Friday, March 29, 2024
HomeGagasanSejarah Kota Palembang Perlu Dikaji Ulang

Sejarah Kota Palembang Perlu Dikaji Ulang

foto: istimewa

Saya membaca tulisan Dudy Iskandar di sebuah media daring yang bertanggal 5 Januari 2020.

Kesan pertama saya sudah tentu memprihatinkan. Bagaimana mungkin para cerdik pandai di Sumatera Selatan melupakan sejarah kota Palembang dalam ingatan mereka. Bahkan menurut Dudy Iskandar tidak seorang pun mengingat kembali sejarah kotanya pada bulan Januari 2020 itu.

Begitu pula saya menggarisbawahi, organisasi Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) yang memiliki cabangnya di Kota Palembang, pun lalai. Kalau dikaitkan dengan mewabahnya virus corona, di bulan Januari itu, belum terdengar mewabah, karena di sekitar akhir Februari atau awal Maret 2020, wabah ini mulai terjangkit di Indonesia.

Dudy Iskandar adalah seorang jurnalis dan peminat sejarah Sumatera Selatan. Coba kita kutip pernyataannya:

Hari-hari berlalu di awal bulan Januari tahun 2020, tidak ada agenda kegiatan peringatan apa pun yang dilaksanakan di Kota Palembang.

Entah, apakah pemerintah daerah, masyarakat ataukah kita sudah melupakan sejarah perjuangan generasi sebelumnya, yang menjadikan kita sekarang bisa tegak berdiri, bebas merdeka, bisa berusaha, bisa berkerja, bisa belajar tanpa tekanan, tanpa dijajah kembali, ataukah kita amnesia dengan sejarah Palembang… entah…?

Padahal, tepat 73 tahun lalu, di bulan Januari 1947, terjadi peristiwa besar yang menjadi tonggak penting Sumatera Selatan, meneguhkan eksistensinya sebagai bagian dari Republik Indonesia. Peristiwa pertempuran lima hari lima malam atau “Palagan Palembang” yang menghiasi lembaran sejarah perjuangan menegakkan kemerdekaan RI.

Sedikit yang tahu, bahwa pada bulan Januari 1947, Belanda melakukan serangan dahsyat dan pembunuhan di Kota Palembang. Pertempuran yang terjadi di salah satu wilayah Sumatera Selatan tersebut dikenal dengan pertempuran ‘Lima Hari Lima Malam’ di Palembang. Pertempuran ini terjadi pada tanggal 1 hingga 5 Januari 1947.

Sayangnya, pembantaian di Palembang ini tidak dipublikasikan secara utuh dalam historiografi Belanda. Belum lagi perhatian media dan parlemen Belanda tidak sepenuhnya tertuju pada kejadian tersebut.”

Tidak hanya apa yang dikatakan Dudy Iskandar, kita mengatakan sebagai catatan penting, tetapi tentang Sejarah “Lima Hari Lima Malam,” di Palembang terjadi silang pendapat antara H. Asnawi Mangku Alam dengan H. Alamsyah Ratu Perwiranegara.

Brigadir Jenderal TNI H. Asnawi Mangku Alam adalah Gubernur Sumatra Selatan untuk periode 1968–1978. Ia memulai karier melalui dunia militer setelah dua periode kepemimpinan. Asnawi Mangku Alam kemudian digantikan oleh Sainan Sagiman. Lahir pada 27 April 1921. Masa dinas: 1945–1968 dan meninggal dunia pada 27 Oktober 2001 (usia 80 tahun) di Jakarta.

Sedangkan Letnan Jenderal TNI H. Alamsjah Ratu Perwiranegara adalah tokoh militer Indonesia yang pernah menjabat sebagai Menteri dan Duta Besar Indonesia. Lahir pada 25 Desember 1925,di Kabupaten Lampung Utara. Meninggal pada  8 Januari 1998, di Jakarta dalam usia 72 tahun.

