya itu – kini hanya 10 menit –, tampaknya kera-kera lebih membutuhkan ladang itu sebagai hutan rimba untuk area bermainnya. Padahal, tanah di ladang itu sangat subur, tanpa perlu diberikan pupuk kandang ataupun pupuk industri. Jenis tanaman apapun bisa tumbuh dengan baik, seperti kacang tanah, kacang kedelai, singkong, ubi, jahe, cabe, pepaya, pisang, jagung ataupun tanaman tua seperti kelapa, pohon pala, durian, petai dan bahkan pohon gaharu yang mahal itu.
Kini, diperlukan sosok-sosok yang bisa menggerakkan ekonomi perdesaan dengan cara yang lebih modern. Warga lebih banyak mengeluh tentang ketiadaan sinyal smartphone untuk bermain media sosial, daripada memikirkan tentang bagaimana meningkatkan ekonomi perdesaan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dan pertambahan infrastruktur seperti jalan dan jembatan. Gerilya perkotaan yang berbau politik, guna membongkar totalitarianisme menjadi demokrasi, ternyata memerlukan gerilya perdesaan yang berbau ekonomi. Tepatlah apa yang sudah ditulis oleh Tan Malaka menyangkut “Sang Gerilya: Politik dan Ekonomi” dalam masa-masa awal kemerdekaan. Pikiran-pikiran jauh ke depan dari Tan Malaka itu memerlukan rezim politik yang benar-benar menyadari keterbatasan ilmu pengetahuan dari sumber daya manusia di perdesaan, guna memerdekakan dirinya sendiri agar tak lagi menjadi objek dari kapitalisme global.
Saya kira, metode-metode “satu desa satu produk” seperti yang diterapkan di China dan sejumlah negara sosialis lain, adalah bagian dari pengejawantahan apa yang disebut sebagai Gerpolek (Gerilya Politik dan Ekonomi) di era modern. Begitu juga model-model rekayasa agrobisnis dan agroindustri yang serba bangkok seperti di Thailand ataupun tanaman minim air seperti biopori yang banyak dipakai di Jepang atau Korea Selatan.
Singkat kata, rezim Joko Widodo dalam periode kedua – apabila terpilih kembali –, perlu menyusun kerangka strategis menggerakkan ekonomi perdesaan ini. Proyek-proyek infrastruktur yang sudah dilakukan dalam periode pertama, perlu diisi dengan proyek-proyek ekonomi yang berbasiskan kekuatan rakyat di pedesaan dalam periode kedua. Untuk itu, balai-balai latihan kerja perlu lebih banyak diaktivasi, dimodernisasi, kalau perlu dengan cara mempertukarkan petani atau peternak pedesaan di Indonesia dengan petani dan peternak di negara-negara lain. Pemerintah tinggal memberikan pelatihan-pelatihan yang bersifat teknis, begitu juga dengan cara memperbanyak dan memperluas lahan-lahan pertanian atau peternakan yang diambil dari tanah-tanah negara yang tidak produktif. Di lahan-lahan yang banyak dan luas itulah pekerja-pekerja generasi baru mempraktekkan keterampilan dan keahlian barunya yang didapatkan dari pelatihan-pelatihan dan pertukaran-pertukaran tenaga kerja.
Sebab, kita jangan lupa: Indonesia memang berbeda dengan negara-negara lain, baik secara geopolitik, geostrategis, iklim ataupun luas lahan. Sebagai negara kepulauan di negara tropis yang dibelah oleh garis khatulistiwa, dengan luas lautan sebesar 70% dari daratan yang 30%, serta etnis-etnis yang beragam; keunggulan Indonesia bukanlah didapat dari metode-metode stratifikasi kelas pekerja yang ada di negara-negara lain seperti China yang berupa daratan dan jazirah luas. Keunggulan Indonesia terletak dari etnis-etnis yang berjumlah kecil, lahan terbatas, tetapi berada dalam lingkungan alam tropis yang cantik dan eksotik.
Kedaulatan Indonesia ada pada peradabannya yang hampir tak mengenal penguasa-penguasa raksasa yang sibuk berperang demi klan ataupun dinasti atau monarki masing-masing dalam hitungan dasawarsa demi dasawarsa.
INDRA J. PILIANG
Anggota Dewan Pakar Partai Golkar