Mengapa gedung parkir Polisi dibangun dengan dana CSR (Corporate Social Responsibility) dari Podomoro? Ini adalah judul dari vivanews edisi Kamis 3 Maret 2016. Teman-teman dari KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) menganggap bahwa penyaluran CSR untuk membangun gedung parkir polisi itu adalah penyimpangan dan dianggap sebagai tindak pidana sehingga teman-teman KSPI menyampaikan ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagaimana dikatakan Mirah Sumirat. Tetapi KPK tidak memberi respon atas keluh kesah mereka.
Apakah ini karena ada nama Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama didalamnya? Sehingga KPK seperti kelu lidah dan hilang akal kalau menerima pelaporan kasus mantan Bupati Belitung Timur tersebut? Soal CSR untuk membangun gedung parkir polisi ini adalah hal yang tidak tepat. Karena publik sudah paham dana CSR untuk apa? Mestinya KPK dan juga Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merespon pengaduan KSPI tersebut. Tapi apakah Polri mau mengusut pidana penyimpangan CSR kalau yang menerima adalah polisi sendiri?
Sekarang kita bisa melihat dengan kasat mata tentang sikap Polri di bawah Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Terkait pelaporan ulama, umat dan para aktifis dan aksi yang mengecam tindakan Ahok panggilan akrab Basuki Tjahaja Purnama sudah hampir merata di seluruh wilayah Nusantara. Anehnya, Polri malah terkesan bela dan melindungi penista kitab suci Alquran tersebut. Tindakan pimpinan Polri ini sangat berbahaya bagi kelangsungan penegakan hukum dan keadilan di negeri ini.
Dengan lambannya sikap dan langkah Polri untuk segera menindak Ahok itu sudah bisa ditebak. Polri kita lagi sedang apa?
Pada saat Ahok menyatakan Joko Widodo bisa menjadi Presiden karena dibantu pengembang dan sempat dikritik oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pengusung Joko Widodo sebagai capres pada Pilpres 2014 lalu. Tetapi omongan Ahok itu sekarang semakin jelas. Meski ada kasus suap yang melibatkan grup Podomoro tetapi hanya menyasar Presiden Direktur (Presdir)nya saja yakni Ariesman Wijaya. Big Bos grupnya yaitu Trihatma tidak tersentuh sama sekali. Padahal nama Trihatma disebut pula dalam kasus Taman BMW oleh mantan Wakil Gubernur (Wagub) Priyanto. Menjadi tidak mungkin sebagai korporat, sekelas Presdir bertindak tanpa arahan Big Bosnya.
Bahkan lebih tragis, sosok Aguan sebagai big bos dari Agung Sedayu Group yang semula dicekal KPK karena terkait suap reklamasi akhirnya diundang ke Istana Negara dengan gelaran karpet merah dan status cekal atas nama Aguan pun dicabut oleh KPK. Kesemuanya itu menandaskan bahwa apa yang diungkapkan oleh Ahok soal peran pengembang dalam konteks pilpres dan kemanangan Jokowi ada relevansinya atau memang demikian adanya.
Hutang budi Jokowi sapaan akrab Joko Widodo terhadap para pengembang seolah makin kuat ketika dirinya memecat Menko Maratim Rizal Ramli yang berseberangan sikap mengenai megaproyek reklamasi di pantai utara Jakarta itu. Padahal kinerja mantan aktifis yang pernah dipenjara di Era Orde Baru itu baik dan dan mendapat apresiasi positif dari publik dan masyarakat nelayan.
Selain terkait adanya hutang budi soal pembangunan gedung parkir, Polisi juga ditengarai menerima dana dari pengembang dalam hal penggusuran. Hal ini sampai sekarang belum dibuat jelas sehingga bisa dikategorikan sebagai tindakan gratifikasi dan masuk ranah korupsi.
Jadi, sikap KPK terhadap kasus yang melibatkan Ahok dan pengembang serta sikap Polri terkait pengaduan dan aksi ulama dan umat di berbagai daerah atas dugaan penodaan dan penistaan agama Islam yang terkesan lamban tentu tidak keliru jika publik menilai terdapat intervensi dari pihak Istana dalam hal ini Jokowi sendiri yang disebutkan oleh Ahok bisa memasuki Istana karena ada jasa para pengembang.
Maka pantas saja, kalau sikap mendiamkan amarah ulama dan umat dalam kasus penistaan Alquran oleh Ahok dan bahkan KPK seolah melindungi Gubernur DKI tersebut dalam sejumlah kasus yang ditanganinya dapat dianggap sebagai bentuk perlindungan Presiden Jokowi terhadap Gubernur Podomoro seperti yang sering menjadi bahan sindiran itu.
Jika ini terus berlarut seperti ini, maka penegakan hukum bisa tidak adil dan terkesan diskriminatif sehingga tampak bahwa ternyata semua orang tidak sama di hadapan hukum. Hukum hanya berlaku bagi orang kecil yang tidak punya akses terhadap kekuasaan. Tapi bagi yang punya beking istana dan kekuasaan, akan berbuat apa saja semuanya. Terlihat jika hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Lalu, kita masih bangga menyebut diri sebagai negara hukum sebagaimana termaktub dalam konstitusi? Bukankah kasus AHok dan para pengembang serta lambannya sikap KPK dan Polri dimana ditengarai terdapat keterlibatan Istana seolah menyatakan bahwa Istana sengaja menyemai benih-benih kerusakan dan kehancuran bangsa dan tatanan hukum negara?
Lalu, kita pun bertanya-tanya siapa sesungguhnya penghuni Istana itu? Apakah Presiden Republik Indonesia ataukah Presiden para pengembang?
MUSLIM ARBI
Koordinator GALAK (Gerakan Aliansi Laskar Anti Korupsi)