Ketika H. Alamsyah Ratu Perwiranegara menulis buku: “Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu” dan setelah buku ini terbit baru muncul gugatan dari H. Asnawi Mangku Alam.

Asnawi Mangku Alam VS Alamsjah Ratu Perwiranegara

Majalah Tajuk No. 9 Tahun I, Maret 1997 halaman 54-57: Soal Buku Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu, Alamsjah Ratu Perwiranegara: Dialah Racunnya A.K.Gani.

Biografi “H.Alamsjah Ratu Perwiranegara, Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu”, terbitan Pustaka Sinar Harapan tahun 1995, tiba-tiba mendapat sorotan. “Kok masih ada pelaku sejarah yang membohongi sejarah,” tuding Dasman Djamaluddin lewat surat pembaca di tabloid Swadesi, edisi No.1483 Tahun 1997. Sindiran itu, tentu, dialamatkan kepada mantan Menteri Agama H. Alamsjah Ratu Perwiranegara. Apa tanggapan Alamsjah terhadap “gugatan” tersebut ?

Adalah Dasman Djamaluddin menceritakan pada hari Minggu, 12 Januari 1997. ia bertamu ke rumah H. Asnawi Mangku Alam, mantan Gubernur Sumatera Selatan. Dalam pertemuan mereka, kisah Dasman yang mengaku tinggal di Bogor, Asnawi banyak memberi informasi, terutama kritikannya terhadap isi buku Alamsjah.

Pertama, mengenai dialog Alamsjah dengan Dr.A.K.Gani.

Ketika A.K.Gani menanyakan kepada Alamsjah, “Apa saudara masih berjuang untuk republik ?. “Alamsjah menjawab,”Sebelum saudara berjuang di Republik saya sudah berjuang.”

Kata Asnawi seperti dikutip Dasman, apa yang dikatakan Alamsjah itu tidaklah benar dan tidak etis. Menurut Asnawi, A.K.Gani adalah orang yang dihormati di Sumatera Selatan dan tokoh nasional sejak awal kemerdekaan. Oleh karena itu tidaklah mungkin Alamsjah membusungkan dada mengecilkan peranan A.K.Gani. Sayangnya, jelas Asnawi, A.K.Gani sudah tiada.

Kedua, di dalam bukunya Alamsjah selalu mengklaim bahwa ia yang memimpin pertempuran lima hari lima malam di Palembang. Pengakuan Alamsjah ini menurut Asanawi, sangat tidak obyektif.

Alasannya, sebagaimana telah diketahui, pertempuran lima hari lima malam di Palembang tersebut bukan pimpinan Alamsjah. Hal ini dapat dipelajari dari buku “5 Hari 5 Malam Perang Rakyat Palembang” dan “Pasca Perang Kota” yang telah mendapat pengesahan dari Pusat Sejarah dan telah mendapat SK Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdikbud.

Ketiga, pada kalimat atau kata-kata penempatan pasukan front tengah, front kiri, front kanan, staf komando resimen-resimen dan batalyon-batalyon, Alamsjah berbicara seolah-olah ia adalah komandan Brigade, bukan Kepala Operasi. Tidak sedikit pun Alamsjah menyinggung nama Kolonel Bambang Utoyo sebagai Komandan Brigade yang bertanggung jawab dalam masalah itu.

Keempat, khusus di halaman 197, 198 dan 199 dari buku Alamsjah tersebut. Pada angka 3 (halaman 197) dikatakan bahwa terjadi pertikaian antara Menteri Pertambangan Slamet Bratanata dengan Dr.Ibnu Sutowo selaku Direktur Utama Pertamina, dalam buku tersebut, katanya diselesaikan oleh Alamsjah. Benar tidaknya, wallahu’alam, ujar Asnawi.

“Sedangkan dalam angka 5 (halaman 198 dan 199), Alamsjah yang dikatakan memimpin pertemuan tim ahli ekonomi. Ibnu Sutowo diangkat menjadi Dirut Pertamina atas usul Alamsjah,” ujar Asnawi seperti dikutip Dasman Djamaluddin.

