Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 makin dekat. Suhu politik semakin panas. Satu sama lain intens mengintai dan siap memangkas. Sedikit saja kesalahan, poin buat lawan untuk menebas. Benar sekalipun, bisa dibuatkan persepsi seolah-olah kesalahannya jelas. Ini namanya black campaign. Bila perlu, jebak dan dorong lawan untuk melakukan kesalahan, agar mudah dilibas.
Apapun ucapan, sikap dan perilaku calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres), potensial dijadikan “target penyerangan”. Media (sosial) menjadi tempat penggorengan. Terasa asik dan dilakukan secara masif. Terus digoreng secara kreatif, sampai betul-betul membuat lawan terkapar pasif.
“Tampang Boyolali”, melangkahi kuburan hingga “Ojol”, jadi sarapan pagi tim Jokowi. Prabowo didemo dan dilaporkan polisi. Begitu juga “sontoloyo”, “genderuwo” , “tabok” hingga “produksi mobil Esemka” yang isunya tak kunjung berhenti.
Yang terakhir adalah isu pindahnya kedutaan Australia ke Yerusalem. Prabowo berkomentar bahwa ia menghargai hak negara Australia. Dan ia tak ikut campur urusan internal negara tetangga itu.
Komentar Prabowo lalu diramaikan di media, hari demi hari. Di media sosial jadi sarapan pagi. Di-framming seolah Prabowo mendukung Australia. Dia dirundung dan jadi sasaran protes dan caci maki.
Tidak hanya pendukung amatiran yang berlaga untuk menyerang. Tapi kelompok elit yang dekat dengan penguasa juga ikut meradang. Salah satunya ada nama Zainul Majdi. Orang mengenal dengan nama Tuan Guru Bajang (TGB). Akhir-akhir ini memang dekat dengan Jokowi dan Luhut Binsar Panjaitan. Emang TGB ada di kubu Jokowi? Ah, loe kurang gaul. Kayak gak pernah buka media aja.
Publik mengetahui bahwa TGB mendukung Jokowi. Keluar dari barisan kubu 212 yang saat ini mendukung Prabowo-Sandi. Kok 212 jadi politis? Tanya TGB suatu hari. Itu keniscayaan politik tuan, jawab lawan menimpali. Faktanya, 212 tidak hanya berhadapan dengan Ahok, tapi juga masif berseberangan dengan Jokowi. Sedari awal mereka saling tidak menyukai. Pertempuran melawan Jokowi bahkan lebih intens hari demi hari. Memerlukan durasi sangat panjang dan melelahkan hingga hari ini. Sudah lebih dari setahun tak juga berhenti.
Beragam komunikasi Jokowi-212 sudah dilakukan sebagai upaya rekonsiliasi. Ke Mekah, poros Jakarta terus membujuk dengan bungkus jalin erat silaturahmi. Tapi, tak juga berhasil hingga saat ini. Malah berujung pada “insiden pemasangan” apa yang disebut sebagai “bendera tauhid” di rumah yang dihuni Rizieq beserta keluarga yang dicintai. Jalan buntu akhirnya menghadang ikhtiar rekonsiliasi. Gagal total.
Komentar Prabowo yang di-framming seolah Prabowo dukung keputusan Australia, memberi “peluang dan umpan” untuk TGB. Sebuah momentum. Bisa jadi sangat indah. Pertama, TGB berkesempatan untuk membuat persepsi bahwa ia konsisten dalam perjuangan pro-umat. Membela Palestina adalah bagian dari perjuangan umat.
Sayangnya, Bachtiar Nasir, ketua salah satu organisasi yang konsen memperjuangkan Palestina merdeka buru-buru mengklarifikasi. Bahwa ucapan Prabowo telah diplintir. Faktanya bukan seperti yang di-framming media selama ini. Tanggapan Bachtiar Nasir ini seolah menutup celah bagi TGB untuk kembali mendapat “persepsi keumatan” .
