Israel yang nama negara ini sering kita dengar di Timur Tengah, baru-baru ini muncul menjadi bahan berita di kawasan Asia Tenggara, Myanmar.
Situs Albalad.co mengatakan bahwa persenjataan tentara Myanmar datang dari Israel. Senjata itu dipakai untuk membunuh minoritas muslim Rohingya di Myanmar. Situasi sedang menghangat di negara sesama anggota ASEAN (Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara) itu. Minggu lalu diberitakan, sudah lebih dari 70 ribu orang Rohingya lari dari negara bagian Rakhine, Myanmar, mengungsi ke negara tetangga Bangladesh, karena konflik kian mengerikan.
Foto-foto satelit memperlihatkan sekitar 2.600 rumah warga Rohingya terbakar. Namun situasi ini tidak menghentikan kebijakan Kementerian Pertahanan Israel. Mereka menolak penyetop penjualan senjata kepada rezim militer berkuasa di negara Asia Tenggara itu, dulu dikenal dengan nama Burma.
Pasukan pemerintah Myanmar sudah melancarkan kampanye militer sejak Oktober tahun lalu dan makin ditingkatkan setelah 12 tentara Myanmar tewas oleh gerilyawan muslim Rohingya bulan lalu.
Sejak Burma menerima kemerdekaan dari Inggris pada 1948, perang saudara terus meletup di sebagian wilayah negara tersebut. Pada November 2015, pemenang Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi berhasil memenangkan pemilihan umum, tapi dia gagal mengontrol militer.
Para anggota milisi di bawah komando junta terus melakukan kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan pelanggaran berat hak asasi manusia lainnya terhadap kaum minoritas, bahkan yang tidak memiliki kewarganegaraan seperti Rohingya.
Sejak militer melancarkan operasi di Rakhine pada Oktober tahun lalu, sejumlah sumber mengungkapkan pembantaian warga sipil, penculikan, pemerkosaan perempuan dan anak-anak, serta pembakaran desa-desa masyarakat Rohingya terus berlanjut sampai sekarang.
Meski mengetahui kondisi itu, menurut laporan utusan PBB untuk Myanmar dan sebuah laporan dari para peneliti dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, pemerintah Israel tetap memasok persenjataan bagi rezim di Myanmar.
Salah satu pimpinan junta Myanmar, Jenderal Min Aung Hlain, mengunjungi Israel pada September 2015, untuk berbelanja perlatan militer di negara Zionis itu. Delegasinya diterima Presiden Israel Reuven Rivlin dan para pejabat militer. Selama di sana, dia melawat ke markas-markas militer dan berkunjung ke kontraktor pertahanan Elbit Systems serta Elta Systems.
Michel Ben Baruch, Direktur Kerjasama Pertahanan Internasional Kementerian Pertahanan Israel, lebih dulu mengunjungi Myanmar di musim panas 2015. Dalam lawatan itu, pimpinan junta Myanmar menjelaskan mereka telah membeli kapal patroli Super Dvora dari Israel dan sudah mengadakan pembicaraan mengenai pembelian persenjataan lainnya.
Agustus tahun lalu, foto-foto dipublikasikan di situs TAR Ideal Concepts, perusahaan Israel menyediakan latihan dan peralatan militer, memperlihatkan latihan menembak menggunakan senapan serbu Corner Shot bikinan negara Bintang Daud itu, dengan keterangan Myanmar sudah mulai menggunakan senjata tersebut.
Pengadilan tinggi di Israel akhir bulan ini bakal menggelar sidang gugatan diajukan aktivis hak asasi manusia, menuntut Israel menghentikan penjualan senjata ke Myanmar.
Dalam tanggapan atas gugatan itu Maret lalu, Kementerian Pertahanan Israel menekankan pengadilan tidak berhak menangani kasus tersebut. Lembaga ini menegaskan penjualan senjata kepada junta Myanmar merupakan masalah diplomatik.
Ketika rapat dengan Knesset (parlemen Israel) pada 5 Juni lalu, Menteri Pertahanan Avigdor Lieberman bilang penjualan senjata ke Myanmar mengikuti pihak Barat, terutama Amerika, merupakan eksportir senjata terbesar sejagat. “Kami bagian dari mereka dan tetap mempertahankan kebijakan itu (penjualan senjata ke Myanmar),” katanya.