Menurut ingatan Asnawi atas kejadian yang berlangsung pada tahun 1967 itu, yang benar adalah bahwa Ibnu Sutowo telah menjadi Dirut Pertamina jauh sebelum tahun 1967 atas karya Ibnu sendiri.

Demikian inti surat pembaca Dasman Djamaluddin terhadap buku yang ditulis Suparwan G.Parikesit dan Krisna R.Sempurnadjaja itu. Buku setebal 485 ini berisi tentang perjalanan hidup, perjuangan, dan pengabdian Alamsjah pada bangsa dan negara.

Atas “gugatan” yang dialamatkan kepada dirinya, Alamsjah kelahiran 25 Desember 1925 di Panagan Ratu, Kecamatan Abung Timur, Kabupaten Lampung Utara, ini mengatakan. “Itu Asnawi tidak tahu apa-apa. Asnawi itu seorang perwira logistik di resimen, saya sendiri di divisi. Dan kalau mau bicara soal ini, jalan ceritanya panjang,” kata Alamsjah seperti yang ditulis dalam bukunya, pada minggu kedua Oktober 1945 ia-kala itu sudah berpangkat kapten dan bertugas di Lampung-dengan pengawal lebih kurang satu peleton diajak Pangeran Emir M. Noor ke daerah Palembang untuk memeriksa perkembangan PKR (Penjaga Keamanan Rakyat) di Baturaja dan lahat sekaligus menghadiri pertemuan para tokoh bekas anggota Gyu Gun dan Heiho di Pagar Alam. Apalagi ada informasi bahwa Belanda akan ikut membonceng dalam rombongan tentara Sekutu.

Sesudah pertemuan di Pagar Alam, rombongan mereka lebih dulu mengadakan inspeksi di Jambi. Dari Jambi menuju Palembang, rombongan terpaksa menunggu agak lama di Sorulangun Rawas, karena belum dapat masuk ke Lubuk Linggau lantaran sedang terjadi pertempuran dengan Jepang.

Tidak sabar menunggu, akhirnya rombongan Pangeran Emir M. Noor memutuskan untuk masuk dari Muara Rupit dengan kapal roda lambung melalui sungai Musi menuju Palembang. Dalam perjalanan melalui sungai itu, di Sekayu mereka disambut oleh Wedana dan pasukan di sana yang terdiri dari TKR dan Hizbullah. “Tapi setelah dijamu, ternyata kami dinyatakan ditangkap dan dimasukkan ke penjara,” ujar Alamsjah kepada TAJUK.

Kami benar-benar diperlakukan seperti tawanan. Bahkan mungkin lebih dari itu. Bayangkan, untuk minum misalnya, kami diberikan air yang diambil dari air untuk cebok di kakus. Benar-benar tindakan yang saya anggap berlebihan, mengingat mereka adalah saudara sebangsa, sedangkan kesalahan kami tidak jelas,” lanjut Alamsjah sengit.

Belakangan, kata Alamsjah, ternyata penangkapan mereka dilatarbelakangi oleh kecurigaan dari pihak Dr. A. K. Gani, yang pada 15 November 1945 telah ditunjuk Pemerintah Pusat sebagai Wakil Menteri Pertahanan dan otomatis menjadi koordinator TKR di seluruh wilayah Sumatera.

Pada hari ke-21,” tutur Alamsjah, “Kami baru dilepaskan dan tubuh saya dalam keadaan penuh kudis.”

Lalu, suatu hari, Alamsjah mengaku belum pernah bertemu dengan A.K.Gani. Dalam pertemuan itu A.K.Gani bertanya, “Apa Saudara masih ingin berjuang untuk Republik?”

“Kesal sekali saya mendengar pertanyaan itu. Maka, saya jawab saja dengan ketus: Sebelum Saudara berjuang di Republik, saya sudah berjuang,” jelas Alamsjah sekaligus meng-counter pernyataan Dasman.

