Bangsa besar tidak melupakan sejarahnya. Sebaliknya guna menghancurkan sebuah bangsa maka hancurkanlah ingatan anak bangsa akan sejarahnya, hapuskanlah romantika perjuangan leluhurnya dalam mempertahankan setiap jengkal tanah airnya. Agar tidak pernah lahir sebuah kebanggaan akan kebesaran bumi tempatnya berpijak dan kesadaran kolektif dalam gerak langkah perjuangan.
Bilamana sebuah bangsa kehilangan jati dirinya maka dengan sendirinya akan tumbuh mentalitas budak yang menjadikan modal sebagai panglima. Mentalitas budak tersebut bisa menyebar ke segenap lini, mulai masyarakat biasa hingga kaum priyayi terpelajar, mulai pejabat sampai aparat, mulai aktivis sampai residivis.
Setelah sebuah bangsa mengalami pageblug mentalitas budak berkepanjangan, lahirlah sebuah pola sistemik penyerahan asset-asset strategis nasional kepada bangsa lain, bangsa yang dianggap adidaya oleh bangsa yang bermentalitas budak. Sumberdaya alam melimpah bukanlah jaminan kemakmuran sebuah bangsa ketika aparatur penyelenggara negara bermental budak, tidak berkarakter serta tak bernyali.
Sumberdaya alam justru merupakan potensi besar buat persembahan bagi sang adidaya, baik di barat ataupun timur.
Benturan modal yang terjadi di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara antara Amerika dan China melahirkan konflik berkepanjangan antar faksi dalam satu negara, perang saudara pecah dan terus berlarut. Benturan modal yang serupa mulai bergeser ke kawasan Asia Pasifik, dimana Indonesia merupakan satu-satunya negara dengan sumberdaya alam dan energi terbesar di kawasan ini.
Secara geopolitik Indonesia dikepung oleh negara-negara persemakmuran Inggris seperti Malaysia, Australia, Singapura, Selandia Baru, Papua Nugini dan lain-lain. Negara-negara ini telah mengadakan kesepakatan bersama dalam bidang pertahanan, yakni jika salah satu dari mereka diserang maka yang lainnya akan membantu dalam berperang menghadapi musuh.
Sementara itu di sisi utara ada negara superpower China yang terus-menerus melakukan provokasi di Laut China Selatan, serta menanamkan banyak modalnya di negara kita melalui banyak perjanjian. Pembangunan kereta cepat, pelabuhan-pelabuhan dalam rangka tol laut dan berbagai pembangunan infrastruktur lainnya menggunakan modal dari China, yang tentunya berupa pinjaman yang mengikat.
Sedangkan di Samudera Pasifik berjajar-jajar angkatan laut Amerika Serikat, yang berpangkalan di beberapa negara-negara Pasifik, Filipina, Darwin Australia (selatan Nusa Tenggata Timur) serta Pulau Cristmas di selatan Pelabuhan Ratu, Jawa Barat.
Kita sudah jelas-jelas terkepung dari luar. Tinggal bagaimana kondisi kewaspadaan dalam negeri Indonesia, apakah setia waspada dalam mengawal keutuhan negara proklamasi ataukah tersegmen dalam faksionalisasi kelompok kepentingan.
Kewaspadaan nasional benar-benar mengalami titik klimaks terendah, terbukti dengan pecahnya golongan-golongan utama Republiken dalam menanggapi arus utama informasi diantaranya terkait isu komunisme, politik liberal serta pro kontra atas kebijakan-kebijakan pemerintah pusat.
Persatuan nasional yang pernah memuncak pada era kemerdekaan seakan surut bagai sapu lidi yang kehilangan tali suh pengikatnya.
Di tengah serbuan budaya pop luar biasa dari Korea, India, China dan negeri-negeri Barat yang merusak perilaku masyarakat melalui serangan dari rumah ke rumah dengan media televisi. Di tengah-tengah merosotnya jiwa gotong royong, kebersamaan, gugur gunung dan kolektifitas bersama. Serta bangkitnya individualisme melalui maraknya jejaring media sosial dunia maya yang memotong tradisi silaturahmi dan sambung rasa.
Masa-masa sulit ini pernah dialami oleh bangsa kita pada era keruntuhan Kerajaan Singhasari, kerajaan besar yang telah berhasil menyatukan Nusantara dengan doktrin Cakra Mandala Dwipantara-nya.
Sisa-sisa laskar Singhasari di bawah pimpinan Raden Wijaya yang semula terpukul mundur akhirnya bisa bangkit kembali untuk menata ulang persatuan bekas wilayah budaya Janggala dan Panjalu dalam satu kesatuan yang lebih kuat. Menyatukan semua bekas wilayah Singhasari guna pijakan awal berdirinya Kemaharajaan Majapahit. Sebuah negeri adidaya dengan kekuatan tempur luar biasa dan programatik tradisi yang kuat hingga melakukan ekspor budaya ke mancanegara tersebut akhirnya dapat menyatukan segenap Nusantara Raya (sekarang Asia Tenggara) dalam kibaran panji Merah Putih pada masa kendali pemerintahan dipegang Mahapatih Gajah Mada.
Kebangkitan kembali negara adidaya tersebut tidak terlepas dari siasat dan strategi Raden Wijaya di tengah berkecamuknya benturan antar kekuatan global yang menghantam bumi Jawa. Kecerdikan membaca momentum disertai disiplin nyali yang tinggi di tengah-tengah benturan kekuatan adidaya melahirkan spirit bersama yang mengelektrisir sisa-sisa kekuatan nasionalis untuk bangkit dan berjuang kembali, ditandai dengan kode simbolik pemakaian kain gringsing bergambar Surya Majapahit.
Kiranya spirit perjuangan dan siasat tempur laskar Raden Wijaya perlu kita revitalisasi, kita hidupkan kembali guna mensiasati benturan antar kekuatan superpower negara-negara adidaya. Serta menyatukan kekuatan-kekuatan progresif dalam poros persatuan nasional.
Hanya dengan adanya musuh bersama kesadaran kolektif akan persatuan nasional bisa dicapai. Hanya dengan persatuan nasional kemandirian nasional bisa diterapkan. Hanya dengan kemandirian nasional kebangkitan nasional bisa terwujud. Dan hanya dengan kebangkitan nasional kemakmuran sebuah bangsa dapat diwujudkan. Selamat Hari Kebangkitan Nasional. Salam Desa Mandiri.
COKROWIBOWOSUMARSONO
Ketua Umum DPP GARDA SANDI (Gerakan Pemuda Desa Mandiri)