Padahal Amerika Serikat dan Eropa sudah melakukan embargo senjata terhadap Myanmar. Tidak jelas apakah Lieberman tidak mengetahui hal itu atau sekadar membela mati-matian kebijakan negaranya tersebut.
Amerika Serikat dan pihak Barat yang lain, selalu mendukung negara Yahudi itu. Bagaimana hubungannya dengan Indonesia. Hingga hari ini Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik, karena sejak awal selalu mendukung perjuangan bangsa Palestina. Tetapi ketika membaca dan menganalisa tulisan harian “Kompas, ” edisi Kamis, 23 Maret 2017 di halaman 5 berjudul: “A-4 Skyhawk dan Sejarah Pertahanan, ” sebenarnya Indonesia telah melakukan hubungan tidak resmi.
Dalam tulisan ini dipaparkan dengan jelas bagaimana pilot-pilot Indonesia dilatih di Israel.Dikutip pula buku salah seorang pilot, F Djoko Poerwoko, dalam buku autobiografinya, “Fit Via Vi.” Diceritakan panjang lebar strategi Israel dan agen rahasianya melatih pilot Indonesia di Israel. Setelah latihan, memang mereka disuruh jalan-jalan ke Amerika Serikat.
“Semua hal yang menandakan mereka pernah dilatih di Israel harus dimusnahkan.” Untuk itu, mereka merahasiakan latihan di Israel. Mereka hanya berkata, dilatih di Amerika Serikat. Foto-foto yang dibawa ke Indonesia, hanya foto-foto selama di negara Pam Sam itu.
Secara resmi Israel memang menunjukkan kepada dunia, bahwa negaranya tidak memiliki hubungan dengan Indonesia. Perhatikan ketika Perdana Menteri (PM) Israel Netanyahu berkunjung ke Singapura dan menemui PM Lee Hsien Loong. Seakan-akan Indonesia tidak pernah berkomunikasi dengan Israel.
Memang benar secara kasat mata kita tidak pernah berkomunikasi dengan Israel secara tidak resminya. Buktinya dengan datangnya pilot-pilot kita ke Israel, kita pernah berkomunikasi secara tidak resmi. Komunikasi secara resmi melalui Singapura, karena negara itu memang benar sebagai penghubung antara Indonesia dan Israel.
Sangat terlihat jelas, ketika Netanyahu akan ke Australia, ia tidak melewati jalur udara negara kita. Saya memperhatikan dengan seksama, untuk apa Israel melakukan demikian? Apakah ingin menunjukkan kepada dunia, bahwa Indonesia benar-benar tidak pernah berhubungan, minimal secara tidak resmi dengan Indonesia? Jika demikian, apakah hubungan informal dilakukan hanya dengan Tentara Nasional Republik Indonesia?
Hal serupa pernah terjadi saat-saat Rais Abin akan diangkat menjadi Panglima Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timur Tengah dari tahun 1976-1979 dan bermarkas di Mesir. Pada waktu itu, hubungan Mesir-Israel memburuk. Sekjen PBB Kurt Waldheim menganggap, Rais tidak perlu ke Israel. Cukup dirinya saja yang menjembatani. Tetapi Rais Abin tidak puas jika tidak bertemu pihak Israel.Bukankah, ia diminta menengahi kedua negara, Mesir dan Israel? Mana mungkin jika tidak mengenal lebih jauh tentang Israel?
Akhirnya, Rais Abin berbicara langsung dengan Sekjen PBB, Kurt Waldheim, dan mengatakan, dia harus ke Israel.Berkat bantuan Letjen Ensio PH Siilasvuo, Panglima Pasukan Perdamaian PBB Pertama, Rais Abin pun melangkahkan kakinya sebagai perwira PBB pertama ke Jerusalem dan bertemu dengan Menteri Pertahanan Israel Shimon Peres.
Memang sebelum ditunjuk sebagai Panglima, Rais Abin menjabat Kepala Staf UNEF II dan menggantikan posisi sementara Panglima yang ia gantikan, karena sakit. Itu dilakukannya dalam waktu yang tidak lama.Itu pula yang menjadi penilaian Sekjen PBB sehingga dipromosikan sebagai panglima.
(bersambung)
DASMAN DJAMALUDDIN
Jurnalis, Sejarawan dan Penulis Senior