Sebetulnya, kata Alamsjah lagi, karena dalam keadaan emosi, dia tidak cukup hanya mengatakan kata-kata kasar semacam itu.”Saya sebetulnya ingin membunuh dia karena saking marahnya. Jadi, kalau Asnawi mengatakan apa yang saya katakan itu tidak etis, memang dialah racunnya Dr.A.K.Gani. Siapa yang tidak marah ditahan begitu, badan sampai kudisan, disuruh minum air kakus, dan masih berjuang menghadapi manuver Belanda?” tutur Alamsjah berapi-api.

Begitu juga mengenai pertempuran lima hari lima malam di Palembang. “Asnawi tidak lebih banyak tahu dibanding saya,” ucap Alamsjah yang waktu itu memangku jabatan Kepala Staf Komando. Panglimanya Kolonel Bambang Utoyo.

Pertempuran Hari Pertama terjadi 1 Januari 1947, sekitar pk.05.00. Belanda memulai serangan dengan insiden pancingan di Palembang Ilir. Sebuah jip berisi serdadu Belanda melanggar ketentuan garis emarkasi.

Melihat pelanggaran itu, seorang anggota TRI yang bertugas berusaha menghentikan jip tersebut. Tapi para serdadu Belanda justru mempercepat laju jip, dan dari atas kendaraan itu mereka melepaskan tembakan secara membabibuta. Pihak TRI membalas menembak, sehingga kendaraan itu kembali ke Benteng.

Setelah insiden itu, pertempuran terbuka pun meletus di Palembang. Bahkan hingga malam, terjadi tembak menembak antara pasukan TRI dan pasukan Belanda. Pada pertempuran Hari Pertama itu, Lettu Djoko Suroyo, wakil Alamsjah, gugur di medan perang. Ia, Djoko Suroyo, sehabis menembak musuh dari jendela toko de Zon di jalan Tengkuruk, ia berusaha menuju Sungai Jeruju. Tapi, selagi ia berlari zigzag, sebuah peluru menembus keningnya.

Selain memikirkan anak buahnya yang tewas, perhatian Alamsjah juga tersita mengenai perlunya seorang komandan pertempuran yang bertanggungjawab pada front Talang Betutu, Talang Semut, Mesjid Agung, Bukit Kecil, Pasar Lingkis sampai RS Charitas. Setelah dipikirkan masak-masak, akhirnya Alamsjah memutuskan untuk mengangkat komandan Resimen XVII Mayor Dani Effendi menjadi komandan pertempuran front tersebut,

“Mengingat dalam situasi pertempuran dan sifatnya mendadak surat perintah itu saya tulis di atas kertas dari buku tulis pelajaran anak sekolah yang saya robek tergesa-gesa. Surat perintah tertanggal 1 Januari 1947 itu saya tandatangani atas nama Panglima Divisi II Garuda, Kolonel Bambang Utoyo. Sebab, sejak 1 Januari, komandan Divisi tidak pernah berada di Staf Komando. Jadi otomatis, yang memutuskan dan menentukan saya sendiri. Begitu juga mengenai hal-hal yang lain.

Itu saksinya, masih ada, kakaknya Sarnubi Said. Dan semua itu pada akhirnya memeng harus saya yang mempertanggungjawabkannya pada atasan saya,” papar Alamsjah. “Asnawi tidak tahu soal ini. Dan asal tahu, Kolonel Bambang Utoyo sebagai panglima baru pada hari kelima kembali ke Palembang.”

Jadi, kata Alamsjah, itulah salah satu faktor yang membuatnya tidak menyebut-nyebut nama Bambang Utoyo secara spesifik dalam bukunya.

Selain memang dia yang banyak menentukan di lapangan. “Masak saya juga harus menyebut Komandan Brigade saya yang memerintahkan saya. Apa yang saya tulis kan apa yang saya kerjakan dan alami. Ini kan riwayat hidup saya, bukan riwayat hidup Komandan Brigade. Jadi apa yang saya kerjakan, itu yang saya tulis. Ini juga kan bukan buku sejarah, tapi riwayat hidup pribadi saya,” tandas Alamsjah di ruang kerjanya.

