Partai Perindo mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) terhadap pasal 69 huruf n Undang-Undang nomor 7 tahun 2007 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang didalilkan bertentangan dengan bunyi Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen. Kalau hanya Partai Perindo yang mengajukan, tentulah bisa gugur sejak dini. Partai Perindo sama sekali baru saja lolos sebagai peserta Pemilu 17 April 2019. Partai Perindo juga belum memiliki bargaining power (kekuatan tawar) untuk mengajukan gugatan, terkait dengan keberadaannya sebagai partai politik yang memiliki kewenangan dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Ketentuan pasal 6A UUD 1945 yang berbunyi: “Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Partai Perindo sama sekali belum memiliki kursi dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI atau sejumlah pemilih yang bisa dihitung, sebagai syarat dukungan, mengingat bukan peserta pemilu 2014. Publik sejauh ini hanya mengangap betapa Partai Perindo ingin mendapatkan pusaran pemberitaan -yang tentu saja cerdik– dalam papan catur politik yang segera dimainkan.
Pasal 69 huruf n UU nomor 7/2007 tentang Pemilu yang digugat berbunyi: “Belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.”
Pasal 69 huruf n UU nomor 7/2007 itu dianggap bertentangan dengan pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Hanya saja, baik pasal UU nomor 7/2007 yang digugat ataupun UUD 1945 yang dijadikan sebagai batu karang penguji, sama sekali tidak menyebut tentang partai politik. Sementara, legal standing yang dimiliki oleh Partai Perindo adalah organisasi berbadan hukum yang berbentuk partai politik. Objek gugatan adalah presiden dan wakil presiden yang notabene adalah individu warga negara.
Yang memiliki posisi sebagai presiden dan wakil presiden yang pernah atau sedang menjabat adalah (1) Prof Dr BJ Habibie, (2) Dr (HC) Hamzah Haz, (3) Dr (HC) Megawati Soekarnoputri, (4) Dr Susilo Bambang Yudhoyono, (5) Dr Boediono, (6) Dr (HC) Muhammad Jusuf Kalla dan (7) Ir Joko Widodo. Dari ketujuh orang terbaik bangsa dan negara Indonesia ini, baru satu orang yang menyelesai masa jabatan dalam 2 (dua) kali masa jabatan, yakni Dr. Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden. Sementara dua orang menyelesaikan masa jabatan selama lima tahun, yakni Muhammad Jusuf Kalla dan Boediono sebagai wakil preseden. Sementara BJ Habibie hanya sebentar menjabat sebagai wakil presiden dan atau wakil presiden. Begitu juga dengan Megawati Soekarnoputri yang menjabat sebagai wakil presiden dan selanjutnya sebagai presiden. Pun Hamzah Haz yang menjadi wakil presiden.
Jadi, ketentuan “memagang jabatan selama lima tahun” sama sekali belum berlaku kepada BJ Habibie dan Megawati dalam posisi sebagai presiden, maupun BJ Habibie, Megawati dan Hamzah Haz sebagai wakil presiden, sebagaimana bunyi yang termaktub dalam pasal 7 UUD 1945. Nah, begitu juga Muhammad Jusuf Kalla baru satu kali “memegang jabatan selama lima tahun” dan seandainya menjadi calon wakil presiden bulan September 2018 ini, belum sampai memegang jabatan selama empat tahun dalam masa jabatan kedua.
Sampai bagian ini, tentu menjadi penting dalam mempertegas, memperteguh dan memperkuat argumen-argumen legal yang terkait dengan ketentuan dalam konstitusi RI yang merupakan puncak piramida hukum Indonesia. Sudah jelas, kalau Partai Perindo yang menjadi pihak penggugat, akan menjadi persoalan dalam legal standing yang dimiliki. Dari ketujuh orang nama yang masih hidup dan pernah menjadi pemegang jabatan presiden dan wakil presiden itu, tidak satupun juga yang menjadi anggota Partai Perindo. Habibie dan Muhammad Jusuf Kalla adalah anggota Partai Golkar. Hamzah Haz kemungkinan masih menjadi anggota Partai Persatuan Pembangunan. Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo masih menjadi anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Susilo Bambang Yudhoyono masih anggota Partai Demokrat. Hanya Boediono yang sama sekali tak ada data otentiknya sebagai anggota partai politik.
