Wednesday, April 17, 2024
HomeGagasanSketsa IJP: Gerilyawan Ekonomi Perdesaan (Bag. 1)

Sketsa IJP: Gerilyawan Ekonomi Perdesaan (Bag. 1)

 

Sudah sejak setahun belakangan berbagai pihak meributkan kehadiran Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia. Padahal, menurut catatan Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) Republik Indonesia (RI), jumlah TKA tidak lebih banyak dibandingkan dengan jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, termasuk di China. Dalam setahun, pemerintah pusat berhasil menciptakan rata-rata 2 juta tenaga kerja baru per tahun sejak 2014. Kontraversi TKA ini menyibak masalah yang muncul, ketika sumberdaya manusia Indonesia dianggap sama sekali gagal bersaing dengan TKA di tanah Indonesia sendiri. Patut diingat, betapa TKA bekerja di sarana dan prasarana yang memang memerlukan keahlian, seperti di area pertambangan nikel.

Data Kemnaker RI itu menunjukkan bahwa jumlah TKA per akhir 2017 yang “menyerbu” Indonesia sebanyak 85.974 orang, dengan rincian TKA asal China sebanyak 24.800 orang. Sementara, TKI di China Daratan berjumlah 81.000 orang, ditambah dengan 16.000 orang di Macau dan 150.000 di Hongkong. Jumlah itu masih ditambah dengan sekitar 200.000 TKI yang bekerja di Taiwan atau China Taipe.

Total keseluruhan TKI yang bekerja di China Daratan dan China Kepulauan adalah sebanyak 451.000 orang atau 18 kali lipat dari jumlah TKA asal China yang bekerja di Indonesia. Tentu jumlah itu yang resmi. Kalau dicatat yang illegal, dari sekitar 10 Juta orang Indonesia yang bekerja di Malaysia, hanya 2 Juta orang yang berstatus legal. Artinya, di samping terdapat pekerja illegal asal negara asing di Indonesia, justru jumlah TKI illegal di luar negeri bisa lebih banyak. Bisa jadi jumlahnya dua kali lipat atau lebih, dibandingkan dengan 9 Juta TKI  (data Bank Dunia) yang berstatus legal di luar negeri. Persebaran data 9 Juta TKI itu adalah 55% di Malaysia, 13% di Saudi Arabia, 10% di China dan China Taipe, serta negara-negara lain.

Data-data ketenagakerjaan di Indonesia dengan mudah bisa didapatkan melalui internet. Baik versi pemerintah (resmi), kalangan ahli, lembaga internasional, lembaga swadaya masyarakat, ataupun media massa. Sebaran data-data itu bisa dicek juga dalam Badan Pusat Statistik (BPS) pusat dan daerah, termasuk di kantor-kantor kedutaan Indonesia di luar negeri ataupun kantor-kantor kedutaan asing di dalam negeri. Data adalah senjata terpenting dalam politik, pemerintahan, ilmu pengetahuan, ataupun debat dan twitwar (perang kicauan) di media sosial. Tanpa data, apa yang mau diperdebatkan?

Misalnya, ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa satu TKA bisa menambah 100 TKI di dalam negeri, tentu ukurannya adalah investasi yang ditanamkan di Indonesia dan alih teknologi yang dibawa. Sebagai bangsa agraris, Indonesia belum cukup berpengalaman dengan keberadaan tenaga-tenaga kerja (kasar) di bidang pertambangan dan energi (terbarukan). Area pertambangan PT Freeport Indonesia, misalnya, sama sekali bukan arena pembelajaran yang baik. Metode perekrutan tenaga kerja manusianya dalam bentuk outsourcing sama sekali tak memberikan nilai lebih kepada bangsa Indonesia. Saya tidak tahu bagaimana dengan pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara.

Selain keberadaan sejumlah smelter, apakah Indonesia sudah cukup lega menempatkan para tenaga kerjanya di lingkungan yang nantinya bisa dijadikan ajang alih teknologi, transfer keahlian ataupun kawah candradimuka sebagai pekerja-pekerja profesional angkatan baru?

Sementara, sektor pertambangan lain relatif lebih mudah bagi investor luar negeri. Sebut saja minyak, batubara ataupun emas dan timah. Sedikit sekali yang disebut sebagai “tambang dalam” di Indonesia, baik di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku ataupun Papua. Investor selama ini berpesta pora dalam “tambang luar”, yakni tanah yang dikelupaskan bahkan dengan cangkul tanpa peralatan berat. Banyak sekali area pertambangan di Indonesia yang berubah menjadi tambang-tambang rakyat dengan peralatan sederhana. Sejumlah konflik muncul, terutama akibat cakupan area tambang investor berada dalam lokasi yang sering diklaim sebagai tanah-tanah rakyat ataupun tanah-tanah ulayat (adat).

Begitu juga dalam kasus-kasus korupsi yang mendapatkan perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, selama ini terkait dengan izin pertambangan di sektor hulu dan setoran illegal yang diterima oleh penyelenggara negara. Artinya, korupsinya bukan pada perbedaan jumlah (timbangan) hasil dari kekayaan (alam) pertambangan antara yang dilaporkan dengan yang tidak dilaporkan di sektor hilir.

Sementara, dari data tenaga kerja di Indonesia, mayoritas bekerja di sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan. Berikutnya bekerja di sektor perdagangan, hotel, restoran dan jasa. Selebihnya di industri kreatif, industri pengolahan, konstruksi, pengangkutan, komunikasi, keuangan, real estate dan jasa perusahaan. Bagian terakhir dalam jumlah sekitar 1,5 Juta orang baru bekerja di bidang pertambangan, penggalian, listrik, gas dan air bersih.  Makin tinggi keahlian yang diperlukan, makin sedikit tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor itu. Piramida ketenagakerjaan di Indonesia ternyata dialas oleh sektor tradisional, yakni pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan yang merupakan sektor yang memenuhi kebutuhan pangan dengan keahlian pas-pasan.  Sebagai negara agraris dan negara maritim, ketersediaan tenagakerja seperti itu sudah bersifat turun temurun.

Persoalannya, dengan implementasi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, lambat laun terjadi kedekatan jarak antara kota dan desa. Apalagi dengan pembangunan infrastruktur secara besar-besaran yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo, terlihat sekali perubahan-perubahan kebutuhan akan tenaga kerja yang ada di Indonesia. Sebut saja angkatan kerja millenium dari Generasi Z. Mereka adalah generasi yang tak bisa melepaskan diri dari teknologi terkini, media sosial dan nyaris asosial dengan lingkungan. Mereka yang menghabiskan waktu di layar smartphone.

Kemajuan di bidang teknologi informasi menyebabkan setiap orang dengan mudah mendapatkan beragam informasi baru di internet.

(bersambung)

INDRA J. PILIANG

Anggota Dewan Pakar Partai Golkar

RELATED ARTICLES

Most Popular