Rupanya, apa yang disanggah Alamsjah dari pernyataan Asnawi kepada Dasman Djamaluddin, bukan cuma soal “A.K.Gani” dan “Bambang Utoyo”, tapi juga soal “Ibnu Sutowo”,”Apa yang dikatakan Asnawi tentang Ibnu Sutowo, juga salah. Saya tidak pernah mengatakan atas usul saya.

Pada awal tahun 1967, kata Alamsjah, ada pertikaian antara Menteri Pertambangan Slamet Branatana dan Ibnu Sutowo. Branatana mengirim laporan pada Pak Harto mengenai penyimpangan-penyimpangan yang menurutnya dilakukan Ibnu Sutowo selaku Dirut Pertamina dalam pengadaan dan penjualan minyak.

“Pak Harto menyerahkan kepada saya masalah ini untuk diselesaikan. Maka, saya undang Branata dan Ibnu Sutowo ke Jalan Merdeka Barat 15. Saya hadirkan dua saksi, Mayjen Soedirgo, Asisten Intelijen AD dan Mayjen Hartono, Asisten Logistik AD,” jelasnya.

Dalam pertemuan yang dipimpin Alamsjah selaku Staf Pribadi Presiden Soeharto kala itu, kedua orang itu sama-sama diberi kesempatan untuk menjelaskan apa yang dipersoalkan. “Setelah dikonfrontasikan, yang salah memang Slamet Branatana. Orang ini masih hidup, boleh ditanyai. Soalnya, setelah Ibnu Sutowo memberi penjelasan, Slamet Branatana tidak bisa membuat argumen yang kuat atas tuduhannya, sehingga Branata disimpulkan memberi laporan yang tidak didukung fakta.”

Begitu juga mengenai suksesi di Pertamina. Setahun sebelum berakhirnya tugas Staf Pribadi, “Di awal tahun 1967 itu juga, saya memimpin pertemuan dengan Tim Ahli Ekonomi. Kami membahas siapa yang pantas menjadi pimpinan perusahaan minyak nasional yang baru akan dibentuk. Hal ini perlu dilakukan setelah Pemerintah memutuskan menggabungkan tiga perusahaan minyak negara yang ada ketika itu, yakni Permina, Pertamin dan Permigan. Dalam pertemuan itu muncul nama dua calon yang diajukan, yaitu dr.Ibnu Sutowo dan Brigjen M.Joenoes.”

Nama yang disebut terakhir, oleh peserta pertemuan, lebih digandrungi untuk memimpin perusahaan baru itu. Sebab, dari kenyataan, M.Joenoes (Pimpinan Permigan) selama ini bisa menjual minyak ke Jepang dengan harga lebih mahal 2 sen dollar dari harga yang dijual oleh Permina yang dipimpin Ibnu Sutowo.

Mengenai hal itu, dalam pertemuan tersebut, Alamsjah mengatakan, “Bahwa kita harus melihat mana yang lebih berpengalaman mengurus perminyakan. Mengenai harga penjualan yang lebih murah dari yang lain itu dapat kita selesaikan belakangan. Karena, sebagaimana kita ketahui Permina memang telah mempunyai agen tetap di Jepang yang mendukungnya.”

“Setelah dirundingkan, akhirnya Ibnu Sutowo muncul sebagai Dirut Pertamina. Jadi bukan saya sendiri yang menentukan,” ujar Ibnu Sutowo menolak “gugatan” Dasman Djamaluddin.

Oleh karena itu, perlu selalu memperingati sejarah Kota Palembang dan berusaha menulis kembali sejarah Kota Palembang, karena sudah pernah digugat H. Asnawi Mangku Alam.

 

DASMAN DJAMALUDDIN

Sejarawan dan Jurnalis Senior

RELATED ARTICLES

Most Popular