Kedua, dengan melakukan “kritik keras” kepada Prabowo, TGB berpeluang dianggap sebagai pendukung loyal dan bekerja nyata untuk Jokowi. Dalam politik, pengakuan semacam ini diperlukan. Tak cukup sekedar deklarasi. Apa yang dilakukan oleh Kapitra dan Ngabalin selama ini lebih jelas, tegas dan nyata. Apakah TGB akan mengikuti jejak kedua orang ini?
Di sisi lain, “kritik keras” TGB ke Prabowo membuat dahi umat berkerut. Mengapa TGB melakukan itu? Sangat bersemangat. Sampai segitunya. Dengan sikap TGB ini, pertanyaan umat selama ini terkait “nyebrangnya” TGB mulai mendapat ruang kembali untuk berdiskusi. Tidakkah TGB lahir dari umat? Bukankah akan terasa nyaman jika TGB berjuang bersama di gerbong umat? Apalagi Alumni Mesir, teman-teman seperjuangan TGB, juga ambil posisi melawan Jokowi.
Lepas bahwa pilihan politik dan dukung mendukung di pilpres adalah hak setiap orang, dan itu harus dihargai. Tapi, dukungan TGB ke Jokowi dan mengambil jarak bahkan berhadap-hadapan dengan komunitasnya, juga dengan asal partainya sendiri, yaitu Demokrat, terasa ganjil. Semakin ganjil ketika TGB “menyerang” Prabowo. Aneh dan mendorong publik terus mempertanyakan. Ada apa?
Dilihat dari aspek positioning, TGB lemah di hadapan kubu Jokowi. Karena tidak membawa partai dan gerbong pendukung. Sejak pindah haluan, TGB nyaris ditinggalkan oleh mayoritas alumni Al-Azhar. Dari situ lahirlah organisasi baru untuk Alumni Mesir yang Senin (19/11) pekan lalu memberi dukungan kepada Prabowo-Sandi.
Secara ideologi, apakah TGB cocok dengan PDIP, Nasdem, Perindo dan PSI? Rasa-rasanya butuh waktu panjang untuk beradaptasi. Apalagi PSI tegas menolak Perda Syariah. Bukannya di kubu Jokowi ada PKB dan PPP? Ah, kayak gak tahu aja, kenapa dua partai itu mendukung Jokowi. Emang mereka berani tidak dukung Jokowi? Ada-ada aja.
TGB dapat jatah Menteri Agama? Berat! Karena ada PPP dan NU. Jelas gerbong dan pengikutnya. Jatah Menteri Dalam Negeri? Ada PDIP. Tjahjo Kumolo masih bersedia. Kok main jatah-jatahan? Ah, gak usah munafik! Power sharing itu bagian dari logika dukung-mendukung dalam politik. Mengikuti teori pertukaran, dalam politik mesti ada barter. Gue dukung, loe ngasih ape ke gue. Emang seperti relawan? Rela ditinggal kawan? Menganggap TGB relawan, tentu kurang pas.
Kalau begitu, lalu apa yang membuat TGB “ngotot” dukung Jokowi, dan “serang” Prabowo? Nah, ini yang selalu jadi isu menarik. Banyak yang berprasangka: TGB tersandera. Ah, yang benar? Namanya aja prasangka. Belum tentu benar. Belum tentu hoax juga.
Protes anggota fraksi PDIP kepada KPK soal bocornya kasus divestasi saham Newmont yang dikait-kaitkan dengan nama TGB (m.merdeka.com, 3 Oktober 2018) semakin memperkuat dugaan publik bahwa TGB sedang tersandera. Jika “rumor” itu benar, sekali lagi “rumor”, akan banyak pihak yang memaklumi. Sebagian orang ngerti, lalu bisa memahami. Tapi, “kritik pedas” TGB yang dipersepsikan publik sebagai bentuk penyerangan kepada Prabowo itu telah membangkitkan emosi. Umat marah. Nama TGB yang selama ini mulai turun isunya, naik kembali dan jadi pembicaraan publik. Apakah oleh TGB ini disengaja? Atau hanya sebuah keterpaksaan? Hanya TGB dan Tuhan yang tahu. Yang pasti, serangan TGB kepada Prabowo membuat umat semakin geram.
Jakarta, 26 November 2018
TONY ROSYID
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa