JAKARTA– Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melakukan reshuffle 12 menterinya di kabinet jilid dua pada Rabu (27/7/2016). Bambang Brodjonegoro misalnya dirotasi dari Menteri Keuangan menjadi Menteri Perencanaan Dan Pembangunan/Kepala Bappenas RI dan posisinya digantikan oleh Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan.
Pengamat senior Rahman Sabon Nama menyatakan bahwa Jokowi telah mempertimbangkan dengan matang bahwa Bambang dan Sri Mulyani mampu menerjemahkan semua sasaran Nawacita ke dalam RPJMN maupun rencana kerja tahunan Pemerintah dalam RAPBN.
“Tapi saya heran mengapa kehadiran Bambang Brodjonegoro di Bappenas disambut dengan demo penolakan oleh internal pegawai Bappenas. Ini baru pertama kali dalam sejarah seorang menteri pilihan Presiden ditolak oleh instansi yang dipimpinnya,” ujar Rahman Sabon Nama kepada redaksi cakrawarta.com, Selasa (2/8/2016) malam.
Sementara itu, terkait Sri Mulyani justru dianggap sebagian publik mewakili kepentingan politik Amerika Serikat dan Bank Dunia sehingga dinilai akan lebih membela kepentingan kapitalis jauh dari kepentingan ekonomi kerakyatan. Rahman Sabon meminta Presiden Jokowi untuk merenungkan kembali atas pilihannya ini.
“Bagaimana mungkin Bambang bisa melakukan tugas utama Bappenas dan Sri Mulyani bisa melaksanakan visi misi Presiden dalam Nawacita dalam anggaran perencanaan tahunan jika kondisinya begini,” lanjut Rahman Sabon.
Menurut pria kelahiran NTT ini, baik Bambang maupun Sri Mulyani tentunya akan menjadi andalan Presiden Jokowi dalam mencapai sasaran pembangunan sesuai program Nawacita yang menjadi jualan Jokowi saat kampanye paa 2014 silam.
Lebih jauh, Rahman Sabon menjelaskan bahwa selama Bambang Brodjonegoro menjadi Menteri Keuangan justru program Nawacita tidak berjalan karena terjadi penyimpangan pada proses perencanaan dan penganggaran sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang terpisah dengan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Rahman Sabon menjelaskan bahwa untuk suksesnya program pembangunan harus ada sinergi terintegrasi antara perencanaan dan penganggaran sehingga tidak terjadi lagi duplikasi penyusunan kerangka ekonomi makro maupun dalam penyusunan kapasitas fiskal.
“Karena itu, saya justru khawatir Nawacita hanya merupakan program angan-angan sehingga agak musykil untuk direalisasikan karena Sri Mulyani tentu lebih berpihak pada kepentingan kapitalis,” tegas Rahman Sabon.
Menurut tokoh yang juga Ketua Umum Asosiasi Pedagang Tani Tanaman Pangan dan Holtikultura Indonesia (APT2PHI) ini, di tengah lambannya perekonomian nasional dimana ada ancaman defisit APBN lebih dari 3 % dari PDB, maka kabinet baru hasil reshuffle jilid II harus mampu melakukan sinergi antara kementerian dan lembaga terkait, antara pusat dan daerah, juga problem tersendatnya pembangunan dalam dana transfer daerah baik dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) maupun dana bagi hasil (DBH). Sehingga, hal tersebut menurut Rahman Sabon bisa menjadi jaminan dalam upaya mencapai sasaran pembangunan sesuai Nawacita dan bermanfaat untuk kepentingan bangsa dan rakyat.
“Kabinet ini harus mampu menjawab problem utama bangsa saat ini yaitu sulitnya mencari lapangan kerja, tingginya angka kemiskinan dan naiknya harga kebutuhan pangan dan sembako yang sampai saat ini belum bisa teratasi,” imbuhnya.
Bahkan menurut Rahman Sabon dalam kapasitasnya sebagai perwakilan APT2PHI, sektor pertanian dan pangan yang seharusnya bisa mewujudkan Nawacita justru luput dari perhatian Presiden dalam melakukan perombakan kabinet.
“Menteri Pertanian Amran Suleaman dalam pernyataan pers hari ini mengklaim bahwa kementeriannya telah berhasil meningkatkan produksi padi. Bahkan menurutnya jagung dan kedelai harganya naik tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Tapi pertanyaan yang sulit dijawab saya kira adalah mengapa harga pangan sampai detik ini masih mahal dan kebijakan impor masih terus dilakukan?” tanya Rahman Sabon dengan nada retoris sekaligus menutup pernyataannya.
(bm/bti)