Andaikata salah seorang di antara mereka adalah anggota Partai Perindo, tentulah legal standing Partai Perindo dalam mengajukan gugatan masih kuat. Bagaimanapun, anggota partai politik memiliki hak untuk dibela dan dilindungi oleh induk organisasinya, baik di pengadilan tingkat manapun ataupun diluar pengadilan.
Dan Partai Perindo beruntung memiliki seorang negarawan yang memiliki visi jauh ke depan tentang bangunan konstitusi Indonesia. Tanpa diduga-duga, Dr (HC) Muhammad Jusuf Kalla yang sudah pernah memegang jabatan sebagai wakil presiden selama lima tahun, lalu jeda, serta sedang menjalani tahun keempat dari masa jabatan lima tahunnya, bersedia mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam judicial review yang dilakukan Partai Perindo. Yang disebut pihak terkait adalah pihak-pihak yang secara langsung berkaitan dengan materi perkara yang diajukan kepada MK RI. Walau sama sekali tak menyebut diri sebagai pemohon intervensi, Muhammad Jusuf Kalla dengan sendirinya bersangkut-paut, bertungkus-lumus dan berurat-akar dengan materi gugatan yang diajukan. Dengan sendirinya, legal standing Partai Perindo menjadi kuat, sekalipun Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengatakan tidak ikut mengajukan permohonan sebagai pihak terkait yang melakukan intervensi. Sampai sejauh ini, Muhammad Jusuf Kalla sebagai anggota Partai Golkar juga belum melakukan komunikasi, apalagi permintaan secara tertulis, guna mendapatkan pembelaan dari induk organisasi yang sudah dimasuki sejak awal ini.
Terlepas dari teka-teki politik di kalangan Panglima-Panglima Langit dan Panglima-Panglima Dewa partai politik, apa yang dilakukan oleh Muhammad Jusuf Kalla adalah sumbangan besar bagi penyempurnaan puncak piramida konstitusi Indonesia. Para ahli hukum tata negara bakalan terus memiliki pekerjaan rumah besar dalam mengajukan kerangka teoritis, apabila masih terdapat perbedaan tafsiran menyangkut ketentuan yang diuji-materikan. Secara “nalar kata” saja, Muhammad Jusuf Kalla memiliki hak untuk menjadi calon wakil presiden, mengingat serah-terima jabatan presiden dan wakil presiden dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober 2019. Artinya, sebelum menyelesaikan masa jabatan kedua yang termaktub dalam Pasal 7 UUD 1945 selama lima tahun, Muhammad Jusuf Kalla bisa diusulkan oleh partai-partai politik sebagai Calon Wakil Presiden. Muhammad Jusuf Kalla baru kehilangan “hak perdata”-nya itu per tanggal 21 Oktober 2019.
Akan tetapi, biarkan Muhammad Jusuf Kalla melakukan sholat istikharah-nya. Pada usaha Muhammad Jusuf Kalla untuk mengajukan diri sebagai pihak terkait ini, sudah menjadi ikhtiar tersendiri yang kini menghadapi tantangan politik luar biasa berat. Sama sekali tidak ada tone atau nada positif atas keputusan Muhammad Jusuf Kalla dalam mengajukan diri sebagai pihak terkait itu, baik dari arus massa, pengamat, elite partai, bahkan dari kalangan induk Partai Golkar sendiri. Saya yang tiap kali bertemu Muhammad Jusuf Kalla, juga sering berdebat sengit yang berakhir dengan “menyerah”-nya beliau sebagai Urang Sumando. Saya menyebut diri sebagai Mamak Rumah beliau yang mengambil tuah dari almarhum ayah saya Boestami Datuk Nan Sati yang merupakan Penghulu Kaum Koto di Kenagarian Air Angar, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar yang menaungi Istano Basa Pagarruyung dari Puak Datuk Ketumanggungan, sebagai pangka baniah (pangkal benih) dari Ibu Mufidah Jusuf Kalla.
Dalam kapasitas sebagai Anggota Dewan Pakar Partai Golkar, saya tentu berpegang teguh kepada keputusan resmi yang sudah diambil, baik secara aura dan arus politik dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar 2016 dan Munaslub Partai Golkar 2017, maupun dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar 2016 di Balikpapan, Kalimantan Timur. Pertemuan saya dengan Pak JK sendiri pada tanggal 7 Januari 2017 di kawasan Sentul yang memperkuat itu, dengan disaksikan oleh Pak Sofyan Wanandi dan Prof. dr. Komaruddin Hidayat. Pak JK yang lebih dahulu mempertanyakan sikap saya untuk mendukung pasangan Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Solahuddin Uno sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta.
“Kapan kau tidak berseberangan dengan Partai Golkar? Sejak pertama kali masuk, kau terus-menerus bertentangan dengan garis Partai Golkar,” ujar Pak JK. Saya memang ingat, memasang baliho dengan Pak JK, waktu maju sebagai Calon Perseorangan dalam Pemilihan Walikota Pariaman tahun 2013. Balih, salamano dan dukungan dari Pak JK itu, juga dukungan dari Bang Aburizal Bakrie dalam kapasitas pribadi (bukan sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar waktu itu yang dinyatakan secara eksplisit), barangkali yang membuat saya “selamat” dari ketentuan pemecatan oleh Partai Golkar.
“Pak, kalau saya tidak berseberangan dengan garis Partai Golkar, bapak tidak menjadi Wakil Presiden RI,” jawab saya tegas. Pak Sofyan langsung tertawa ngakak. Sebagai mantan bos saya di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) selama sembilan tahun, Pak Sofyan tentu tahu bagaimana sulitnya para petinggi CSIS untuk “membungkam” mulut dan mematahkan tangkai pena saya.
Ujung dari pertemuan itu, saya berjanji kepada diri saya, juga menyatakan kepada Pak JK, Pak Sofyan dan Bang Komaruddin Hidayat, untuk tegak lurus dengan Partai Golkar. Sikap yang tentu saja juga “disenyum-simpulkan” oleh Bang Komar, mahaguru bagi banyak kaum intelegensia muda dan pembangkang generasi saya.
Sikap itu saya tuliskan kembali, guna menutup artikel ini. Saya menghormati dan memberikan kredit tambahan kepada Pak JK atas hak intervensi yang beliau gunakan. Namun, apabila gugatan yang dilayangkan oleh Dr. Irman Putra Sidin ini dimenangkan oleh MK RI, lalu Pak JK tergoda untuk maju sebagai Calon Wakil Presiden RI, saya akan mengembalikan kepada Ikrar Panca Bhakti yang dimiliki oleh Partai Golkar. Apa yang diputuskan oleh Partai Golkar dengan Ketua Umum Ir Airlangga Hartarto M.Sc., itulah yang saya ikuti.
Jakarta, 22 Juli 2018
*) Pada pagi saya dan keluarga masih dalam suasana kehilangan Mak Saanih binti Fulan yang meninggal dunia pukul 02.00 tanggal 22 Juli 2018. Maak Saanih sudah bekerja lebih dari 40 tahun di keluarga istri saya: Faridah Thulhotimah.
INDRA J PILIANG
Ketua Badan Pendiri Sang Gerilya Institute dan Dewan Pakar Partai Golkar